Pendidikan Mengangkat Martabat Bangsa
Oleh: Komaruddin Hidayat
Dalam berbagai forum pelatihan guru-guru saya sering memulai
dengan mengajukan pertanyaan sambil memegang handphone (HP/telepon genggam) dan
mikrofon: mengapa harga handphone jauh lebih mahal, bahkan berlipat, ketimbang
mikrofon, padahal secara fisik ukurannya lebih kecil?
Jawabannya tentu sudah kita ketahui bersama. Meski ukurannya
kecil, HP memiliki banyak fungsi yang sangat membantu aktivitas kita
sehari-hari. Yang paling primer adalah mendekatkan jarak pendengaran dan
pembicaraan yang tadinya jauh dan tak akan terjangkau oleh telinga lalu menjadi
dekat. Di mana saja, kapan saja, selagi sinyalnya bagus kita bisa berkomunikasi
lisan dengan teman melalui HP sekalipun berjarak lintas benua.
Lebih dari sekadar untuk berbicara, HP juga dilengkapi berbagai
fasilitas yang kita perlukan, sejak dari kamera, kalender, akses ke internet,
musik, peta bumi, kamus, Alquran, dan sebagainya. Faktor lain lagi yang membuat
menarik dan mahal adalah desainnya yang indah dan mungil. Jadi, apa yang
membuatnya mahal? Karena di dalam HP terdapat investasi sains dan teknologi
canggih.
Demikian pula halnya dengan manusia. Hal yang membuatnya berharga
dan dicintai serta diperlukan banyak orang bukan terletak pada fisiknya yang
besar, melainkan kualitas yang melekat pada dirinya, terutama integritas dan
ilmu pengetahuan yang dimiliki. Keduanya ini merupakan produk pendidikan yang
bermutu dan berkesinambungan, mengingat mendidik seseorang sampai membuahkan
hasil diperlukan waktu sekitar 20-25 tahunan.
Beda dari menanam padi atau jagung yang menjanjikan panen hanya
dalam waktu 3 bulanan. Pisang sekitar 6 bulanan, kelapa sekitar 5 tahunan. Jadi,
untuk meletakkan dasar dan strategi pendidikan bagi anak-anak bangsa mesti
berpikir jauh ke depan, bukan berubahubah dan heboh setiap lima
tahunansepertihalnya pemilu. Presiden beserta jajaran kabinet serta anggota DPR
boleh saja ganti setiap lima tahun.
Namun, pola dan strategi pendidikan tidak boleh berubah-ubah,
kecuali dalam jangka waktu tertentu berdasarkan riset dan pemikiran yang
matang. Bahkan sangat bisa jadi keberhasilan sebuah program pendidikan, ibarat
menanam benih pohon, seorang presiden atau menteri pendidikan yang meletakkan
fondasinya tidak melihat hasilnya karena sudah lebih dulu meninggal.
Sejarah berbagai negara memberikan pelajaran, misalnya saja China,
Australia, Jepang, Korea, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia, bahwa berkat
pemerintah mereka yang sangat peduli dan serius dalam merancang dan
melaksanakan strategi pendidikan bagi rakyatnya, negara-negara itu lebih maju.
Penduduk bukannya menjadi beban dan menambah angka kemiskinan,
tetapi sebagai kekuatan produktif untuk memacu dan menyangga kemajuan bangsa
dan negaranya. Australia, yang dulunya sebagai tempat pembuangan atau
penampungan penjahat kulit putih dari Eropa, sekarang merupakan salah satu
negara paling makmur di dunia dan menjadi kiblat pendidikan. Jumlah mahasiswa
Indonesia yang belajar ke Australia lebih besar ketimbang mereka yang ke
Amerika.
Ini semua berpangkal pada sistem pendidikannya yang dikelola
secara serius dan terbuka bagi inovasi baru yang lebih baik. Begitu pun Jepang
dan Korea Selatan, meski sumber daya alam dan jumlah penduduknya jauh lebih
kecil dibanding Indonesia, karena pendidikannya bagus maka sektor industri
menjadi terdongkrak maju yang pada urutannya membanjiri pasar Indonesia.
Padahal, berapa banyak universitas di Indonesia yang usianya lebih
tua, jumlah mahasiswanya lebih banyak, namun alumni yang dihasilkan tidak
seproduktif mereka. Di mana letak kesalahannya? Bagaimana halnya dengan
negara-negara kecil seperti Hong Kong atau Singapura? Mereka lebih mudah dan
cepat melakukan pemerataan dan akselerasi pendidikan bagi warganya.
Singapura yang dulu lebih dikenal sebagai kota transit dan
belanja, sekarang berhasil mengubah citranya sebagai negara yang menawarkan
pendidikan bagus. Banyak profesor asing kelas dunia dihadirkan ke Singapura
sehingga kultur dan kualitas pendidikannya berkembang naik berada pada
peringkat kelas dunia. Yang juga fenomenal adalah Malaysia. Putra-putri
terbaiknya secara masif difasilitasi untuk belajar ke luar negeri pada
universitas kelas dunia atas beasiswa negara.
Selain itu, sekian banyak sarjana berkualitas dari Indonesia
ditawari untuk menjadi dosen di Malaysia. Mereka bekerja untuk mendidik dan
memintarkan warga Malaysia dengan fasilitas dan gaji cukup. Jadi, jika sektor
pendidikan di Indonesia tidak dibenahi secara serius dan memperoleh perhatian
serta prioritas langsung dari jajaran wakil rakyat dan presiden, mudah
diprediksi bangsa ini akan kalah bersaing dalam percaturan global.
Sekarang pun dalam berbagai hal sudah kalah bersaing karena
kelemahan kualitas SDM kita. Akar masalahnya adalah pada kebijakan dan politik
pendidikan yang salah. Akibatnya, perkembangan penduduk yang mestinya menjadi ”
bonus demografi”, jangan-jangan malah menjadi beban negara. Subsidi negara
selalu naik, tetapi produktivitas rakyat menurun.
Kita tidak bisa lagi menggantungkan kemurahan sumber daya alam
untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa disertai keunggulan sains dan teknologi
dibawah pemerintahan yang bersih. []
KORAN SINDO, 12 September 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar