Dari Korban Menjadi Penyintas
Oleh: Hasibullah Satrawi
APA yang kurang dari upaya penanganan dan pencegahan terorisme di
Republik ini? Itulah pertanyaan yang belakangan banyak ditemukan di ruang-ruang
publik.
Setidaknya itu berdasarkan pengalaman sempit penulis mengisi
beberapa acara terkait dengan persoalan terorisme mutakhir.
Pertanyaan seperti di atas muncul karena di satu sisi, aparat dan
lembaga terkait terorisme tampak telah melakukan pelbagai macam kegiatan
pencegahan bahkan juga penindakan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait
dengan jaringan terorisme. Namun, di sisi lain, jaringan terorisme seakan tidak
terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan antiterorisme yang ada. Bahkan jaringan
terorisme justru semakin liar dan acap tak terkendali.
Kontroversi penyebaran gerakan Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS/ISIL/IS) di negeri ini menjadi salah satu contoh mutakhir terkait dengan
‘kekebalan’ jaringan terorisme dari upaya penanggulangan yang telah dilakukan.
Tak seperti kelompok teroris yang kerap melakukan gerakan bawah tanah dengan
identitas yang tertutup rapat, ISIS bahkan sempat tampil melakukan deklarasi di
mana-mana dan melakukan kampanye visual dengan muka yang terbuka!
Pemberdayaan korban
Harus diakui bersama, selama ini ada satu elemen yang kurang
diberdayakan dan diberikan peran secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman
terorisme, yaitu komunitas-komunitas korban bom terorisme. Kalaupun ada
sebagian dari korban yang dilibatkan, hal itu lebih bersifat personal dan
cenderung ‘itu-itu saja’.
Padahal, korban terorisme di negeri ini berjumlah ratusan orang
dan tersebar di banyak komunitas. Sebagai contoh, saat ini ada sekitar 200-an
korban bom yang masuk database Aliansi Indonesia Damai (Aida) dan sudah
diverifikasi. Di luar sana, masih banyak lagi korban bom yang masih dalam
tahapan verifi kasi.
Secara teori, setiap korban mempunyai potensi yang sama untuk
menyadarkan semua pihak terkait dengan dampak aksi terorisme, mengingat mereka
menjadi korban dari kejahatan yang kurang lebih sama.
Oleh karena itu, sejatinya bangsa ini mempunyai ratusan ‘pasukan
perdamaian’ untuk menghadapi ancaman terorisme di pelbagai macam bentuknya.
Sangat disayangkan, pasukan itu acap terabaikan dan hanya segelintir dari
mereka yang diberdayakan untuk menyadarkan masyarakat luas terkait dengan
dampak terorisme. Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan secara
bersama-sama ke depan untuk mengoptimalkan peran korban terorisme.
Pertama, memberdayakan para korban, baik secara mental, semangat,
maupun wawasan, termasuk membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan
presentasi. Pemberdayaan seperti itu teramat sangat penting untuk dilakukan. Di
satu sisi, para korban mempunyai pengalaman dan kisah yang akan sangat
strategis bila digunakan untuk menyadarkan semua pihak dari ancaman terorisme,
khususnya para korban yang sudah bisa ‘berdamai’ dengan tragedi yang dialami
atau bahkan sampai pada tahap memaafkan para pelaku terorisme.
Di sisi lain, para korban terdiri dari latar belakang sosial,
ekonomi, pendidikan, dan profesi yang berbeda-beda. Bagi para korban dari
kalangan aktivis, contohnya, berbicara di ruang publik sebagai narasumber
mungkin tidak menjadi persoalan. Namun, kondisi itu akan sangat berbeda dengan
para korban yang sebelumnya tidak biasa berbicara di ruang publik dan formal.
Oleh karena itu, pemberdayaan para korban dimaksudkan untuk
membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi, hingga para
korban mempunyai kemampuan yang sama untuk mengambil peranan strategis dalam
upaya menghadapi ancaman terorisme melalui kisah-kisah mereka.
Pada akhir 2013 lalu, Aida pernah melakukan pemberdayaan seperti
di atas. Para korban diberikan pelatihan khusus terkait dengan teknik
komunikasi dan presentasi sebelum mereka membagikan kisahnya kepada anak-anak
siswa di sejumlah sekolah. Hasilnya sangat menggembirakan dan sungguh luar
biasa; para korban yang awalnya tidak biasa berbicara di depan umum sebagai
narasumber secara perlahan mulai terbiasa. Bahkan presentasi para korban dari
latar belakang yang berbeda-beda seperti di atas mempunyai kekhasan tersendiri.
Dengan bahasa tubuh yang natural, mereka tak jarang mampu memberikan pesan yang
lebih jelas dan lebih mudah dipahami.
Hal itu terlihat jelas dari kesaksian sebagian siswa pascaacara
berlangsung. Sejumlah siswa mengatakan bahwa mereka baru menyadari kesalahan
para teroris setelah bertemu dan mendengar langsung kisah yang diberikan para
korban. Padahal, sebelum mendengarkan presentasi para korban, sebagian siswa
mengaku memaklumi apa yang dilakukan para teroris sebagai balasan atas ketidakadilan
global terhadap umat Islam.
Kedua, memenuhi hak-hak korban. Sesuai dengan ketentuan
konstitusi, negara berkewajiban melindungi warganya dan mencukupi kebutuhan
mereka yang tidak mampu. Terlebih lagi bagi warga negara yang menjadi korban
aksi kejahatan seperti terorisme.
Meski demikian, sejauh ini para korban terorisme acap tidak
mendapatkan hakhaknya. Bahkan menurut pengakuan dari sebagian korban, pada
waktu kejadian bom, tak sedikit dari mereka yang harus menunggu selama
berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis karena menunggu jaminan pembiayaan
dari pemerintah.
Dalam konteks seperti itu, pengesahan terhadap Revisi
Undang-Undang (RUU) No 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) menjadi sebuah keterdesakan yang semestinya mendapatkan dukungan
dari semua pihak. RUU itu menjamin adanya bantuan medis, bantuan rehabilitasi
psikososial dan psikologis bagi para korban terorisme dan korban pelanggaran
HAM berat (Pasal 6).
Tentu RUU itu tidak akan mampu menyelesaikan semua masalah yang
harus dihadapi para korban terorisme, termasuk pemenuhan hakhaknya. Namun, RUU
tersebut setidaknya bisa memberikan jaminan medis bagi para korban, khususnya
pada saat-saat baru terjadi sebuah ledakan bom, hingga tidak perlu ada korban
bom lagi yang harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis.
Menjadi penyintas
Pemberdayaan dan pemenuhan hak korban sebagaimana di atas menjadi
sebuah keharusan untuk mendorong para korban menjadi penyintas, hingga para
korban dapat secara optimal berperan (dan bisa diperankan) dalam upaya
menghadapi persoalan terorisme ke depan.
Meminjam kaidah hukum Islam yang sangat kesohor, faqidus syai'i la
yu'thihi (orang yang tidak memiliki sesuatu tak mungkin bisa memberikan sesuatu
tersebut kepada pihak lain), kaidah hukum itu sedikit banyak relevan dengan
sejumlah persoalan internal korban yang ada saat ini. Selama persoalan internal
yang ada belum terselesaikan, hampir mustahil mereka dapat berperan secara
optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme.
Semua ini tentu membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya
pemerintah, hingga para korban tidak terlalu disibukkan dengan persoalan
‘internal’ mereka. Dengan demikian, para korban bisa melangkah maju keluar
untuk mengambil peranan dalam upaya membangun Indonesia yang damai dari
terorisme.
Keterlibatan para penyintas dalam menghadapi ancaman terorisme ke
depan teramat penting. Selain karena korban bisa membagikan kisahnya,
sebagaimana di atas, juga karena jaringan terorisme seakan tidak pernah mau
hengkang dari bumi Indonesia. Bahkan jaringan itu semakin intens menjadikan
anak-anak muda sebagai target regenerasi.
Para penyintas bisa menjadi ‘pasukan alternatif ’ dalam perang
panjang melawan jaringan terorisme, khususnya di saat negara seakan mati kutu
dalam menghadapi jaringan kejahatan tersebut. Dengan keterlibatan dan peran
dari para penyintas, bangsa ini diharapkan mampu memukul mundur sekaligus
mengusir terorisme keluar dari teritorium Indonesia, bukan justru Indonesia
yang terus terdesak oleh ancaman terorisme di pelbagai macam bentuk dan
kelompoknya. []
MEDIA INDONESIA, 06 September 2014
Hasibullah Satrawi ; Direktur Aliansi Indonesia
Damai (Aida), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar