Ijazah Sama, Kualitas Berbeda
Oleh: Komaruddin Hidayat
Setiap menghadiri wisuda sarjana selalu muncul pertanyaan dalam
benakku, faktor apa saja yang membedakan kualitas mereka sekalipun mereka
menerima ijazah dan mengenakan toga yang sama?
Belasan kali saya mewisuda sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan selalu meninggalkan kesan serta kenangan yang sulit terlupakan. Yang
pertama, mayoritas wisudawan/wati terbaik adalah perempuan. Bahkan pernah
sarjana kedokteran terbaik adalah perempuan dan seorang hafizah (penghafal
Alquran) sebanyak 30 juz. Secara psikologis, perempuan memang memiliki bakat
lebih telaten, konservatif dan hati-hati serta sanggup membaca dan menghafal
hal yang sama secara berulang-ulang. Fenomena ini akan mudah dilihat dalam
aktivitas pengasuhan.
Seorang ibu dengan sabar melakukan hal-hal yang sama secara
berulang-ulang untuk melayani dan mendampingi anakanaknya, satu hal yang sulit
dilakukan seorang ayah. Faktor lain, di samping kecerdasan, adalah motivasi
untuk menunjukkan bahwa perempuan mampu bersaing dengan mahasiswa laki-laki.
Ketika memperoleh kesempatan yang sama, ternyata laki-laki dan perempuan sama
saja kualitasnya dalam bidang keilmuan. Lalu ada lagi yang kerap mengejutkan
dan membuat haru, yaitu mereka yang prestasinya bagus itu datang dari keluarga
miskin.
Mereka kuliah sambil bekerja, seperti mengajar privat atau mereka
sebagai mahasiswa penerima-penerima beasiswa. Beberapa dokter terbaik alumni
UIN Jakarta berasal dari pesantren, datang dari keluarga miskin, namun memiliki
semangat belajar yang tinggi sehingga ketika memperoleh beasiswa penuh dan
kesempatan belajar, kesempatan emas itu dimanfaatkan secara optimal.
Dan ini tidak saja terbatas pada program studi kedokteran, tetapi
juga program-program studi pada fakultas lain. Jadi, faktor motivasi belajar
untuk meraih prestasi sangat signifikan pengaruhnya bagi seseorang. Keinginan
kuat untuk menjadi anak yang membanggakan orang tua dan mampu memperbaiki nasib
keluarganya juga menjadi pendorong yang sangat berpengaruh bagi sarjana yang
datang dari keluarga kurang mampu. Namun, ada juga fenomena lain, yaitu
mahasiswa yang memiliki kecenderungan jadi aktivis sosial.
Mereka kurang fokus pada kuliah karena waktu dan perhatiannya
terbelah untuk mengikuti kegiatan sosial, pengembangan bakat, dan organisasi
intra ataupun ekstra universitas. Grup band Wali yang terkenal itu adalah
alumni UIN Jakarta, di antaranya ada yang belum sarjana. Bagi mahasiswa yang
senang pada kegiatan yang bernuansa politik akan selalu rajin jika ada
acara-acara diskusi atau demonstrasi. Mereka rela meninggalkan kuliah.
Karenanya, mahasiswa tipe ini indeks prestasi kumulatifnya sedang-sedang saja,
namun paling lama menghabiskan waktu di kampus.
Tetapi perlu juga dicatat, ada saja aktivis yang sekaligus juga
prestasi akademisnya bagus. Mereka punya potensi jadi aktivis-intelektual atau
intelektual-aktivis. Demikianlah, ketika tiba hari wisuda, mereka mengenakan
toga sama, ijazah sama, tetapi kualitas dan minatnya berbeda-beda. Ini sangat
tergantung bagaimana memanfaatkan fasilitas umur dan kampus untuk mengakumulasi
ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Lebih dari itu, salah satu peran kampus
adalah tempat menyemai calon-calon pemimpin bangsa dengan modal ilmu
pengetahuan dan karakter serta kemampuan berkomunikasi sosial.
Orang pintar tetapi minus integritas bisa membahayakan dirinya dan
orang lain. Orang bermoral baik tetapi bodoh juga tidak produktif hidupnya.
Seorang sarjana yang pintar, baik moralnya, namun tidak memiliki keterampilan
berkomunikasi juga repot mengembangkan kariernya sebagai seorang pemimpin. Ada
sarjana yang bingung setelah diwisuda. Bingung dan gamang memasuki tantangan
baru. Ada yang optimistis dan mantap melangkah ke episode kehidupan selanjutnya
karena merasa mampu dan yakin dengan bekal yang telah dipersiapkannya. Padahal,
mereka sama-sama memiliki jatah waktu 24 jam sehari-semalam.
Mereka sama-sama menjalani kehidupan mahasiswa selama empat atau
lima tahun. Saya memiliki data cukup akurat seputar kehidupan mahasiswa dan
sarjana, antara yang bermutu dan kurang bermutu. Lagi-lagi, faktor motivasi,
imajinasi masa depan, dan kemampuan pengendalian diri yang akan menentukan kualitas
seorang sarjana. Ijazah dan titel boleh sama, tetapi nasib dan prestasi
berbeda. []
KORAN SINDO, 05 September 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar