Ciuman
Kematian
Oleh:
Sindhunata
RIMBA
raya diciptakan untuk manusia, tapi bukan sepak bola. Ungkapan ini rasanya
tepat untuk melukiskan betapa berat perjuangan pemain sepak bola, lebih-lebih
dari Eropa, menghadapi panas dan lembabnya udara di Brasil yang masih kaya
dengan hutan dan rimba raya tropis. Sebelum pergi ke Brasil, para pengamat
sepak bola Italia mengingatkan, lawan terberat dan terbahaya bagi Andrea Pirlo
adalah udara panas dan lembab. Pirlo tak takut akan ancaman itu. Ia akan
menunjukkan bahwa fisiknya masih sanggup menghadapi ancaman rimba Amazon.
Ternyata, ketika Italia bertekuk lutut di hadapan Kosta Rika, terlihat betapa
kehebatan Pirlo toh dirongrong dan diruntuhkan oleh udara panas dan lembab itu.
Sempat terlihat ia mengguyur tubuhnya dengan air di tengah permainan.
Pelatih
Italia Cesare Prandelli mengakui kehebatan Kosta Rika, dan kekalahan itu
disebabkan salah strategi, yang membuat Italia jadi terlalu lambat bermain. Ia
bilang, tim-tim Amerika Latin diuntungkan dalam Piala Dunia ini. Ia seakan
hendak mengisyaratkan, Kosta Rika bisa menang karena fisik mereka lebih
terbiasa dengan udara panas itu. Pemain tengah Italia sudah menua, Pirlo 35
tahun, Daniele de Rossi (30), dan Thiago Motta (31). Mungkinkah di bawah
tekanan udara panas dan lembab mereka masih bisa bermain cepat?
Italia
akan menghadapi Uruguay dalam pertandingan hidup mati. Seperti Kosta Rika,
Uruguay pun secara fisik lebih terbiasa dengan iklim rimba tropis itu. Maka,
untuk tidak mengulangi kesalahan, Prandelli, seperti dikutip Spiegel Online,
mengatakan, ”Jika menghadapi kesebelasan yang secara fisik lebih baik, kami
membutuhkan cara dan aturan bermain yang mampu menghadapi kelebihan fisik itu.”
Melawan
Uruguay, Italia harus bisa bermain dengan cerdik. Paling tidak, secerdik ketika
mengalahkan Inggris, 2-1. Untuk itu, mau tidak mau, permainan Italia di
lapangan tengah di bawah regisur Pirlo harus hidup kembali. Artinya, Pirlo
tidak hanya mesti kembali fit, tetapi juga mampu memimpin rekan-rekannya
kembali kepada jati diri permainan.
Jika
Pirlo hidup, ”Squadra Azzurra” pun akan lebih hidup. Sebab, seperti pernah
dikatakan pelatih Spanyol Vicente del Bosque, ”Pirlo adalah buah dada di mana
Italia menyusu.”
Pirlo
adalah virtuose bola, yang memberikan entakan bagi Italia. Ia bukan hanya
dirigen dan kompas, melainkan juga nyawa bagi timnya. Del Bosque yang penuh
pengalaman itu tahu, Pirlo adalah pengatur permainan yang tak bisa ditiru. Ia
bisa memadukan dengan baik intelek dan intuisi.
Pirlo
tidak banyak berlari. Ia lebih banyak ”membelai bola”. Ia seperti seorang
”melankoli bola”. Tapi, dalam sejenak, ia bisa memberikan entakan yang membuat
situasi tenang berubah menjadi keributan total di tim lawan. Ia dapat mengambil
keputusan yang tepat.
Anak-anak
Jerman pernah merasakan pahitnya keputusan Pirlo itu. Di semifinal Piala Dunia
2006, secara tak terduga Pirlo memberikan bola dengan tepat ke kaki Fabio
Grosso. Italia unggul 1-0, disusul satu gol lagi oleh Alessandro Del Piero.
Jerman pun tersingkir di rumahnya sendiri.
”Saya
bukan penembak. Saya hanya menyiapkan supaya teman lain yang menembak,” kata
Pirlo. Untuk pernyataannya itu banyak contohnya, misalnya ketika melawan
Inggris di Manaus, tercatat ia melakukan 108 umpan dan dari umpan itu lahirlah
serangan yang amat berbahaya ke gawang Joe Hart.
”Pirlo
adalah pemimpin. Ia bicara dengan kakinya,” begitu pernah mantan pelatih
Italia, Marcello Lippi, berbicara tentang Pirlo. Pirlo adalah anak asuh
kesayangan Lippi. Dia juga disayangi teman-temannya. Bahkan Mario Balotelli
yang keras dan kerap arogan itu amat menghormatinya. Sebelum melawan Kosta
Rika, ”Super Mario” yakin, ia dan kawannya pasti bisa mengalahkan tim yang
tidak diperhitungkan itu.
Jika
mengalahkan Kosta Rika, mereka membuka peluang Inggris untuk tidak cepat-cepat
pulang ke rumah. Untuk ”jasanya” itu, Balotelli berkicau, sudah selayaknya ia
mendapat ciuman dari Ratu Inggris. Hampir saja Balotelli mewujudkan ”jasanya”.
Ia mendapatkan umpan yang begitu jitu dari Pirlo. Orang mengira, umpan itu
pasti berbuah menjadi gol. Sayang, tembakan Balotelli ini melenceng di kanan
gawang Kosta Rika yang dijaga Keylor Navas.
Dalam
pertandingan hidup mati, Italia akan berhadapan dengan Uruguay di kota Natal.
Sementara Italia masih merenungi nasibnya yang kalah dari Kosta Rika, Uruguay
sudah melupakan kekalahan mereka di kaki Kosta Rika, 1-3. Karena telah melumat
Inggris, 2-1, Uruguay bahkan makin percaya diri. ”Andaikan permainan ajaib ini
adalah sebuah film, penonton, paling tidak penonton Uruguay, tak dapat
mengalami akhir yang lebih indah daripada akhir yang kami suguhkan,” kata
pelatih Uruguay Oscar Tabarez.
”Akhir
film” itu membuat senang orang Uruguay, tapi sebaliknya telah membuat orang
Inggris menangis. ”Luis, bagaimana kamu tega membuat itu?” begitu tanya seorang
reporter Inggris kepada Suarez. Dengan kakinya, Suarez mencari makan di
Inggris. Tahun ini ia memborong 39 gol di Liga Inggris, dan hampir saja membawa
Liverpool juara liga. Mengapa ia tega membuat orang Inggris menangis?
Tiap kali
membuat gol, Suarez selalu mencium cincin di jari manisnya. Baginya, ciuman itu
berarti bahwa gol itu dipersembahkannya kepada istri dan anak-anaknya yang
tercinta. Tapi, oleh koran Star Sport, ciuman Suarez itu disebut sebagai
”ciuman kematian”. Artinya, dengan dua kali mencium cincinnya, Suarez telah
mengusir Inggris pulang di babak pertama Piala Dunia 2014. Setelah 56 tahun,
baru pertama kali ini terjadi Inggris ”dicium dengan kematian” sedini itu. Di
kota Natal nanti, apakah ciuman kematian itu juga akan menimpa Pirlo dan
kawan-kawannya? []
KOMPAS,
23 Juni 2014
Sindhunata ; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta; Wartawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar