Mereka-reka Kabinet Baru
Oleh: Budiarto Shambazy
PADA 4 April 1957 di Istana Negara, Presiden Soekarno mengadakan
pertemuan tertutup dengan 69 tokoh partai dan 45 perwira tinggi TNI untuk
membentuk kabinet. Bung Karno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur. Ia
membagikan formulir kepada hadirin berisikan tanda setuju atau tidak dengan
cara unik itu. Di formulir juga ada pertanyaan apakah mereka bersedia ditunjuk
sebagai menteri.
Ternyata, 58 dari 69 tokoh bersedia menjadi menteri, 9 menolak,
dan 2 tidak menjawab. Esoknya, Kabinet Karya diumumkan dan dipimpin tokoh
nonpartai, Djuanda Kartawidjaja, sebagai PM dengan 2 wakil PM dan 21 menteri.
Kabinet Djuanda inilah embrio ”kabinet kerja”. PM Djuanda berkali-kali
menjelaskan penempatan menteri dinilai dari keahlian meskipun ada 12 politisi
yang dianggap profesional.
Djuanda menyerahkan mandat sehari setelah BK menerbitkan Dekrit 5
Juli 1959. Dan, beberapa hari kemudian, BK membentuk Kabinet Kerja I dengan dia
sendiri sebagai PM dan Djuanda sebagai Menteri Pertama (semacam wakil PM). Tak
ada satu pun politisi yang diberikan jatah menteri. Dan, ada 12 menteri di
Kabinet Karya yang dipertahankan di Kabinet Kerja I ini.
Jika salah satu program Kabinet Karya ”mempergiat pembangunan”,
Kabinet Kerja I secara spesifik bertekad ”memperlengkap sandang-pangan rakyat
dalam waktu sesingkat-singkatnya”. Usia Kabinet Kerja I ini tak sampai setahun,
dirombak jadi Kabinet Kerja II (1960-1962).
Usia Kabinet Kerja III juga sekitar setahun, salah satu tujuannya
”program sandang-pangan harus diperhebat”. Sayangnya, Djuanda, yang de facto
bertindak sebagai PM, wafat beberapa hari setelah reshuffle pada 7 November
1963.
Kabinet Kerja IV juga berumur sekitar setahun sampai dibubarkan
pada 27 Agustus 1964 dan digantikan Kabinet Dwikora. Dua butir program kerja
Kabinet Kerja IV masih berkisar pada pemenuhan kebutuhan sandang-pangan.
Ada pendapat yang mengatakan, serial Kabinet Kerja inilah yang
memulai orientasi pada pembangunan ekonomi. Kebetulan Djuanda bukan politisi
dan diberikan kebebasan oleh BK.
Pada tahun-tahun itulah, pembangunan infrastruktur Ibu Kota
dimulai. Sebelumnya kita diganduli berbagai macam krisis, termasuk
pemberontakan PRRI/Permesta. Namun, BK rupanya juga tak bisa lepas dari
proyek-proyek politiknya. Ia masih membelenggu negeri dengan Konfrontasi
Malaysia yang juga membuang-buang dana tak kecil ketika membentuk Kabinet
Dwikora.
Kabinet Dwikora (1964-1966) terdiri dari 78 menteri. Lebih hebat
lagi, Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan, yang terdiri dari 112 menteri yang
berumur sebulan dan tiga hari saja.
Sebagai politisi, BK memang unik. Dia berani membagikan formulir
untuk diisi mereka yang berminat menjadi menteri atau nekat mengangkat lebih
dari 100 orang menjadi menteri.
Suatu kali dia bahkan mengganti tiga menteri sambil ngobrol di
lorong Istana Bogor dengan Menteri Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani. Waktu
mengambil keputusan itu, dia pamit keluar 5 menit dari ruangan saat sedang
menemui Jaksa Agung Amerika Serikat Robert Kennedy.
Bagi BK, prerogatif merupakan hak atau privilese yang secara
eksklusif dimiliki presiden. Tiap presiden memiliki keleluasaan, kekuasaan,
keuntungan posisional, dan kewenangan membentuk serta merombak kabinet. Saran,
kritik, atau tekanan boleh saja ditampung oleh pemegang hak prerogatif. Namun,
pada akhirnya keputusan tetap di tangan presiden.
Secara konstitusional, seorang wapres pun tidak bisa mempersoalkan
hak prerogatif presiden, apalagi partai, tokoh, opini publik, pendapat pakar,
atau siapa pun. Namun, mungkin zaman sudah berubah. BK memakai hak
prerogatifnya secara penuh setelah ”diganggu” partai-partai pasca Pemilu 1955.
Partai-partai, menurut dia, mesti ”dikubur hidup-hidup” karena tidak
memikirkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itulah, BK ngotot membentuk
”kabinet karya/kerja” yang terbilang berhasil berkat kinerja Djuanda.
Presiden Soeharto pun sebenarnya ikut melanjutkan apa yang telah
dirintis BK. Setidaknya Pak Harto tetap bercita-cita membawa Indonesia ”lepas
landas” seperti yang dicanangkan juga oleh BK melalui rangkaian pembangunan per
lima tahunan (Bung Karno delapan tahunan).
Pak Harto lebih cermat selama memimpin sembilan kabinet dalam
periode 1966-1998 berkat kepemimpinan kuat dan prinsip winner takes all setiap
kali Golkar memenangi pemilu. Kadang politisi PPP dan PDI diakomodasi mengisi
departemen yang kurang strategis.
Namun, kita semua tahu, serial Kabinet Pembangunan-lah yang
mengintrodusir profesionalitas menteri-menteri kelompok ekonomi. Sistem politik
Orde Baru yang otoriter tentu menjamin kinerja tiap kabinet mencapai target
kerja.
Sejak merdeka sampai tahun ini, negeri ini sudah dikelola oleh 48
kabinet. Kita mengikuti saksama proses pembentukan kabinet baru duet Presiden
Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. Janji kampanye pemerintahan baru akan
membentuk kabinet kerja berstruktur ramping dan profesional. Rasanya masih
realistis berharap mereka memegang janji tersebut.
Joko Widodo-Jusuf Kalla dipilih langsung oleh 72 juta rakyat.
Lebih penting mempertimbangkan struktur kabinet yang berorientasi pada ”apa”
yang mesti dilakukan untuk mencapai Nawa Cita, bukan ”siapa” yang jadi
menteri-menterinya. []
KOMPAS, 30 Agustus 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar