Membangun Integritas
Oleh: Bambang Widjojanto
JIKA tak ada aral melintang, Oktober kelak, presiden ketujuh
Indonesia akan dilantik. Secara de jure, pelantikan itu akan menjadi penanda
bekerjanya pemerintahan baru. Tantangan konkret pemerintahan ke depan, memaknai
dan memastikan agar ”Tridaulat”, yaitu daulat rakyat, daulat hukum, dan daulat
kemanusiaan yang tersebut dalam konstitusi, diwujudkan secara material dan
substantif.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan dideklarasikan, 69 tahun lalu, kita
telah berikrar untuk membentuk suatu pemerintahan baru yang mewujudkan
kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Nyatanya, kini, kita baru akan
menyelesaikan ”Peta Indonesia yang utuh dan satu”. Bahkan, hak-hak sosial,
budaya, hukum, dan kemanusiaan dari seluruh rakyat sebagiannya masih diingkari
dan belum sepenuhnya dilaksanakan.
Awal Orde Reformasi yang terjadi 15 tahun lalu adalah salah satu
moment of the truth. Rakyat bersatu padu melakukan dekonstruksi dan
delegitimasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang secara sistematis dan terstruktur
selama tiga dekade mengingkari ”Tridaulat” dan sekaligus merampas hak dasar
rakyat. Pada era Orde Baru, korupsi merajalela dan mencapai puncak kejayaannya
dan nyaris tak ada kasus korupsi yang bersifat big fishes dari penyelenggaraan
negara dapat dibawa ke peradilan.
Modal sosial
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu lembaga
tinggi negara yang dilahirkan dan menjalankan mandat konstitusionalitas Orde
Reformasi. Kendati baru berusia 10 tahun, sudah lebih dari 400 kasus korupsi
yang menyangkut high-ranking officials dibawa KPK ke peradilan dan para
koruptor yang terlibat di dalamnya telah dinyatakan bersalah dan dihukum oleh
pengadilan. Persoalannya, pendekatan represif yang berhasil memenjarakan begitu
banyak koruptor tidak berarti akar permasalahan dan penyebab utama korupsi
sudah dapat dikendalikan dan ditaklukkan serta menimbulkan efek jera
(deterrent).
Pertanyaan dasar yang harus diajukan, sejauh mana kelak presiden
Joko Widodo (Jokowi) dan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) mampu menciptakan
moment of the truth kedua untuk memastikan agar three in one korupsi, berupa
korupsi konstitusi, demokrasi, dan politik, dapat dikendalikan dan
diminimalkan. Pada situasi itu, rakyat akan bersatu padu dan berupaya
mengendalikan potensi penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan. Hal ini
dimaksudkan juga agar ”Tridaulat” dapat dilaksanakan secara utuh, paripurna,
dan material sehingga kesejahteraan umum dan keadilan sosial dapat segera
diwujudkan.
Ada modal sosial dan beragam program strategis yang dapat
dikapitalisasi untuk menaklukkan korupsi dan membangun integritas guna
mengakselerasi pencapaian tujuan dan amanah konstitusi.
Pertama, Jokowi-JK harus menunjukkan sifat dan level kepemimpinan
yang berbeda dengan para presiden pendahulunya. Tidak cukup hanya bersikap
sederhana dan merakyat, tetapi juga harus berperilaku zuhud dan juga
mendeliberasi asal-usul kekayaan serta bersedia mengumumkan aset dan
kekayaannya kepada ruang publik secara transparan serta akuntabel. Mereka juga
bersedia untuk dirampas harta kekayaannya apabila ditemukan aset yang tidak
pernah dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKN)
serta menjelaskan pembayaran pajak tahunannya. Kesediaan bersikap sebagaimana
tuntutan di atas akan menjadi modal sosial sebagai pemimpin yang patut
diteladani dan menjadi raw model keteladanan.
Kedua, meningkatnya ”kerelawanan sosial” untuk terlibat dalam
proses Pemilihan Umum Presiden 2014 adalah sesuatu yang khas dan menarik.
Keadaan seperti ini adalah modal sosial yang otentik serta seyogianya bisa
dikonsolidasikan dan dikapitalisasi agar dapat menjadi energi sosial yang kelak
diintegrasikan dan disinergikan sebagai bagian dari partisipasi publik dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Aktivisme sosial dari kalangan
”Gen-Z”—generasi digital, generasi multimedia—yang sangat familiar dengan dunia
virtual, media sosial, dan gadget mengindikasikan bahwa mereka memiliki smart
power untuk mengonsolidasikan keberpihakan terhadap nilai serta sistem yang
anti korupsi dan kolusi.
Ketiga, Jokowi-JK harus dapat melakukan tiga hal secara simultan
pasca pelantikan sebagai presiden dan wakil presiden untuk memberikan sinyal
yang jelas, digunakannya momentum kepemimpinannya sebagai awal perubahan yang
fundamental. Ketiga hal dimaksud, yaitu (1) mendapatkan orang terbaik sebagai
pembantunya untuk menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi utuh dan
menyeluruh; (2) mempunyai program quick wins dan jangka selanjutnya yang
berpihak pada kemaslahatan dan percepatan pencapaian kesejahteraan sosial; dan
(3) mendelegitimasi sistem birokrasi yang mempunyai sifat dan karakter
koruptif, kolusif, dan nepotistik.
Keempat, Jokowi-JK harus memiliki program sistem integritas nasional
(SIN) dan membangun fraud control system untuk memastikan reformasi
birokrasinya dilaksanakan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Rendahnya
integritas individu, institusi, dan masyarakat menjadi salah satu penyebab
utama terjadi korupsi. Pembangunan integritas institusi ini akan meningkatkan
kepercayaan, keyakinan, dan kualitas pelayanan suatu organisasi. Tentu saja,
perbaikan sistem agar tidak koruptif dan kolusif menjadi bagian tidak
terpisahkan dan satu kesatuan dengan pembangunan integritas.
KPK telah mengembangkan konsep SIN Indonesia dengan perspektif
anti korupsi yang memuat prinsip, pendekatan dan strategi, serta setidaknya ada
sekitar 19 program strategis. Dokumen finalnya sudah diserahkan ke pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Kini, KPK tengah mengujicobakan tes integritas dan membangun indeks
integritas di kalangan internalnya.
Momen terbaik
Kelima, pembangunan budaya anti korupsi berbasis keluarga harus
mulai dilakukan dan dijadikan mainstreaming dalam program dan strategi
pemberantasan korupsi pemerintah. Fakta menegaskan, korupsi kini dilakukan
bersama antara ayah dan anak, suami bersama istri, serta adik dan kakak
sehingga muncul kosa kata ”korupsi dinasti”. Fakta lain menegaskan, konsep
jujur diinterpretasi berbeda di antara para anggota keluarga serta dimaknai
berbeda antara keluarga satu dan lainnya.
Kini orangtua tidak lagi menjadi pusat preferensi nilai oleh anak
baru gede di sebagian kota besar. Bahkan, kita dikepung screen culture yang
melakukan penanaman nilai jauh lebih masif dan sistematis ketimbang institusi
sekolah atau keluarga. Pada konteks ini, KPK sedang melakukan program piloting
untuk membangun budaya korupsi berbasis keluarga di Yogyakarta dengan kota
kontrol di Solo.
Inilah momen terbaik untuk mewujudkan imagine nation bahwa
Indonesia yang bebas dan bersih dari korupsi bukanlah sekadar mimpi. Hal itu
karena kita punya peta jalan, strategi dan program, serta tekad, itikad, dan
kepemimpinan yang kuat untuk menaklukkan korupsi dan membangun integritas. []
KOMPAS, 02 September 2014
Bambang Widjojanto ; Komisioner KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar