Kalah-Menang Terhormat
Oleh: Mohamad Sobary
Hidup bukan sekadar perkara kalah-menang. Juga bukan hanya urusan
takut-berani. Kaum muda remaja mungkin boleh berpikir seperti itu.
Mereka boleh menjadikan takut-berani dan kalahmenang itu sebagai
parameter kehidupannya, tetapi orang dewasa tidak. Kompetisi dalam hidup,
pengembangan karier, dan pertarungan politik ukurannya memang kalah-menang itu.
Tapi bagi mereka yang menjadikan hidupnya sebagai ”proyek” pematangan diri,
kecanggihan berpikir filosofis tentang keharusan untuk adil dan benar, jujur
dan manusiawi, kalah-menang dalam pertarungan apapun, tidak menjadi masalah.
Ada yang sedih jika kalah. Ada yang gembira dan bangga jika
menang. Itu layak dan manusiawi. Tapi bagi mereka, kalah bukan akhir segalanya.
Dan, pihak yang menang bukan berarti telah mencapai puncak dari segenap puncak
prestasi hidup. Kalah-menang hanya konsekuensi wajar dari tiap jenis permainan.
Di sana tak ada konsep kalah bersama, atau menang bersama, kecuali gagasan aneh
yang pernah disampaikan Bardosono pada 1980-an dalam dunia sepak bola.
Tak mengherankan bila Bardosono pun kemudian menjadi sasaran
kritik pedas dalam masyarakat. Orang bijak meninggalkan pesan bijak pula: bila
takut terkena badai, jangan berubah di tepi pantai. Ini petuah tentang
kewajaran hidup. Di pantai selalu berangin kencang. Dan,
kemungkinan-kemungkinan tak menyenangkan itu dan segenap kewajarannya sudah
terkalkulasi. Angin segar kita terima dengan rasa syukur. Kita jadi sehat. Tapi
badai yang bisa meluluhlantakkan segala yang di sana juga harus diterima
sebagai kewajaran alam.
Lagi pula, bukankah sudah kita perhitungkan? Tak mungkin, dan tak
bakal terjadi dalam sejarah bumi, yang hanya sekeping ini, jika pantai hanya
menawarkan kesegaran. Tidak mungkin. Badai selalu ada. Begitu pula kewajaran
politik dalam tiap kompetisi, pertandingan dan segala jenis ujian tentang
kompetensi teknis yang kita miliki. Di sana, sayang sekali, harus ada ukuran
tentang siapa yang lebih unggul, dan menang. Sebaliknya, selalu ada temuan
tentang yang kurang unggul, dan ditempatkan di dalam kotak yang ”kalah”.
Betapa wajarnya perkara kalah-menang dalam hidup kita. Di sini
lalu bisa lahir sejenis petuah bijak, bagi yang tak siap kalah, dan tak bisa
menerima kekalahan, sebaiknya jangan pernah mencoba memasuki gelanggang
pertandingan, kompetisi dan berbagai jenis pertempuran untuk menguji tingkat
kompetensi kita. Ini solusi paling damai. Pihak yang menang pun bisa hancur
jika dia tak bisa menghayati arti kemenangannya.
Pemenang yang kemudian sombong, dan merasa paling mumpuni, tak
lama akan menjadi pihak yang kalah, dan bisa kalah total dalam arti sebenarnya.
Jika pemenang bersikap ”menang tanpa ngasorake”, jelas bisa menjadi pemenang
yang baik. Jika sang pemenang bisa bersikap ”the winner takes nothing”, dia
pemenang yang baik. Syukur kemudian bersahabat dengan yang kalah. Dan pihak
yang kalah pun tak merasa jari kakinya diinjak oleh yang menang.
Dengan begitu, wawasan keduanya serupa: kalah-menang itu perkara
wajar. Pemenang tidak lalu merasa dirinya unggul seperti dewa-dewa. Dan yang
kalah pun bukan sisa-sisa yang terbuang. Lebih-lebih bila yang menang itu
menjadi pemenang karena semata memang punya kelebihan dan jujur sejujur-
jujurnya. Ini pemenang sejati yang kita dambakan. Dan, ini pribadi yang kita
cari. Menang dengan baik, tanpa melukai nilai kejujuran, tidak mudah. Godaan
dalam hidup banyak sekali. Jarang orang bisa melewatkan godaan secara mulus.
Kita tahu, Puntadewa, raja Amarta, itu orang jujur sejujur-jujurnya.
Dia ukuran dan sekaligus simbol kejujuran. Tak ada yang mampu melebihi
kejujurannya. Dia pun manusia bijak tanpa tandingan. Tapi dalam perang besar
yang disebut Bharatayudha, dia pernah tergoda bujukan untuk menomorsatukan
kemenangan biarpun itu bertentangan dengan nuraninya sendiri. Ini akibat
bujukan Kresna yang bertubi-tubi menggodanya. Kresna meminta dia untuk
mengatakan Aswatama mati, biarpun sebenarnya Aswatama belum mati.
Dia mengatakannya dengan pelan, dan menyebut nama gajah yang mati
dalam perang, yang namanya Estitama. Dia menyebutkan nama itu di bawah pengaruh
Kresna untuk membuat Durna bingung. Dan benar, akibat ucapannya itu Durna
memang menjadi bingung. Kereta orang jujur ini berada sejengkal di atas tanah.
Roda keretanya tak menyentuh tanah seperti roda kereta raja-raja biasa. Lalu
apa akibatnya bagi orang yang menjadi simbol kejujuran itu? Parah sekali. Dan
dahsyat.
Biasanya, tiap naik kereta kerajaannya, roda keretanya sejengkal
mengambang di atas tanah. Pendeknya, roda-roda keretanya tak menyentuh tanah.
Sekarang, sesudah dia dianggap menodai kejujuran, roda-roda keretanya kini
menjadi kereta biasa, yang menyentuh tanah dan kotor. Orang jujur, yang menjadi
ikon kejujuran ini pernah berbuat tidak jujur. Dia dipermalukan para dewa.
Sekali lagi, bila dulu roda-roda kereta sejengkal mengambang di atas tanah,
kini tidak lagi. Kini dia dianggap sama dengan orang biasa. Dia malu. Bisakah
kita menjadi lain, dan tak sama dengan Puntadewa? Mungkin berat urusan kita.
Puntadewa terlalu mulia.
Tapi sekadar menjadi pihak yang kalah tanpa merasa terbuang, kita
bisa. Menjadi pemenang yang bersikap ”menang tanpa ngasorake ” atau ”the winner
takes nothing” kayaknya tak begitu sulit. Dengan begitu menang-kalah tetap
terhormat. Ini seharusnya menjadi warna kehidupan kita. Juga kehidupan dalam
politik. []
KORAN SINDO, 02 September 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar