Demokrasi Bukan Kado
Oleh: Budiarto Shambazy
TIAP kali pilkada, pileg, atau pilpres, pikiran kita rakyat
otomatis tergiring ke apa yang disebut ”pesta demokrasi”. Jadi yang berpesta
adalah kita rakyat, bukan mereka wakil-wakil kita yang kita pilih itu.
Pemilihan merupakan pesta yang jarang terjadi, cuma diadakan sekali dalam
beberapa tahun khusus bagi kita rakyat untuk memilih bupati/wali kota, gubernur,
anggota parlemen, dan presiden yang kita percayai.
Demokrasi berasal dari dua kata Yunani kuno, ”demos” (rakyat) dan
”kratos” (kekuasaan). Demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan
yang tertinggi, atau dalam istilah populer, ”dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat”.
Itulah kenikmatan demokrasi yang kita rasakan bersama-sama sejak
Reformasi 1998 sampai kini. Kita sudah memilih dua presiden secara langsung,
empat kali memilih anggota parlemen secara bebas, dan juga memilih ratusan kepala
daerah, juga secara langsung.
Kita sudah meninggalkan masa suram enam kali pemilu Orde Baru yang
tidak luber dan jurdil, pasrah menerima saja tiap lima tahun sekali MPR
mencalonkan Soeharto sebagai presiden. Berkali-kali kita diperdaya seolah hanya
Soeharto yang mampu menjadi presiden sebagai mandataris MPR, lembaga yang konon
mewakili kita.
Namun, tiba-tiba kini kita rakyat diancam marabahaya kembalinya
sistem pemilihan Orde Baru itu. Koalisi Merah Putih ingin memaksakan pilkada
dilakukan secara tak langsung alias melalui DPRD seperti dulu. Kita rakyat
dilecehkan. Sebab, kata mereka, pilkada langsung terbukti gagal karena boros
biaya, menjadi sumber politik uang, dan menimbulkan konflik horizontal.
Ketika rakyat mengkritisi pemborosan, partai-partai menjawab,
”Demokrasi memang mahal.” Maraknya politik uang bersumber dari siasat sebagian
calon pejabat publik menyiapkan ”gizi” untuk membeli suara. Dan, konflik
horizontal pecah lebih banyak karena persekongkolan di elite partai, bukan
karena rakyat bersengketa. Alhasil, tak ada satu pun dari ketiga dalih itu yang
layak ditudingkan kepada rakyat sebagai biang keladi kegagalan demokrasi
langsung.
Rakyat dianggap belum mampu berdemokrasi. Namun, lihatlah
bagaimana sebagian partai dan politisi yang ikut pilkada, pileg, dan pilpres,
yang memanfaatkan semua cara untuk berkuasa. Bukan rahasia lagi ada caleg
mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membeli suara di Pemilu 2014. Lima
tahun lalu, entah berapa triliun rupiah dana hasil korupsi Bank Century digelontorkan
untuk memenangkan pihak-pihak tertentu.
Pada kampanye Pilpres 2014, kubu-kubu tertentu melancarkan fitnah
kejam untuk menjatuhkan capres Joko Widodo. Ia bukan cuma dikabarkan telah
wafat, tetapi juga konon berdarah Tiongkok dengan ayah berasal dari Singapura
dan beragama Kristen.
Masih segar dalam ingatan bagaimana kurang ikhlasnya mereka yang
kalah Pilpres 2014. Mereka menggunakan cara-cara tidak terpuji dalam
melayangkan protes, antara lain mengancam akan menculik Ketua KPU dan
menabrakkan kendaraan-kendaraan militer ke barikade polisi yang menjaga gedung
Mahkamah Konstitusi.
Sekali lagi, apakah itu semua harus dipersalahkan kepada rakyat,
seolah kita belum layak berdemokrasi langsung? Padahal, negara-negara sahabat
justru memuji rakyat Indonesia yang telah menentukan pilihan melalui
Pemilu-Pilpres 2014 yang kredibel, jurdil, dan luber.
Kalau mengilas balik ke belakang sejak Reformasi 1998, kita telah
menjalani proses demokratisasi dengan segala suka dan duka sehingga semakin
hari semakin matang. Tak lama setelah kerusuhan Mei 1998, disusul pengunduran
diri Soeharto yang digantikan BJ Habibie, transisi dan konsolidasi demokrasi
relatif stabil dan aman.
Kita kehilangan Timor Timur. Namun, setidaknya tidak
tercerai-berai akibat transisi dan konsolidasi demokrasi yang labil dan tidak
aman, seperti di Uni Soviet, Eropa Timur, atau di negara-negara Magribi. Memang
ada upaya dari beberapa provinsi yang menuntut kemerdekaan, tetapi akhirnya mau
menerima agenda reformasi tentang otonomi daerah yang diperluas.
Sementara itu, lihatlah apa yang dilakukan para politisi dan
partai-partai yang tiada henti melakukan ”transisi dan konsolidasi korupsi” di
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Lihat pula korupsi
yang dilakukan di kementerian-kementerian selama sepuluh tahun terakhir yang
tidak dilakukan oleh rakyat.
Upaya memberlakukan kembali pilkada tidak langsung merupakan salah
satu cara yang tidak demokratis yang masih mempunyai pengikut di negeri ini.
Sejarah kita, juga setiap bangsa, memperlihatkan selalu saja ada upaya
politisi/pemimpin/ partai/kelompok/elite untuk mematikan demokrasi—setidaknya
menghambat langkah menuju advanced democracy.
Soekarno melakukannya lewat Dekrit 5 Juli 1959 dengan embel-embel
Demokrasi Terpimpin. Soeharto memilih jalan yang semu melalui Demokrasi
Pancasila dengan membonsaikan partai hanya menjadi tiga dan Golkar wajib
menjadi pemenang pemilu. Abdurrahman Wahid pernah mencoba memberlakukan dekrit.
Selalu ada kaum fanatik yang ingin melakukan democratic reversal
tidak akan tinggal diam, termasuk meniadakan pilkada langsung. Patut dicamkan,
demokrasi pasca Reformasi 1998 bukanlah kado yang diberikan dari seorang
presiden, partai, atau rezim. Kitalah yang berjuang mati-matian merebut
demokrasi dan tentu tidak akan rela jika ada yang mau merampasnya. []
KOMPAS, 20 September 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar