Khilaf di Seputar Khilafah
Oleh: KH. Masdar Farid Masudi
-- Ada kesalahfahaman (khilaf) serius dan
merata perihal konsep “khilafat” di kalangan umat pada umumnya dan pegiat
politik kekuasaan Islam khususnya sejak dahulu sampai sekarang. Dikiranya
“khilafah” adalah konsep kekuasaan yang satu pihak memiliki klaim global
(‘alamiyah), dan di lain pihak bersifat sektarian (hanya untuk umat Islam
penganut sekte tertentu (Salafi/Khariji), plus berasal dari suku tertentu
(Arab-Quraisy).
Semua kekuasaan yang tidak menghimpun ketiga
unsur tadi menurut mereka tidaklah sah, liar dan wajib diperangi sebagai kafir
dan bughat (pemberontak-perampas). Tulisan ini hendak menjelaskan duduk
perkara: apa sebenarnya Khilafah/ Khalifah dalam ajaran Islam; untuk apa dan
bagi kepentingan siapa?”
Manusia sebagai Khalifah
Dari sudut bahasa, “khalifah” artinya adalah
“wakil” atau “mandataris”. Merujuk al-Qur’an (QS al-Baqarah [2]: 30 “khalifah”
adalah posisi dan peranan yang dimandatkan Allah kepada Adam dan segenap
manusia anak-cucunya untuk melanjutkan karya-karya Allah di muka bumi, baik
yang bersifat material maupun sosial. Sebagai “Khalifatullah fil Ardl”
(Mandataris Allah di muka bumi), manusia ditempatkan pada posisi yang begitu
terhoramat melebihi segenap makhluk Allah lainnya, termasuk malaikat.
Sebagai pengemban peran kekhalifahan Allah di
muka bumi, manusia dianugerahi pengetahuan (kemampuan anatomis dan analisis)
perihal segala sesuatu di alam semesta (al-asma kullaha), baik makhluk hidup
maupun benda-benda yang ada di jagat raya ini (QS al-Baqarah [2]: 31), plus
kebebasan memilih dan kemampuan bertindak serta daya cipta untuk
melanjutkan/mengolah karya-karya Allah di alam semesta.
Di lain pihak, Allah SWT telah lebih dahulu
menciptakan Malaikat dan Iblis-Syetan sebagai makhluk dan aparat-aparat
berdimensi tunggal. Di satu pihak malaikat adalah aparat putih untuk memotivasi
manusia menuju “kebaikan-kesetiaan” (tha’ at-makrufat); di lain pihak
iblis/syetan merupakan aparat hitam yang berperan sebagai penggoda manusia
untuk berbuat “dosa dan penyangkalan” (ma’shiyat-munkarat). Keunggulan
posisional manusia atas malaikat maupun iblis/syetan ini merupakan argumen
kedua yang membuatnya dinobatkan sebagai khalifah (wakil/mandataris)-Nya di
muka bumi.
Dua Kategori Khalifah
Selanjutnya, peran khalifah yang disandangkan
kepada manusia ada dua kategori: Pertama “khilafat individual” (khilafah
fardiyah) yang melekat secara kodrati pada diri pribadi setiap manusia sebagai
anak cucu Adam untuk melanjutkan karya-karya-Nya di bumi dan alam semesta (QS
al-Baqarah [2]: 30). Kedua “khilafat sosial” (khilafah ijtima’iyah), yang
diamanatkan Allah kepada manusia-manusia tertentu yang dikehendaki-Nya sebagai
pemimpin masyarakat/umat untuk mengatur kebutuhan sosial di dunia (QS Ali Imran
[3]: 26). Kedua peran kekhalifahan ini saling terkait dan saling mendukung satu
terhadap yang lain.
Harus dipahami bahwa posisi khilafat manusia
baik yang individual maupun sosial sifatnya inklusif dan universal. Semua
manusia dengan anak-cucu Adam, apapun jenis kelamin, suku bangsa, maupun
agama/keyakinannya, semua adalah khalifat Allah yang dipikuli amanat untuk
memakmurkan bumi-Nya. Demikian pula dengan peran khilafah sosial pada
figur-figur manusia tertentu, tidak terkait dengan anutan agama/keyakinan warna
kulit maupun suku tertentu. Manusia yang beragama maupun yang tidak beragama,
jika Allah menghendaki, bisa dikategorikan sebagai khalifat kategori ini (QS
Ali Imran [3]: 26). Bahwa yang bersangkutan tidak menyadari posisinya sebagai
khalifat Allah, itu soal lain.
Khilafat sosial sebagai mandat kepemimpinan
politik adalah peran yang terkait dengan tanggung jawab memakmurkan bumi Allah secara
bersama-sama sebagai makhluk sosial di berbagai bidang. Simpul kekhalifahan
politik dewasa ini tidak lain adalah negara-negara bangsa (nation state) atau
suku, dengan figur khalifah masing-masing yang secara sosiologis disebut: raja,
presiden, perdana menteri, kanselir, dan sebagainya, berikut segenap aparat
kekuasaan/pemerintahannya.
Perlu ditegaskan bahwa Khilafat
sosial-politik (Khilafat Ijma’iyyah-Siyasiyyah) tidak mempersayaratkan adanya
“Negara Dunia/Global State” sebagai wadah kekhalifahan tunggal di bumi, seperti
didoktrinkan oleh para pengusung doktrin Khilafah selama ini. Kekhalifahan
konteks negara bangsa (sya’b) atau bahkan suku (qabilah) dalam pandangan Qur’an
adalah sah (QS al-Hujurat [49]: 13). Meskipun demikian, tanpa harus mengingkari
eksistensi negara bangsa/suku, bisa saja dimungkinkan hadirnya semacam “negara
dunia” (Khilafah Alamiyah). Apa yang dijalankan oleh institusi PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) dewasa ini, kurang lebih adalah peran
“kekhalifahan global (Kekhilafahan Alamiyah) yang dimaksud.
Sumpah jabatan dengan menyebut nama
Allah/Tuhan YME yang lazim diucapkan oleh setiap pejabat publik saat
penobantannya, di berbagai negara bahkan di negara-negara sekuler seperti
Amerika Serikat, negara-negara Eropa, disadari atau tidak, ikut menggarisbawahi
posisi mereka sebagai Khalifat/Mandataris Tuhan YME, untuk mengatur kehidupan
dan mewujudkan cita-cita sosial bersama.
Sebagai “khalifat Allah” di muka bumi, para
pemimpin negara/pemerintahan (berikut segenap aparat kekuasaannya dari atas
sampai ke bawah) bukan saja harus bisa mempertanggungjawabkan) kebijakan dan
tindakan-tindakannya “ke bawah”, kepada segenap warga masyarakat (konstituen)
yang memilihnya, tapi juga “ke atas” kepada Allah Tuha Pencipta, Pemilik Hakiki
umat manusia sekaligus penguasa seluruh jagat raya (Rabbul Alamin) yang
menakdirkannya (Q/ Ali Imran [3]: 26).
Khilafat itu Inklusif
Harus dicatat bahwa peran kekhalifahan Allah
di muka bumi, baik khilafat individual maupun khilafah sosial, tidak mengenal
diskriminasi agama/keyakinan maupun suku bangsa. Siapa pun diantara mereka yang
jujur, pekerja keras, cerdas, dan bertanggung jawab, hampir pasti akan
dianugerahi Allah kesuksesan. Sebaliknya, yang culas, korup, dan lemah, apapun
agama dan keyakinannya, bisa dipastikan bakal gagal dan tersingkirkan.
Ada pertanyaan; dimana peran agama dalam
diskursus kekhilafatan ini? Sebagai piwulang etik dan moralitas dan akhlak
(kejujuran, keikhlasan, penghormatan terhadap sesama, kesediaan berkorban, dsb)
yang bersifat inklusif, agama sangatlah penting bagi suksesnya mandat
kekhalifahan manusia. Tapi agama sebagai dogma keimanan yang bersifat
personal/privat dan eksklusif sepenuhnya berada di luar domain kekhilafahan
sosial/publik ini. Agama sebagai realitas keimanan yang ada di relung hati
setiap manusia sepenuhnya merupakan domain pribadi-pribadi yang bersagkutan,
dan prerogatif Allah semata. Manusia sebagai khalifah Allah tidak berhak
memaksakan maupun menghakimi keimanan, bahkan yang ada di relung hatinya
sendiri.
Kuasa penghakiman atas agama sebagai
keyakinan yang tersembunyi di relung hati hanya wewenang Allah semata. Dan hal
itu tidak atau belum akan terjadi di dunia ini, melainkan baru di hari Qiyamat
nanti. Mengapa Qur’an menyebut hari Qiyamat sebagai “Hari Agama” (yaumuddin);
karena baru pada hari itulah agama sebagai realitas keimanan dalam relung hati
setiap manusia akan dihakimi. Itulah hari di mana kekuasaan Allah tidak lagi
didelegasikan kepada manusia atau pihak lain sebagai khalifah-Nya. Kata Qur’an;
“... Wal mulku yaumaidzin lillah/ Hari itu seluruh urusan dan kekuasaan ada
dalam genggaman-Nya” (Q/Al-Fatihah [1]: 3); (Q/Al-Hajj [22] :56), dan
(Q/Al-Infithar [82] : 19).
Khilafah NKRI
Bagaimana dengan status Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan pemerintahannya dalam perspektif doktrin
“kekhilafahan” ini? Berbasis pemikiran di atas, sepenuhnya bisa dikatakan bahwa
by concept “NKRI berdasarkan Pancasila-UUD 1945 tanpa ragu adalah salah satu
bentuk ke-Khilafahan sosial” seperti dijelaskan di atas.
Persoalannya tinggal bagaimana secara
konsisten dan terus menerus kita dekatkan NKRI ini pada idealitasnya sebagai
“Kekhilafahan Tuhan” untuk menggelar keadilan dan kemakmuran bagi segenap
rakyatnya; apa pun agamanya/keyakinan maupun suku bangsa dan warna kulitnya.
Umat Islam, sebagai pengemban ajaran Khilafah
harus berada digaris depan untuk membuktikan missi sosial agamanya yang
universal dan inklusif ini; bukan hanya bagi kelompoknya sendiri, tetapi bagi
segenap warga bangsa bahkan segenap umat manusia, tanpa diskriminasi apa pun.
Islam sebagai rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). []
Masdar Farid Masudi, Rais Syuriah PBNU
* Disampaikan dalam acara sarasehan pra-Munas
dan Konbes NU di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, 31 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar