Demokrasi tanpa Kedaulatan Rakyat
Oleh: M Hasan Mutawakkil Alallah
RENCANA DPR dan pemerintah mengesahkan rancangan undang-undang
pemilihan kepala daerah (RUU pilkada) pada 25 September 2014 memicu perdebatan
tajam. Perdebatan itu bahkan berpotensi meletupkan konflik horizontal apabila
tidak disikapi secara arif dan dewasa. Kengototan para wakil rakyat yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) untuk segera mengesahkan pilkada
tidak langsung melalui DPRD ditengarai bernada sumbang.
Kuat berembus, apabila kepala daerah tidak lagi dipilih secara
langsung oleh rakyat, melainkan oleh anggota DPRD, hampir dapat dipastikan
partai politik yang tergabung dalam KMP bisa merajai pemilihan kepala daerah,
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota se-Indonesia. Hal itulah
yang menguatkan anggapan bahwa yang dilakukan koalisi partai politik yang
menghendaki kepala daerah dipilih oleh DPRD merupakan pembajakan demokrasi atas
nama demokrasi.
Nalar Hukum Pilkada
RUU pilkada adalah bagian dari RUU pemerintahan daerah yang
diusulkan oleh pemerintah (Kemendagri) untuk menggantikan UU No 32/2004 jo UU
No 12/2008 yang mengatur pemilihan kepala daerah secara terpisah dari RUU
pemda. Secara spesifik, norma tentang pemilihan kepala daerah (gubernur,
bupati, dan wali kota) secara eksplisit disebutkan dalam pasal 18 ayat 4 UUD
1945 yang berbunyi, ”Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.”
Jika dicermati secara saksama ketentuan konstitusi tersebut,
paling tidak terdapat tiga pemahaman umum yang dapat ditarik dari bunyi pasal
18 ayat 4 UUD 1945 tersebut. Pertama, secara yuridis pembentuk konstitusi
memberikan ”ruang terbuka” kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur
bagaimana bentuk, mekanisme, dan syarat-syarat pemilihan gubernur, bupati, dan
wali kota. Kedua,pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota harus dilakukan
secara demokratis, yang bermakna dilakukan langsung oleh rakyat.
Ketiga,gubernur, bupati, dan wali kota dipilih oleh rakyat melalui wakilnya di
DPRD.
Pemahaman ketiga itulah yang dijadikan dasar oleh partai politik
yang tergabung di KMP dalam melegitimasi keputusan untuk mengembalikan
pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Argumentasi yang dikemukakan, pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat secara nyata telah memicu konflik
horizontal dan mengotak-ngotakkan masyarakat ke dalam berbagai faksi yang
berbeda kepentingan. Biaya yang dikeluarkan untuk pilkada langsung pun
dirasakan terlalu mahal.
Selain itu, diyakini oleh kelompok pengusung pilkada lewat DPRD
bahwa pilkada secara langsung menyuburkan praktik money politics yang berimbas
rusaknya mentalitas masyarakat secara masif dan juga berkontribusi dalam
mewujudkan politik dinasti yang korup.
Kalau argumentasi tersebut benar dan faktual, apakah rakyat selaku
pemilik suara yang harus dipersalahkan? Mengingat, rakyat sebagai pemilik kuasa
politik senyatanya hanya dijadikan objek demokrasi dalam pilkada.
Kedaulatan Rakyat dalam Islam
Sebagai salah satu negara dengan sistem demokrasi tersebar di
dunia, Indonesia menjadi perhatian dunia internasional, terutama yang terkait
dengan pelaksanaan suksesi kepemimpinan dalam tingkat lokal maupun nasional.
Bila dilakukan kajian secara komprehensif, hampir dalam setiap bulan di
Indonesia terdapat pemilihan pemimpin. Yakni, mulai level pemilihan kepala
desa, wali kota dan bupati, hingga gubernur dan wakil gubernur yang secara
simultan selalu dilaksanakan.
Pemilihan itu mulai Aceh hingga Papua atau Sabang sampai Merauke.
Pelaksanaannya pun secara langsung melibatkan rakyat selaku pemilik kedaulatan
sebagaimana yang diatur dalam konstitusi. Dengan demikian, bangsa Indonesia
telah cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan di pemilihan kepala daerah setelah
kurang lebih sepuluh tahun mempraktikkannya.
Maka, tidaklah mengherankan ketika RUU pilkada yang akan disahkan
dalam sidang paripurna pada 25 September 2014 memunculkan reaksi penolakan yang
masif dari masyarakat. Alasannya, bentuk pemilihan pemimpin secara langsung
merupakan satu-satunya aset rakyat dalam menentukan arah bangsa ke depan.
Hal itu terbukti dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) bahwa sebagian besar masyarakat menolak pilkada melalui DPRD. Lebih
lanjut LSI merilis, dari 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia, 81,25
persen menginginkan kepala daerah langsung dipilih oleh rakyat. Sementara itu,
10,71 persen responden menyetujui pilkada dilakukan oleh DPRD, sedangkan 4,91
persen menyatakan bahwa kepala daerah sebaiknya dipilih oleh presiden (Antara,
9/9/2014).
Dengan demikian, apabila RUU pilkada disahkan pada sidang
paripurna mendatang, secara nyata terjadi pengabaian terhadap keinginan rakyat.
Hak rakyat untuk berpartisipasi secara langsung dalam menentukan pemimpinnya
terenggut oleh penguasa politik. Yang tersisa hanyalah garis demarkasi yang
memisahkan antara pemimpin dan rakyat. Karena itu, tidaklah mengherankan
apabila di kemudian hari para kepala daerah menjadi elitis, menjarak dengan
rakyat, serta sibuk melakukan kapitalisasi terhadap pelbagai kepentingan untuk
pribadinya dan kroninya.
Dalam konteks inilah ajaran Islam memberikan tuntunan bahwa
seorang pemimpin harus berorientasi pada pencapaian kemaslahatan orang banyak
(umat) secara keseluruhan. Kaidah ushul fiqh menandaskan bahwa tasharruf al-iman
’ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah. Maksudnya, pemimpin mempunyai amanah
yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial melalui pemilihan umum, akan
tetapi juga bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT. Dengan demikian,
amanah rakyat yang diberikan kepada seorang pemimpin melalui pemilihan umum
juga mengandung tanggung jawab teologis.
Biarkanlah rakyat secara bersama-sama ikut menentukan siapakah
yang pantas memimpin mereka. Alasan yang selama ini dikemukakan para pendukung
pilkada oleh DPRD tidak sepenuhnya kuat. Sebab, pilkada oleh DPRD tidak
menjamin kepala daerah dan DPRD terbebas dari korupsi. Pilkada oleh DPRD tidak
akan mampu menjamin semangat dasar pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Bahkan, bisa saja potensi korupsi makin subur.
Sebaliknya, pilkada langsung memaksa kepala daerah dekat dengan
rakyat sebagai pemilik langsung kedaulatan. Pilkada langsung selama ini telah
berjalan dengan baik dan tertib. Kalau ada yang kurang, tugas kita bersama
menambal yang kurang itu, bukan menggantinya. []
JAWAPOS, 19 September 2014
M Hasan Mutawakkil Alallah ; Ketua PW NU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar