Yang Tersisa dari Pilpres
Oleh: Komaruddin Hidayat
Apa yang tersisa dari hajatan nasional pemilihan presiden
(pilpres) 9 Juli lalu? Jawaban pertanyaan ini akan sangat bervariasi, kepada
siapa ditujukan.
Bagi pasangan Jokowi-JK yang dinyatakan sebagai pemenang, justru
tugas mulia dan berat baru dimulai. Duet presiden dan wakil presiden ini
dituntut membuktikan janji-janjinya semasa kampanye bersama kabinet yang dibentuknya.
Ibarat lari maraton jarak jauh, keduanya tengah bersiap menunggu peluit
pelantikan untuk mengukir prestasi lima tahun ke depan dengan berbagai
tantangan yang telah menghadangnya. Adapun bagi pasangan yang kalah, lain lagi
agendanya. Namun, sesungguhnya jika kontestasi pilpres yang menelan biaya APBN
sekitar Rp10 triliun dilihat sebagai ritual demokrasi, kedua pasangan secara
moral-politik sama-sama menjadi pemenang.
Semuanya pejuang untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan
rakyat. Pilpres bukan akhir dan satu-satunya panggung pengabdian pada bangsa.
Untuk menjadi seorang negarawan, Prabowo dan Hatta tidak mesti menjadi pemenang
pilpres. Pembangunan bangsa ini tidak dimonopoli oleh presiden dan wakilnya.
Tetapi sangat banyak panggung dan cara bagi mereka yang ingin memajukan rakyat,
sejak dari pelaku bisnis, petani, sampai guru-guru di pelosok pegunungan.
Dalam panggung politik, mereka yang mengambil sikap oposisi secara
kritis, konstruktif dan berintegritas tak kalah jasanya dari jajaran eksekutif.
Jadi, yang sangat didambakan rakyat bukan siapa pemenang pilpres, melainkan
bagaimana membuat bangsa ini bangkit setelah pilpres usai, siapa pun
presidennya. Dari sisi ini, justru Joko Widodo-Jusuf Kalla jauh lebih berat
bebannya ketimbang Prabowo-Hatta karena pilpres bukan pertandingan piala dunia
yang puncaknya adalah upacara pemberian hadiah bagi pemenangnya, setelah itu
bubar.
Tetapi, sekali lagi, bagi Jokowi-JK setelah Mahkamah Konstitusi
(MK) mengetuk palu menyelesaikan sengketa hasil suara justru pembuktian sebagai
juara bagi keduanya baru akan dimulai. Dalam konteks ini, Prabowo- Hatta pun
akan ditunggu dan dinilai rakyat, bagaimana mereka menyikapi kekalahannya.
Apakah bersikap legawa atau tidak, biarkan rakyat yang menilai. Begitu pun pasangan
Jokowi-JK, bagaimana mereka menyikapi kemenangan ini, rakyat yang akan memantau
dan menilainya. Jika saat-saat menjelang pilpres aspirasi rakyat terbelah
menjadi dua, kini semuanya menyatu diikat oleh keinginan kuat bagi terjadinya
perbaikan dan perubahan nasib bangsa.
Namun, mesti kita ingat juga, siapa pun yang menjadi presiden
2014-2019, kondisi ekonomi memaksa seorang presiden mesti berani membuat
kebijakan yang tidak populer di mata rakyat, terutama pengalihan subsidi BBM ke
sektor lain, sehingga sangat mungkin untuk sementara akan terjadi kemarahan
rakyat kecil. Akibatnya sebagian rakyat yang tadinya memilih pasangan Jokowi-
JK akan berbalik kecewa dan protes. Dalam situasi seperti ini, kita pun akan
melihat bagaimana sikap partai yang memosisikan diri sebagai oposisi, apakah
akan mendukung kebijakan pemerintah ataukah tidak.
Andaikan tidak, rakyat akan mencermati alasan apa yang
dikemukakan, apakah cukup rasional ataukah asal berbeda dengan sikap
pemerintah. Sikap asal berbeda tanpa disertai argumen yang logis dan mudah
dicerna rakyat justru akan menjatuhkan dirinya sendiri. Perkembangan baru yang
pantas dicatat adalah baru kali ini seorang presiden naik dan turun sesuai
dengan kaidah demokrasi yang sehat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
memerintah selama dua periode, naik berdasarkan hasil pilpres dan turun juga
secara damai setelah menyelenggarakan pilpres.
Lebih dari itu, selama masa transisi terjadi komunikasi yang
konstruktif antara presiden terpilih Jokowi dan Presiden SBY yang sebentar lagi
akan menyerahkan estafet jabatan kepresidenan. Ini penting diapresiasi
mengingat sejak Bung Karno beralih ke Pak Harto, dan juga serah-terima presiden
berikutnya kepada penerusnya, hubungan dan komunikasi mereka kurang bagus.
Rakyat Indonesia pasti senang melihat hubungan para elite politik
di negeri berlangsung akrab dan terjalin komunikasi yang konstruktif di antara
mereka demi kepentingan rakyat dan bangsa. Yang masih ditunggu rakyat adalah
melihat Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta duduk-duduk santai membicarakan nasib
rakyat dan bangsa.
Mereka ingin sekali melihat para elite menjadi panutan bagaimana
menciptakan kerukunan, apa pun agama, etnis, dan rumah parpolnya. Jadi, kalau
ditanya, apa yang tersisa dari pilpres? Tak lain adalah support, doa, dan
harapan kepada pemerintah semoga bisa membawa bangsa ini semakin maju, rakyat
semakin cerdas dan sejahtera serta disegani dalam pergaulan dunia. Kepada
teman-teman anggota legislatif, semoga mampu melaksanakan tugas sebaik-baiknya.
Jangan kecewakan kepercayaan rakyat. Kritik dan dampingi
pemerintah agar kinerjanya bagus. Buatlah undang-undang (UU) yang benar, agar
nantinya tidak digugat dan dibawa ke MK untuk digelar judicial review. Jangan
sampai pembuatan UU yang telah menelan biaya teramat mahal, namun ibarat baju,
setelah jadi ternyata tidak cocok dipakai. []
KORAN SINDO, 29 Agustus 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar