Keadilan Substantif
Oleh: Moh Mahfud MD
Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014
di Mahkamah Konstitusi (MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan
konsep hukum mencuat sebagai bahan polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini
muncul setiap hari, baik di forum-forum persidangan MK maupun dalam ulasan
(komentar-komentar) di media massa.
“Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa
keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural atau
pasalpasal undang-undang,” demikian seruan yang ditujukan kepada hakim.
Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama meminta putusan yang sesuai
dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara dengan hati
nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengahtengah masyarakat, bukan hanya
berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang.
Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan
bisa ditemukan untuk bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian,
adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar
hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi
pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis
secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa keadilan.
Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat
hukum. Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan
keadilan prosedural (procedural justice), yakni putusan hakim atau proses
penegakan hukum yang sepenuhnya didasarkan pada bunyi undang-undang.
Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila
pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam
undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap
tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU.
Yang dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan
hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan
agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa
memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu.
Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan
substantif maupun keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan
hukum yang sama. Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau
raja, kalau ada warga masyarakat merasa dirugikan haknya maka mereka mengajukan
perkara itu kepada raja. Raja kemudian menunjuk hakim untuk mengadili perkara
itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang ditunjuk disuruh mencari
sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan
pedoman.
Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim
oleh raja agar diadili menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa
keadilan yang ditemukan dalam penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian
menjadi hukum yang mengikat sebagai putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian
muncul negara-negara demokrasi modern, terutama di kawasan Eropa Kontinental,
muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa lagi dibiarkan
membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum
tertulis.
Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang
membuat hukum tertulis atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam
lembaga yudikatif (yang menegakkan undang-undang di pengadilan jika ada
sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi harus menjadi corong pembuat UU.
Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum (putusan) sendiri di luar
undangundang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa mengukur
dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam mengadili
sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham
(legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya.
Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk
putusan-putusan hakim di luar undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam
kasus yang sama sering kali terdapat latar belakang situasi yang berbeda.
Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci dengan undang-undang yang
statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus berbeda
jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian,
tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti
sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan
polemik literatur dalam wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam
vonisvonis. Banyak vonis MK yang sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna
menciptakan keadilan yang ternyata disambut baik dalam dunia penegakan hukum di
Indonesia. Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan
hukum progresif yang digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui
Universitas Diponegoro.
Satjipto mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam
pasalpasal UU, tetapi harus lebih banyak dicari di dalam denyutdenyut kehidupan
masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara hitam-putih
diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan
substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat,
tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU
dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar
belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. []
KORAN SINDO, 30 Agustus 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar