Politik Pertanian
Oeh: Bisri Effendy
-Bagi seorang petani, menanam padi tidak
sekedar menabur benih di sebuah lahan, mengairi, menyiangi, dan memanen. Ia
bertemali dengan kekuatan alam lain di luar diri sang petani.
Sangiang Sri seperti yang termaktub dalam La Galigo atau Dewi Sri dalam mitologi Jawa adalah sebuah kekuatan gaib yang amat berpengaruh pada penanaman padi. Biji benih, kesuburan, dan keberkabahan dikaitkan dengan seberapa jauh kekuatan itu “turun tangan” ke dalamnya. Dalam konteks itu, kita mengenal berbagai ritual menyongsong, merawat, dan menyudahi proses penanaman padi.
Beras, bagi petani, bukan hanya dilihat sebagai soal ekonomi untuk memenuhi kebutuhan kalori, protein, dan vitamin, tetapi juga merupakan tanaman firdaus yang memiliki kekuatan misterius untuk menguatkan lahir-batin. Sejumlah mitos menyatakan bahwa beras adalah “makanan Ilahiah” (rohaniah) yang dapat menimbulkan kekuatan, keberdayaan, dan mencegah kemalasan dalam meniti kehidupan sehari-hari.
Modernisasi pertanian (revolusi hijau) pada awal 70-an oleh negara yang didukung pemodal dan kaum terpelajar berupa intensifikasi menyebabkan tidak hanya perubahan jenis bibit padi dan perawatannya tetapi juga pandangan masyarakat terhadap padi dan seluruh yang berkaitan dengannya. Beras sebagai “makanan Ilahiah” dan proses produksi yang serba sakral (suci) menjadi makanan murni biologis yang profan (duniawi) dan diproduksi secara rasional tanpa kaitan dengan mahluk gaib dan upacara-upacara mistis.
Bukan hanya modernisasi, agama yang berwatak puritan (tekstualistik) berperan penting dalam mengubah religiusitas (sakralitas) pertanian. Praktik ritual pertanian yang juga amat penting dalam menjaga keimbangan mikrokosmos-makrokosmos justru dianggap menyimpang dari ajaran, bahkan sebagian kaum puritan ini memandangnya sebagai kufur dan musyrik. Dengan berbagai cara praktik-praktik ritual itu disirnakan yang menyebabkan dampak modernisasi di atas makin kuat dan terlegitimasi.
Praktik ritual menjelang tanam maupun pasca panen di sebagian daerah memang masih terselenggara, tetapi makna subtantif di dalamnya bisa dipastikan telah menghilang. Apalagi sejak ritual-ritual itu – dan ritual-ritual lain – sengaja diinvensi untuk kepentingan-kepentingan eksternal di luarnya seperti pariwisata. Sejak awal 80an, ritual pertanian yang tersisa berubah sebuah pertunjukan untuk ditonton oleh orang-orang di luar komunitas pemilik/pendukungnya.
Implikasi lebih lanjut adalah mengenai pandangan para petani terhadap tanah. Modernisasi pertanian dan pemurnian agama (dari nilai-nilai budaya lokal) perlahan mengusik dan akhirnya melenyapkan sakralitas tanah. Keyakinan petani bahwa tanah adalah suci, bagian tak terpisah dari diri manusia, dan sumber keberkahan berubah menjadi profan, duniawi semata. Dalam pandangan petani tempo dulu, mengeksploitasi, merusak, dan menodai tanah merupakan pantangan yang tak boleh dilanggar. Hubungan kultural-teologis antara manusia dan tanah menjadi lenyap bersama hilang/berubahnya ritual-ritual pertanian sebagai penanda hubungan tersebut.
Sebaliknya, kini, para petani umumnya
menganggap, seperti dianjurkan modernitas dan puritanisme, bahwa tanah hanyalah
sebuah hamparan bumi yang dieksploitasi sepenuhnya untuk manusia, sesuatu yang
profan, dan tidak ada kaitan teologis maupun kultural dengan manusia. Hubungan
manusia dan tanah adalah hubungan temporer, penuh kesementaraan, dan tidak
ajeg.
Dalam konteks seperti itu, monopoli negara atas tanah dapat diundangkan dan praktik-praktik penggusuran atau pemisahan tanah dari pemiliknya turun-temurun menjadi hal yang wajar, legal, dan dianggap bukan persoalan. Demikian pula wajar jika keteguhan dan kegigihan mempertahankan bukanlah soal teologis dan kultural tetapi murni ekonomi dan politik yang rawan konflik. []
Bisri Effendy adalah budayawan, mantan peneliti LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar