Dendam dan Tragedi Aswatama
Oleh: Mohamad Sobary
Dalam lakon Karna Tanding, Prabu Salya, sang
mertua, mengendalikan kereta perang Karna. Dengan keagungan dewata, dia
seanggun Batara Kresna yang mengendalikan kereta perang Arjuna. Di dalam kereta
itu ada Aswatama yang memperhatikan dengan cermat jalannya perang dan secara
khusus melihat bagaimana Prabu Salya mengendalikan kereta menantunya.
Memang benar, Prabu Salya mertua Karna, tapi
dia juga paman Arjuna. Menantu dan keponakan sama beratnya. Kurawa dan Pandawa,
dua-duanya “keluarga”. Kepada siapa dia akan memihak? Ini perkara pelik. Tidak
mudah baginya untuk mengambil keputusan jelas, tanpa keraguan, tanpa dilema.
Tiba-tiba Karna memintanya menjadi kusir untuk mengimbangi kemegahan Kresna
yang menjadi kusir Arjuna. Ini juga permintaan dilematis. Tak ada secuil pun
kemuliaan baginya menjadi kusir itu, terutama karena dia akan melihat Arjuna
kemungkinan terkena panah sakti menantunya.
Tapi Prabu Salya tak mau membiarkan dirinya di
dalam ketidakjelasan yang menyiksa. Dia menerima permintaan menantunya untuk
menjadi kusir senapati agung. Keraguan pun terpecahkan. Kini posisinya jelas:
memihak Kurawa dan jelas turun ke medan laga di barisan senapati pihak Kurawa.
Dalam serang-menyerang dengan panah dewata yang mengerikan, kedua pihak, Karna
maupun Arjuna, sama hebatnya. Tapi ada momen-momen pendek mengerikan: panah
Karna jelas bakal memenggal leher Arjuna yang sedetik sedang lengah, yaitu
ketika dia sadar rambutnya terpanah dan “mahkota” kesatriaannya rontok.
Saat itu Prabu Salya tahu, panah sang menantu
berikutnya jelas akan menghabisi riwayat keponakannya. Dalam situasi
menegangkan itu, secara kilat, yang tak diketahui siapa pun, kecuali oleh
Aswatama, dia berusaha melindungi keponakannya. Kereta digenjot, kuda-kuda
penariknya tak terkendali, dan akibatnya panah Karna yang melesat dengan
kecepatan angin itu, yang seharusnya secara matematis pasti memenggal leher
Arjuna, ternyata melenceng, bergeser beberapa jengkal dari sasaran. Dan saat
itu Kresna menyuruh Arjuna membalas serangan dengan kecepatan melebihi kedipan
mata. Panah Arjuna memenggal leher Karna.
Dikisahkan, berkat ketajaman panah Arjuna yang
disebut pitung pencukur, yaitu tujuh kali lebih tajam daripada silet, Karna
masih tetap tegak. Lehernya yang sudah terputus masih menempel pada tubuhnya.
Kecurangan Prabu Salya dilaporkan oleh Aswatama kepada Duryudana dalam suatu
sidang darurat. Semua pihak kaget mendengarnya. Tapi Aswatama kalah wibawa
menghadapi Prabu Salya, mertua sang raja. Aswatama sadar, tampaknya dia akan
kalah. Banyak pihak yang membenarkannya dalam hati, tapi tak satu pun yang
memihak kepadanya.
Akhirnya dia lari masuk hutan, menghindari
amukan Prabu Salya yang kejahatannya diketahui umum. Di hutan, Aswatama
sendirian. Hatinya penuh kemarahan dan dendam. Dia tak habis pikir, mengapa
laporannya, yang jelas berisi kebenaran, tak memperoleh telinga yang bisa
mendengarnya? Bagaimana kebenaran yang tak ditoleh telinga bakal masuk ke dalam
hati dan membentuk suatu sikap? Dia sadar, sang raja yang serakah dan
menyembunyikan kebenaran memang mustahil bersedia menerima kebenaran tanpa
prasangka.
Di sekitarnya, orang yang bertindak benar malah
celaka. Selain tak didengar rajanya, kebenaran selalu dicemooh orang-orang di
kiri kanannya. Duryudana berada dalam lingkaran kemunafikan “agung”, yang
dihalalkan oleh para pendukungnya, yaitu orangorang yang mencari selamat dan
kedudukan duniawi yang tak boleh tergoyah. Aswatanma tak pandai menyanyikan
tembang-tembang yang disukai rajanya. Dia hanya menyanyi jika baginya ada yang
layak dinyanyikan. Tembangtembang yang tak cocok dengan hati sang raja dibuang
dan dilupakan.
Raja hanya membutuhkan pujian, bukan mencari
kebenaran. Mengapa Aswatama tak memujinya? Satria perkasa itu bersembunyi di
dalam kesunyian hutan sampai ada terbetik kabar, raja telah gugur, perang
dimenangi pihak Pandawa dan kurawa luluh lantak jadi debu. Ini kebenaran.
Mengapa mereka kalah dan mengapa Pandawa menang, sudah jelas tak mungkin
diganggu gugat lagi. Panas hati Aswatama. Dia tak mau menerima kekalahannya
karena dia masih bisa berbuat sesuatu. Tapi apakah berbuat sesuatu di sini
dibenarkan oleh aturan dan hukum-hukum perang? Lagipula, bukankah perang telah
selesai? Dia tak peduli.
Pada malam sepi, ketika keluarga Pandawa dan
sedikit pendukungnya sudah kelelahan dan merasa aman, semua tertidur. Dengan
pedang yang menyalakan dendam di tangannya, dia menebas semua orang, tanpa
kecuali, yang sedang nyenyak dalam kenyamanan tidur masing-masing itu. Lalu dia
mendatangi satu titik cahaya, titik terpenting: bayi Dewi Utari, Parikesit,
yang bakal menjadi penerus dinasti Pandawa. Dia terkam bayi itu dengan
pedangnya yang berdarah- darah dan penuh dendam tadi.
Tapi entah bagaimana, bayi itu bergerak,
kakinya menyenggol tangkai keris didekatnya, dan keris pun menyambar leher
Aswatama yang lalu jatuh tak berdaya di kaki tempat tidur sang bayi, dalam
posisi antara hidup dan mati dan penuh sesal, mengapa tak cukup puas membunuh
semua yang dewasa dan lari dengan selamat ke hutan? Dalam sekarat yang
menyakitkan, Aswatama diterkam rasa dendam yang lebih dalam karena tak bisa
tampil di depan umum, di tengah jiwa masyarakat yang hancur sesudah perang,
bahwa dia telah menghabisi musuh-musuhnya. Dia menyesali kebodohannya dan kini
tunduk dalam pelukan tragedi yang begitu getir. Dia merasakan, betapa sisa
malam itu begitu panjang dan melelahkannya. Dia tak berdaya, tapi juga tak
mampu memadamkan dendam, yang masih membakarnya, tanpa ampun, dari dalam. []
KORAN SINDO, 25 Agustus 2014
Mohamad
Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar