Pendidikan Miskin Imajinasi
Oleh: Komaruddin Hidayat
Semua kemajuan sains dan teknologi supercanggih yang membuat kita
kagum dan tercengang semula berawal dari kekuatan imajinasi manusia. Adalah
Christopher Columbus (1451-1506) yang menggemparkan penduduk Eropa setelah
berhasil mendarat di Pulau Bahama (1492) karena keberanian berimajinasi untuk
menaklukkan lautan lepas yang semula tak terbayangkan.
Penduduk Eropa pun gempar dan mulai membayangkan adanya dunia baru
untuk dijelajahi yang pada urutannya dunia baru itu bernama Amerika. Ini
benar-benar menjanjikan kehidupan baru yang lebih bebas ketimbang Eropa. Begitu
pun Thomas Alva Edison (1847-1931) yang selalu mendapatkan nilai buruk di
sekolah sehingga ibunya mengajar sendiri di rumah. Karena kekuatan imajinasinya
dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, ia dikenal sebagai pemegang rekor
1.093 hak paten atas namanya. Yang paling fenomenal dan historikal adalah
penemuan lampu listrik.
Demikianlah, masih terdapat sederet nama besar yang mengilhami
kita semua yang namanya tertulis dengan tinta emas dalam buku-buku sejarah yang
kemudian dibaca berulang-ulang oleh jutaan pelajar dan mahasiswa. Anak-anak
Nusantara ini sesungguhnya dianugerahi talenta yang hebat. Mereka memiliki daya
imajinasi yang luar biasa sehingga mampu mewariskan karya seni kelas dunia
seperti bangunan Candi Borobudur dan Prambanan. Kehebatan dan kebesaran candi
itu bukan semata terletak pada wujud fisiknya, tetapi juga nilai-nilai dan
filosofi kehidupan yang terkandung di dalamnya. Begitu juga dunia simbolik
dalam pewayangan yang amat kaya dengan wisdom dan imajinasi.
Bahkan Gatotkaca lebih dahulu terbang ke angkasa sebelum tercipta
pesawat terbang. Problem kita adalah hanyut pada budaya melankolis dan
seremonial, tetapi sangat lemah dalam tradisi riset empirisilmiah untuk
menciptakan karya-karya yang langsung mendatangkan kesejahteraan serta nilai
tambah bagi masyarakat. Ini yang membedakannya dengan imajinasi yang tumbuh
dalam masyarakat Barat yang dikaitkan dan diarahkan pada perbaikan dunia
empiris melalui inovasi sains sehingga muncul temuan-temuan teknologi mutakhir
yang disebut artificial intelligence dan artificial body.
Proses awal penemuan teknologi itu berangkat dari kejelian
berimajinasi berdasarkan bacaan terhadap semesta. Mungkin sekali dahulu para
penemu mobil itu iri pada kecepatan hewan-hewan ketika berlari. Tuhan telah
menganugerahkan hewan bisa lari kencang, tetapi manusia diberi keunggulan
anugerah otak (head), tangan (hand), dan perasaan untuk berkehendak (heart)
sehingga dengan kekuatannya itu manusia berhasil menciptakan teknologi
kendaraan yang kecepatannya melebihi hewan yang mereka kagumi. Sebagai
apresiasi atau simbol kemenangan, mobil-mobil itu pun diberi nama hewan seperti
kijang, kuda, panther, jaguar.
Lalu logo dan nama-nama pesawat terbang pun diambil dari nama
burung. Jadi, semesta ini sebelum diposisikan sebagai objek eksplorasi dan
eksploitasi oleh pemilik modal uang, mesin, dan politik semula merupakan kitab
terbuka yang menggugah imajinasi kita. Sekian banyak lirik lagu bagus juga
terinspirasi oleh keindahan alam. Disayangkan, anak-anak kita sekarang semakin
terjauh dari alam. Mereka lebih asyik bermain pada artificial nature yang
dihadirkan komputer. Seakan mereka berada dalam alam sungguhan, padahal mereka
tak lebih berada dalam dunia maya (virtual world).
Jangan diragukan sumbangan komputer bagi pendidikan dan melatih
imajinasi.
Tapi ketika komputer lebih banyak menyajikan permainan, games for
fun, yang terjadi adalah proses penumpulan imajinasi anak dan hilangnya
kepekaan sosial. Anak-anak tak lagi bergetar hatinya melihat berita perang di
TV, misalnya yang terjadi di Gaza, karena permainan perang-perangan mereka jauh
lebih seru dan mengasyikkan. Saling tembak, tendang, dan bunuh menjadi
permainan yang akrab bagi anak-anak sekarang. Mereka melihat dan melakukannya
di dunia maya, tetapi dampak negatifnya terjadi pada dunia nyata. Di samping
asyik menghabiskan waktu dengan permainan komputer, lemahnya pelajaran
humaniora juga telah memiskinkan daya imajinasi anak-anak.
Sejarah dan bukubuku novel sangat membantu membangkitkan daya
imajinasi anak, tetapi sekarang tergeser oleh kursus matematika dan bahasa
Inggris yang menekankan hafalan demi untuk lulus ujian nasional. Kenyataan ini
menyedihkan mengingat bangsa Indonesia itu sangat majemuk, lagi pula kita hidup
di era multiple intelligences. Jadi, pendidikan mesti semakin menawarkan banyak
alternatif pilihan studi, pengembangan minat dan bakat, karena Indonesia
realitasnya memang beragam dari berbagai aspeknya, sementara dunia kerja
menuntut intellectual adaptability dan skill interconnectivity.
Jadi, keahlian tertentu sangat diperlukan, tetapi mesti memiliki
kemampuan kerja sama dan komunikasi sosial yang baik. Muara dari pendidikan itu
pembangunan budaya bangsa. Jadi hakikatnya pendidikan adalah agenda
membudidayakan anak-anak bangsa untuk memakmurkan dan memajukan penduduk bumi
bersama bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya lewat pendidikan anakanak kita
antarkan agar menjadi warga dunia yang berbudaya dan berkeadaban, merayakan
anugerah hidup dalam dunia yang semakin warna-warni yang merupakan anugerah
Ilahi. LetLets accept the differences, respect the differences, share the
differences, and celebrate the differences. []
KORAN SINDO, 19 September 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar