Melontar Jumrah pada Tiga
Hari Tasyriq Sebelum Terbit Fajar
Pertanyaan:
Pada saat puncak pelaksanaan haji, tanggal 9
– 13 Dzulhijjah, jama'ah haji dari seluruh penjuru dunia berkumpul pada satu
waktu dan satu tempat yang sama (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Jumlahnya
berkisar 3 – 4 juta orang. Hal ini dapat membawa konsekuensi tersendiri, yakni
berupa kesehatan dan keselamatan diri para jama’ah.
Terkait padatnya jamaah haji tersebut, pada
saat melontar Jumrah pada 3 (tiga) hari tasyriq terdapat beberapa kelompok
jamaah haji dari Indonesia yang melaksanakan lontar jumrah tersebut lebih awal,
yaitu sebelum terbit fajar. Padahal, sesuai dengan hadits Nabi SAW, waktu
lontar adalah setelah tergelincirnya mata hari (ba’da zawal). Pertanyaanya,
bagaimanakah hukum melontar jumrah pada tiga hari tasyriq sebelum terbit?
Jawaban:
Menurut jumhur ulama, hukum melontar jumrah
baik Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (hari Nahr) maupun jumrah pada 3 hari
tsyriq adalah wajib. Bagi yang tidak melontar jamrah Aqabah wajib membayar dam
(Said bin abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah, hal.
271; Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. I, hal.
665).
Adapun waktu fadhilah (utama) jumrah Aqabah
setelah terbit matahari dan melontar jumrah 3 hari tasyriq setelah tergilincir
matahari (bakda zawal). Sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw. berdasarkan
riwayat berikut ini;
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمِى
اَلْجَمْرَةَ ضُحًى يَوْمَ النَّحْرِ وَحْدَهُ وَرَمَى بَعْدَ ذَلِكَ بَعْدَ
زَوَالِ الشَّمْسِ -رواه مسلم
Artinya: Jabir berkata: Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar satu jumrah saja (jumrah
aqabah) pada waktu dhuha hari Nahar. Dan sesudah itu hari-hari berikutnya
(tanggal 11 s.d. 13 Dzulhijjah) beliau melempar (3 jumrah) setelah tergelincir
matahari (H.R. Muslim)
Namun para fuqaha berbeda pendapat mengenai
waktu yang dianggap cukup (sah) untuk melontar jamrah Aqabah: Imam Mujahid,
al-Tsauri dan al-Nakha'i, menyatakan tidak dibenarkan melontar jumrah Aqabah
sebelum terbit matahari. Sedangkan, menurut Imam Abu Hanifah, Malik, Ishak dan
Ibnu Mundzir diperbolehkan melontar jumrah Aqabah setelah terbit fajar. Adapun
menurut Imam Syafi'i dan Ahmad bahwa awal waktu diperbolehkan melontar jamrah
ialah setelah lewat tengah malam pada malam hari Nahr (Said bin Abdul Qadir
Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj wa al-‘Umrah, hal. 271-273), dan menurut
Imam Syafi'i dan Ahmad akhir waktu melontar jumrah Aqabah adalah saat terbenam
matahari pada akhir hari Tasyriq, tanggal 13 Dzulhijjah (Abdurrahman al-Jaziri,
al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-Arba’ah, Juz. 1, hal. 665).
Terkait waktu yang dianggap cukup (sah) untuk
melontar jumrah pada hari-hari tasyriq, juga terdapat perbedaan pendapat di
antara para fuqaha. Menurut Jumhur Ulama, tidak sah melontar jumrah pada
hari-hari Tasyriq, kecuali setelah tergelincir matahari (bakdaz zawal). Namun
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melontar jumrah pada hari Nahr diperbolehkan
sebelum tergelincir matahari (qablaz zawal) (Ibnu Qudamah al-Maqdisi,
al-Mughni, Juz. 5, hal. 328).
Senada dengan Abu Hanifah, Atha’ dan Thawus
(dua tokoh ulama fuqaha) dari golongan Tabi'in ini juga menyatakan, boleh
melontar jamrah pada hari tasyriq sebelum zawal:
قال
عطاء وطاوس: يجوز الرمي مطلقا أيام التشريق قبل الزوال
Artinya: Imam Atho’ dan Thowus berpendapat
bahwa secara mutlak boleh melontar jumrah pada hari-hari tasyriq sebelum
tergelincir matahari (Said bin abdul Qadir Basyinfar, al-Mughni fi Fiqh al-Haj
wa al-‘Umrah, hal. 286).
Di dalam kitab Fath al-Bari juga dikemukakan:
وَفِيْهِ
دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَرْمِيَ اْلجِمَارَ فِيْ غَيْرِ يَوْمَ
اْلأَضْحَى بَعْدَ الزَّوَالِ وَبِهِ قَالَ اْلجُمْهُوْرُ. وَخَالَفَ فِيْهِ عَطَاءٌ وَطَاوُوْسٌ فَقَالاَ يَجُوْزُ
قَبْلَ الزَّوَالِ مُطْلَقًا. وَرَخَّصَ الْحَنَفِيَّةُ فِى الرَّمْيِ فِي يَوْمِ
النَّفَرِ قَبْلَ الزَّوَالِ. وَقَالَ إِسْحَاقُ إِنْ رَمَى قَبْلَ الزَّوَالِ
أَعَادَ إِلاَّ فِى الْيَوْم الثَّالِثِ فَيُجْزِؤُهُ
Artinya: Hadits itu menjadi dalil, menurut
sunah melempar jumrah selain hari Adlha adalah setelah zawal, ini adalah
pendapat jumhur ulama. Berbeda dengan pendapat Atho’ dan Thawus yang
mengemukakan, boleh melempar jumrah sebelum zawal secara mutlak. Al-Hanafiyah
memberikan rukhshah (keringanan), boleh melempar jumrah pada hari nafar sebelum
zawal. Ishaq berpendapat, jika seseorang melempar jumrah sebelum zawal (pada
hari nafar), maka ia harus mengulanginya, kecuali pada hari ketiga tasyri, maka
melempar sebelum zawal cukup baginya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari,
Baerut: Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M, Jilid IV, hal. 409-410).
Menurut Atho dan Thowus, dibolehkannya qablaz
zawal karena: Pertama, Nabi tidak melontar pada hari-hari tasyriq sebelum zawal
dan tidak pula melarang, akan tetapi beliau melakukannya setelah zawal, artinya
perbuatan Nabi itu menunjukkan afdhal bukan keharusan. Kedua, kalau pada
tanggal 10 Dzulhijjah jamaah haji melontar hanya pada satu tempat dibolehkan
pada waktu dhuha, maka apabila pada hari-hari Tasyriq dimana pelontaran itu
dilakukan pada tiga tempat, tentunya tidak harus dipersempit waktunya bahkan
sepantasnya diperluas. Oleh karena itu maka pada hari-hari Tasyriq (11, 12 dan
13 Dzulhijjah) boleh melontar sebelum zawal.
Namun menurut Imam Rafi’i, pendapat tersebut
lemah sehingga pelaksanaannya harus bakdal fajri (setelah fajar) dan tidak
boleh sebelum fajar (qablal fajr). Di dalam Tuhfah al-Muhtaj dikemukakan:
وَجَزَمَ
الرَّافِعِيُّ بِجَوَازِهِ قَبْلَ الزَّوَالِ كَاْلإِمَامِ ضَعِيْفٌ وَإِنْ
اعْتَمَدَهُ اْلإسْنَوِيُّ وَزَعَمَ أَنَّهُ الْمَعْرُوْفُ مَذْهَبًا وَعَلَيْهِ فَيَنْبَغِي
جَوَازُهُ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: Al-Rafi’i menetapkan, boleh melempar
jumrah (pada hari Tasyriq) sebelum zawal (zhuhur) seperti pendapat al-Imam. Ini
pendapat yang lemah, walaupun menjadi pegangan al-Isnawi yang menyatakan bahwa
pendapat tersebut adalah pendapat yang ma’ruf (dikenal) dalam mazhab
(al-Syafi’iyah). Karenanya (qaul dla’if), seyogyanya diperbolehkan melempar
jumrah itu sejak terbit fajar (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh
al-Minhaj pada hamisy Hasyiah al-Syirwani, Mesir: al-Tijariah al-Kubra, Juz IV,
hal. 138).
Di dalam kitab I’anah al-Tholibin juga
dikemukakan bahwa praktik melontar hendaknya setelah fajar:
وَالْمُعْتَمَدُ
جَوَازُهُ فِيْهَا أَيْضًا وَجَوَازُهُ قَبْلَ الزَّوَالِ بَلْ جَزَمَ الرَّفِعِيُّ وَتَبِعَهُ اْلإِسْنَوِيُّ
وَقَالَ إِنَّهُ الْمَعْرُوْفُ بِجَوَازِ رَمْيِ كُلِّ يَوْمٍ قَبْلَ الزَّوَالِ
وَعَلَيْهِ فَيَدْخُلُ بِالْفَجْرِ
Artinya: Menurut pendapat yang kuat, boleh
melempar jumrah pada hari tasyriq itu sebelum zawal. Bahkan, al-Rafi’i juga
berpendapat sama yang diikuti oleh al-Isnawi. Al-Isnawi mengemukakan, cara
itulah yang dikenal, yakni boleh melempar jumrah setiap hari sebelum zawal.
Praktiknya, seyogyanya diperbolehkan melempar jumrah itu sejak terbit fajar
(Muhammad al-Bakri Syatho al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, (Mesir: al-Tijariah
al-Kubra, t. th.), Juz II, h. 307)
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa melotar
jumrah pada tiga hari tasyriq sebelum terbit fajar untuk hari besoknya tidak
sah karena waktu tersebut adalah di luar batas-batas waktu yang ditentukan.
Oleh sebab itu, jika pera jemaah haji tidak bisa melontar pada waktu
afdloliyah, (bakdaz zawal) sebaiknya melontar setelah terbit fajar (bakdal
fajri).
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan
semoga bermanfaat dan para jemaah haji mendapatkan haji mabrur. []
Sarmidi Husna
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar