Rusak Akibat Pilkada Langsung
Oleh: Bambang Soesatyo
Harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal
sudah mengalami kerusakan parah karena masyarakat di hampir semua daerah
terkotak-kotak oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan bagian dari upaya mengakhiri
pengotak-kotakan masyarakat.
Terkotak-kotak warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada
langsung tak bisa ditutup-tutupi lagi. Pengotakkotakan itu sulit dihindari
karena tokoh-tokoh lokal yang bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya
mengerahkan dukungan dari keluarga besar, kerabat, suku, dan warga dari desa
atau kampung tempat lahir sang calon. Pengotak-kotakan itu tidak otomatis
berakhir pascapilkada. Ketidakpuasan dari calon yang dinyatakan kalah selalu
menyisakan sentimen negatif terhadap calon yang menang bersama pendukungnya.
Sentimen negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan. Sebagian
warga Bali tetap tidak respek terhadap Gubernur I Made Mangku Pastika yang
dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemenang pemilihan gubernur
Bali pada 2013. Sebagian warga Jawa Timur pun kurang lebih berperilaku sama
dalam menyikapi kemenangan Soekarwo, apalagi setelah MK menolak gugatan
Khofifah Indar Parawansa, pesaing Soekarwo. Apalagi jika pengotak-kotakan warga
dalam pilkada langsung itu diwarnai aksi kekerasan berdarah.
Akan muncul dendam yang tak berkesudahan. Juni 2008, Maluku Utara
dilanda kerusuhan akibat pilkada langsung. Pendukung pasangan Abdul Gafur-Abdur
Rahim Fabanyo bentrok dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah menteri dalam
negeri menetapkan pasangan Thaib Armayn- Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang.
Di Tana Toraja, Pilkada Juni 2010 bahkan menelan korban tewas akibat bentrok
kedua kubu pendukung pasangan. Kekerasan berdarah juga terjadi dalam Pilgub
Bali. Seorang pendukung Made Mangku Pastika bernama Made Pasek Bendana terluka
akibat ditebas senjata samurai.
Rangkaian contoh kasus ini menggambarkan kerusakan yang sudah
terjadi akibat pelaksanaan pilkada langsung. Artinya, ekses pilkada langsung
bukan hanya terlihat dari biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu
kerusakan paling parah akibat pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni
dalam masyarakat serta hilangnya sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat
secara turun-temurun. Padahal, harmoni dan sistem nilai yang berakar pada
kearifan budaya lokal itu secara historis justru telah menjadi faktor penguat
ketahanan warga setempat.
Ekses pilkada langsung bermunculan di berbagai daerah karena
figur-figur peserta pilkada bersama komunitas pendukungnya belum dipersiapkan
untuk berperilaku demokratis dan fair dalam menyikapi hasil perhitungan suara.
Tidak mengherankan jika gugatan hasil pilkada menumpuk di MK. Dalam beberapa
kasus, pilkada bahkan cenderung dijadikan persoalan hidup-mati sehingga para
pendukung masing-masing kubu sering didorong untuk berhadap-hadapan.
Pertanyaannya, akankah gejala terkotak-kotak masyarakat itu akan terus
dibiarkan?
Ada kecenderungan bahwa pengotak-kotakan warga akan terus berulang
setiap daerah menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan
bahwa pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu
tertentu. Kalau kecenderungan yang berbahaya ini dibiarkan, artinya negara
memelihara potensi konflik dalam skala yang sangat mengerikan. Karena itu,
harus ada upaya memulihkan harmoni antarkelompok masyarakat di berbagai daerah.
Persatuan masyarakat dan sistem nilai yang turun-temurun telah
diikat oleh kearifan budaya lokal harus direvitalisasi. Demokratisasi pada
akhirnya memang harus diwujudkan, tetapi demokratisasi tidak boleh mencabut
setiap individu dari akar budaya lokal. Kebebasan berpendapat serta kebebasan
memilih dan dipilih jangan sampai menghancurkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam semangat musyawarah- mufakat sebagai sistem nilai yang telah memelihara
persatuan dan kesatuan warga bangsa selama ini.
Asas Manfaat
Karena itu, pilkada oleh DPRD perlu diberlakukan kembali.
Mekanisme ini harus dipahami sebagai upaya bersama mewujudkan kembali harmoni
antarkelompok masyarakat di berbagai wilayah di Tanah Air. Pilkada oleh DPRD
sama sekali tidak menghilangkan daulat rakyat sebab anggota DPRD dipilih oleh
rakyat. Memang, tidak ada yang sempurna dari mekanisme pilkada langsung maupun
pilkada oleh DPRD. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing
dan ini telah dibahas para ahli dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini.
Berangkat dari pemahaman itu, tentu harus ada keberanian untuk
melihat dan menilai mekanisme apa yang paling banyak mendatangkan manfaat. Nah
, karena pilkada langsung sudah terbukti menimbulkan banyak kerusakan, tentu
saja mekanisme pemilihan ini harus dihentikan dulu. Sebagai salah satu jalan
keluar, pilkada oleh DPRD menjadi alternatif yang paling ideal. Ini bukan
sekadar pilihan sekumpulan politisi di Senayan (DPR RI). Pilihan ini setidaknya
sudah direkomendasi oleh organisasi keagamaan terkemuka. PP Muhammadiyah
menolak pilkada langsung karena tidak membawa banyak manfaat.
Muhammadiyah meminta supaya pilkada, khususnya tingkat gubernur,
dipilih oleh DPRD. Menurut kajian hukum PP Muhammadiyah, gubernur adalah
perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP
Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara menegaskan, ”Muhammadiyah pada kajian
akademisnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan pilkada langsung, khususnya tingkat
provinsi dan gubernur, ternyata tidak membawa hasil dan manfaat yang banyak.”
Senada, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menegaskan NU mendukung pilkada
oleh DPRD.
Posisi dan sikap NU ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan
Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. ”Ini keputusan para
ulama sepuh yang dengan jernih menilai mudarat (dampak buruk) pilkada langsung
sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai,” kata Said Aqil. Para
ulama menilai, pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sama
memiliki kelemahan. Namun, para kiai yang mengalami langsung kondisi di
lapangan menilai efek negatif yang ditimbulkan oleh pilkada langsung lebih
besar dari pilkada tak langsung, terutama terkait biaya yang besar dan konflik
horizontal akibat perbedaan dukungan.
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pun menyarankan pemilihan
gubernur oleh DPRD, sementara pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung
oleh rakyat. Menurut Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, pandangan
Lemhanas ini didasarkan pada kajian Lemhannas pada 2007. Rekomendasinya,
pemerintah dan DPR lebih baik menyetujui usulan agar pemilihan gubernur melalui
DPRD dan pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara langsung. Cukup jelas
bahwa harus ada yang diperbaiki terkait mekanisme pilkada.
Mekanisme pilkada langsung juga ideal, tetapi dia telah
menimbulkan kerusakan yang sangat mengkhawatirkan karena penerapannya
dipaksakan yakni ketika sebagian masyarakat, termasuk penyelenggara pilkada,
belum cukup siap untuk menghargai hakikat dari one man one vote. Pilkada justru
sering dijadikan ajang atau pasar jual-beli suara. Demokrasi perwakilan yang
diwarnai semangat musyawarah-mufakat sejatinya tradisi Indonesia. Tradisi ini
sama sekali tidak mengharamkan beda pendapat atau beda pilihan. Akhirnya, demi tujuan
bersama yang lebih besar dan strategis, selalu ada kemauan bermusyawarah untuk
bermufakat.
Sejarah Indonesia sarat dengan praktik demokrasi perwakilan serta
semangat musyawarah-mufakat. Di atas tradisi itulah eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap kokoh dan terjaga. Jangan korbankan rakyat demi periuk
nasi dari proyek pilkada langsung atas nama kepentingan rakyat dan demokrasi.
Kita tahu, penghapusan proyek pilkada langsung tersebut berarti hilang pula
kontrak dan peluang rezeki bagi pengamat dan akademisi asongan yang selama ini
dimanfaatkan para calon kepala daerah. Lalu, perusahaan dan lembaga yang
hidupnya dari hasil survei juga akan gulung tikar.
Para pengacara yang selama ini main di lahan sengketa pilkada juga
akan gigit jari. Media cetak, elektronik seperti TV dan radio, media online,
advertising dalam dan luar ruang juga terancam kekurangan pendapatan. Termasuk
para bandar dan tukang ijon akan kehilangan lahan. Rencana pengalihan pilkada langsung
ke pilkada DPRD memang akan mengganggu kepentingan banyak pihak. Wajar kalau
mereka yang terganggu itu ngotot dan pasang badan dengan berbagai cara agar
pilkada langsung tersebut tetap dilanggengkan. []
KORAN SINDO, 16 September 2014
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR
RI/Presidium Nasional KAHMI 2012-2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar