Memeras Secara Imajiner
Oleh: Mohamad Sobary
Kata memeras itu biasanya berhubungan dengan benda-benda nyata di
dalam kehidupan kita sehari-hari. Bagi para peternak lembu perah, atau kambing
etawa, kata memeras, biasanya disebut ”memerah”, berhubungan dengan susu, untuk
memperoleh apa yang kita banggakan sebagai minuman segar dan sehat.
Boleh jadi malah disebut paling segar dan paling sehat. Peras
memeras di sini sehat dan menyehatkan. Bagi mereka yang memiliki ketangkasan
luar biasa, memeras, dan sekali lagi diganti sebutan menjadi ”memerah” tadi,
juga berhubungan dengan benda, yaitu hewan, tetapi yang diperahnya bukan lagi
lembu atau kambing, melainkan kuda liar. Sulit membayangkan kuda liar bisa
tunduk dan taat ketika ada orang yang datang menangkapnya, dan berusaha memerah
susunya.
Di dalam khasanah kehidupan orang ”prairie”, padang rumput di
zaman ”wild wild west”, yaitu surganya orang Indian, yang sekarang menjadi
Amerika Serikat itu, orang yang bisa berbuat begitu mungkin dapat dihitung
dengan jari. Dan di dalam jumlah terbatas itu ada nama Old Shatterhand. Seliar
apa pun seekor kuda, yang kekuatannya tak terhingga, Old Shatterhand mampu
mengatasinya, sampai si kuda mandi keringat dan kehabisan tenaga. Tapi
peras-memeras di dalam birokrasi lain.
Pemerasan di sana hampir tak menggunakan tenaga. Si pemeras boleh
jadi tersenyum. Boleh jadi pula sambil sedikit melemparkan ucapan ini dan itu
di balik senyumnya tadi. Sering kedua belah pihak berhadapan di suatu tempat
rahasia, dan keduanya kelihatan akrab seperti dua sahabat yang lama tak bertemu
Tak jarang pula mereka berjauhan satu dari yang lain. Jadi, ”memerah” susu
harus berhadapan, dalam jarak berdekatan tetapi memeras di dalam birokrasi
tidak.
Yang diperas tak harus tersentuh. Dan pihak yang memeras tak harus
menggunakan tangan. Inilah jenis pemerasan imajiner yang kita kenal di sebagai
tingkah laku serong, atau selingkuh, dari aturan dan tata karma birokrasi.
Kecuali imajiner, pemerasan di dalam birokrasi juga halus, dan lembut. Ancaman
pun, jika diperlukan, dengan sendirinya sangat lembut, super halus, dan
simbolik sekali sifatnya.
Sama dengan pemerasan kaum mafioso yang menggetarkan manusia
biasa. Novel The God father, dan filmnya, yang tetap memakai judul yang sama,
bisa menjadi contoh aktual mengenai bagaimana kelembutan pemerasan yang justru
terjadi di dalam liarnya dunia gelap di bawah tanah. Kaum mafioso tak perlu
mengancam dengan kata-kata.
Birokrat yang sadar akan kekuasaannya, apalagi pada tingkat
menteri, juga tak perlu mengancam. Lagi pula tak jarang bahwa peras memeras di
dalam birokrasi itu dilakukan berdasarkan perasaan ”suka sama suka” karena ada
kepentingan masing-masing yang sedang diperjuangkan. Di sini jelas tak perlu
ada ancaman.
Bersikap lembut atau kasar, menggunakan gaya preman terminal bus
maupun meminjam gaya mafioso, pemerasan di dalam birokrasi dikategorikan ke
dalam tindak pidana korupsi. Dan pada hari ini, kita tahu bahwa korupsi
berhadapan langsung dengan KPK, yang tak kenal tawar-menawar, dan tak bisa
disogok.
Korupsi ya korupsi. Dan barang siapa yang terbukti korupsi, bukan
hanya dikenai tindak pidana kurungan, tapi juga dipermalukan. Di dalam masa
genting ketika uang negara, yaitu jatah kesejahteraan rakyat dimakan para
pejabat dengan cara yang begitu kejam, melawan kemanusiaan yang sudah
terluntalunta, siapa pun yang krup dihukum.
Tak peduli ia pejabat tinggi, pejabat tertinggi, keluarga mereka,
saudara mereka, besan mereka, orang tua mereka, mertua mereka, atau istri dan
anak, atau anak-anak mereka, semua ditangkap, diadili dan dihukum. Para pejabat
KPK mulai lebih serius, dan bergerak menyerang perasaan mereka karena tanpa itu
kelihatannya hukuman tak menimbulkan efek jera. Kejutan dibikin, dan
menggetarkan semua pihak.
Jangan ada yang menyangka bahwa di akhir masa jabatan berarti
segalanya sudah berakhir. Banyak pihak ditangkap dan diperiksa sebelum pada akhirnya
dijatuhi hukuman. Memeriksa pejabat di akhir masa jabatan itu membikin orang,
kecuali badak, menjadi takut. Jadi banyak yang kelihatannya akan ditangkap KPK.
Dan banyak yang ditangkap, lalu diadili, dan dihukum, itu baiknya
bukan main. KPK telah menegakkan rasa keadilan yang selama ini dihancurkan para
pejabat sendiri. Bila seseorang ditangkap dan tidak ada bukti bahwa dia, sang
birokrat, menerima uang? Itu tetap masalah. Tak menerima uang tapi memperkaya
orang lain, orang itu kena pasal yang hukumannya tak bisa ditawar-tawar tadi.
Dia tak makan sepeser pun uang tapi tindakannya merugikan negara, itu juga
korupsi.
Dia tak mengantongi sepeser pun uang pun dari hasil kebijakannya,
tapi karena kebijakannya itu membuatnya memperoleh hadiah suatu jabatan, tak
peduli dia siapa, teman siapa, anak siapa, dan apa partainya, dia jelas
korupsi. Dan kita tahu, dia harus dihukum. Dia dikategorikan korupsi kebijakan.
Dan korupsi jenis ini lebih berbahaya. Korupsi kebijakan bisa merugikan negara
dalam jumlah sangat besar.
Tapi lebih dari itu, korupsi kebijakan yang tergolong tak
merugikan negara, tetapi merugikan hakhak warga masyarakat, terutama warga
masyarakat miskin yang tak berdaya, ini lebih berbahaya, dan hukumannya harus
lebih besar. Korupsi kebijakan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang
kebijakan.
Kita belum cukup jelas bagaimana Pak Jero Wacik, abdi dalem
”kinasih ”, dan tangan kiri sekaligus tangan kanan Bapak Presiden, dikabarkan
melakukan pemerasan? Bagaimana orang yang kelihatannya ”senyam-senyum” melulu,
dan kata-katanya begitu patriotik, melakukan tindakan yang disebut memeras?
Bagaimana dia memeras? Mengapa istri dan anaknya juga diduga terlibat di dalam
peras memeras itu?
Media belum menjelaskan secara tuntas. Apakah gengsinya merosot
dari langit ke bumi? Siapa pembela-pembelanya? Membela koruptor sebaiknya juga
dikategorikan tindakan korupsi, karena jika dia dibayar dengan uang hasil
korupsinya tadi. Maling, garong, kecu, perampok, pembunuh, harus dibela supaya
mereka diperlakukan secara adil. Tapi bagaimana kalau koruptor dibikinkan
aturan khusus, tegas dan keras, bahwa mereka tak perlu dibela?
Alasannya jelas: memerah susu lembu, kambing etawa atau kuda liar
itu pemerasan yang sehat dan menyehatkan. Tapi pemerasan di birokrasi, biarpun
kelihatannya imajiner, jelek, tidak sehat, berbahaya, dan menghancurkan
kehidupan. Seimajiner apa pun, memeras itu korupsi yang menghancurkan
kemanusiaan. []
KORAN SINDO, 08 September 2014
Mohamad Sobary ; Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar