MK Bukan
Legislatif
Oleh: Moh
Mahfud MD
Mahkamah
Konstitusi (MK) bisa diibaratkan sebagai lembaga negara yang dibenci, tetapi
juga dirindui sekaligus. Setelah meledaknya kasus penangkaptanganan Ketua MK
Akil Mochtar, 2 Oktober 2013, MK menjadi sasaran kebencian dan kemarahan banyak
pihak.
Perkara-perkara
lama yang sudah bertahun-tahun selesai di MK diungkit-ungkit lagi, dituding
sebagai produk korupsi, para pimpinan lembaga negara mengisolasi MK dengan
membuat keputusan yang terkait dengan MK tanpa mengundang pimpinan MK, bahkan
pada sidang resmi MK diserang secara brutal oleh pengunjung sidang.
Namun
pada saat yang sama MK tetap dirindukan dan menjadi tempat berharap untuk
menyelesaikan secara adil dan konstitusional berbagai konflik yang terkait
dengan masalah-masalah konstitusi. Meskipun banyak yang mencaci MK, banyak pula
yang tetap mengajukan perkara ke MK untuk diputus, baik pemilu (pileg, pilpres,
dan pilkada) maupun pengujian undangundang (judicial review).
Uniknya,
tidak jarang kita mendengar ancaman orang akan menguji ke MK satu UU yang masih
berupa ide atau rencana alias belum menjadi UU. Harus diingat, MK bukan lembaga
legislatif atau lembaga negara pembentuk atau pembuat UU. MK adalah lembaga
yudikatif yang mengadili jika ada masalah konstitusionalitas UU, tetapi MK
tidak boleh membuat vonis pengujian UU yang sifatnya mengatur, sebab yang boleh
mengatur dengan UU hanya lembaga legislatif (DPR dan pemerintah).
Penggagas
peradilan konstitusi Hans Kelsen mengatakan bahwa MK merupakan negative
legislator atau lembaga yang hanya boleh membatalkan atau menegasikan UU (atas
sebagian isinya) tanpa boleh membuat isi UU. Tegasnya, dalam konteks UU, MK
boleh membatalkan UU, tetapi tidak boleh membuat peraturan yang menjadi materi
muatan UU.
Harus
diingat pula bahwa MK hanya boleh membatalkan UU atau isi UU yang bertentangan
dengan konstitusi atau berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara,
kelompok masyarakat maupun badan hukum. MK tidak boleh membatalkan UU atau isi
UU yang hanya tidak disukai oleh seseorang, ditentang oleh sekelompok orang,
atau tidak disenangi oleh hakim MK sendiri.
Ukuran
utama bagi MK untuk membatalkan UU atau isi UU adalah manakala ia benarbenar
bertentangan dengan konstitusi. Itulah sebabnya dari begitu banyak pengajuan
judicial review ke MK (minimal sampai April 2013), terdapat hanya sekitar 23%
yang dikabulkan, itu pun banyak yang dengan pengabulan bersyarat.
Di dalam
beberapa putusan MK ada dua istilah yang sering dipergunakan sebagai alasan
untuk membatalkan atau tidak membatalkan isi UU, yakni istilah opened legal
policy (pilihan politik hukum yang terbuka) dan closed legal policy (pilihan
politik hukum yang tertutup) sebagaimana diatur di dalam UUD. MK tidak boleh
membatalkan UU atau isi UU yang materinya menjadi pilihan politik hukum terbuka
(opened legal policy) bagi DPR, tetapi boleh membatalkan isi UU yang secara
konstitusional bersifat tertutup alias tak bisa diartikan lain dari isi UUD.
Ihwal
pencalonan pasangan capres/cawapres oleh parpol atau gabungan parpol, misalnya,
bisa disebut sebagai contoh dari pilihan politik hukum yang tertutup. Pasal 6A
UUD 1945 menegaskan bahwa pasangan capres/cawapres harus diajukan oleh parpol
atau gabungan parpol. MK tidak boleh membatalkan isi UU yang sudah mengatur
sama dengan isi UUD itu. Yang bisa mengubah itu hanya MPR melalui amendemen
atas UUD 1945. I
Ini
berbeda dengan pencalonan kepala daerah yang memang tidak menutup calon
perseorangan. Pasal 18B UUD 1945 mengatur, pemilihan kepala daerah dilakukan
secara demokratis. Istilah demokratis mencakup pengajuan calon melalui parpol
yang sudah mempunyai kursi di DPRD dan pengajuan calon secara perseorangan.
Maka itu ketika lembaga legislatif mereduksi istilah demokratis dengan hanya
memberi hak pengajuan calon kepala daerah kepada parpol, MK membatalkannya.
Reduksi
atas istilah demokratis itu dipandang sebagai pelanggaran atas hak
konstitusional warga negara. Ini lain lagi, misalnya, soal banyaknya kursi atau
daerah pemilihan untuk pemilu legislatif serta jumlah komisi di DPR RI. Hal-hal
tersebut sepenuhnya menjadi hak lembaga legislatif untuk menentukannya.
MK tak
boleh membatalkan halhal tersebut, apalagi kemudian mengaturnya, kecuali
nyatanyata ada pemasungan terhadap hak konstitusional atau melanggar
prinsip-prinsip dalam konstitusi. MK tak bisa membatalkan isi UU yang
menentukan jumlah anggota atau jumlah alat kelengkapan seperti komisikomisi di
DPR, sebab hal-hal tersebut merupakan pilihan politik hukum terbuka bagi
lembaga legislatif untuk menentukannya sendiri sesuai dengan hak dan prosedur
yang tersedia.
Kalau MK
membatalkan halhal yang sudah menjadi hak DPR untuk menentukannya sendiri
berdasar pilihan politik hukum secara terbuka, apalagi kemudian ikut
mengaturnya, maka MK telah bergeser atau digeser dari lembaga yudikatif menjadi
lembaga legislatif. Itu tidak boleh terjadi, kecuali dengan alasan luar biasa
dan bersifat einmalig.
Sebagai
mantan hakim MK saya mulai merasa gembira karena dalam vonis-vonisnya
belakangan ini MK sudah independen, tidak terombang-ambing oleh intervensi atau
teror opini, keluar dari trauma dan mulai berjalan dengan gagah sebagai penjaga
demokrasi dan nomokrasi. []
KORAN SINDO,
13 September 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar