Gawat Darurat Hukum Konservatif
Oleh: Moh Mahfud MD
Minggu (31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Bambang Soesetyo, biasa dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia
Gawat Darurat. Buku setebal 1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan
Bamsoet di berbagai media massa selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014.
Sesuai judulnya, buku tersebut menggambarkan sisi suram Indonesia selama
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) Jilid II. Di dalam buku yang dibagi atas sembilan isu gawat darurat
Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan yang tak
diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY.
Saya sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu,
mempunyai kesan bahwa isi buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap
pemerintahan SBY. Saya mempertanyakan, mengapa hanya menulis kritik dan tidak
ada sama sekali tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan yang dicapai
pemerintahan SBY. Atas kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa bukunya itu memang
berisi reaksi atas berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari posisinya
sebagai pengawas pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan
pengawas terhadap yang diawasi.
Maka itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan SBY
seperti meningkatnya demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers,
stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini.
Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang
dikupasnya, buku ini menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau
glosarium berbagai persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua.
Kalau kita ingin mengingat dan melihat peristiwa penting dan panas
pada era tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada daftar isi buku dan
mendapat penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian-uraiannya
meski opininya lebih berwajah Bamsoet. Saya sependapat dengan mantan Wakil
Gubernur DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi buku Bamsoet ini memuat
beragam masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang tak bisa dicegah
dan ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY.
Janji SBY yang pernah mengatakan akan memimpin sendiri perang
melawan korupsi tak benar-benar bisa dilakukan. Malah tokoh-tokoh partai yang
dipimpinnya, Partai Demokrat, baik yang ada di eksekutif maupun di legislatif
banyak yang terlibat korupsi. Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika
keseluruhan isi buku ini dispesifikkan pada sudut hukum atau diletakkan di
dalam kerangka pemahaman hukum yang agak teoretis, dapat dikatakan bahwa
hukum-hukum kita saat ini sudah menjadi begitu konservatif.
Hukum konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal.
Pertama, pembuatannya lebih banyak ditentukan secara sepihak oleh
lembaga-lembaga negara, miskin partisipasi rakyat. Pada zaman Orde Baru semua
rancangan undang-undang (UU) sampai penetapannya sangat didominasi oleh lembaga
eksekutif sehingga DPR lebih merupakan rubber stamps atau stempel karet yang
harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang diajukan pemerintah.
Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih besar untuk
berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap konservatif, lebih
banyak ditentukan oleh elite.
Tidak jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai
produk hukum dibicarakan melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR,
termasuk di hotel-hotel, dan restoran-restoran. Itulah sebabnya banyak UU yang
isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, bahkan
tidak sedikit anggota DPR yang kemudian ditangkap dan dihukum oleh KPK.
Kedua, dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak
kolusi antarpenegak hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim,
jaksa, polisi, pengacara, dan pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang
digelandang ke pengadilan karena penyuapan dan permainan perkara.
Hukum konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite,
sedangkan penegakannya diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan.
Ketiga , hukum konservatif memberi peluang opened interpretative
yakni memberi peluang besar untuk ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator
dengan berbagai peraturan pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat
aturan-aturan turunan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi
perdebatan penting atas satu materi RUU di DPR, sulit dicapai titik temu,
tetapi kemudian diambil jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa hal yang
diperdebatkan itu diserahkan saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan
pelaksanaan oleh pemerintah atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian
membuka terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan.
Dari bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif
kemudian timbul pertanyaan mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini
hukum-hukum kita masih konservatif? Bukankah reformasi kita lakukan agar kita
bisa membangun sistem politik yang demokratis sehingga bisa lahir hukum-hukum
yang responsif. Jawabannya, karena sebenarnya konfigurasi politik kita sudah
berbelok dari demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis pada masa
sekarang ini.
Di dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi
didominasi oleh aspirasi rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite
dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang
oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif menjadi niscaya. []
KORAN SINDO, 06 September 2014
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar