Jangan
Terulang Tragedi Maracana
Oleh:
Sindhunata
BRASIL
tidak diciptakan hanya untuk menjadi yang kedua. Juara, hanya itulah yang harus
dihitung oleh para pemain sepak bola Brasil. Dan, mereka sadar benar akan
harapan tersebut. Mereka juga sadar akan tanggung jawab terhadap fans di tanah
air mereka.
Demikian
disampaikan Zico dalam wawancara dengan Frankfurter Allgemeine Zeitung
menjelang Piala Dunia 2014 ini. Zico, ”Si Pele Putih”, adalah dirigen
kesebelasan Brasil awal 1980-an.
Brasil
adalah negara bola. Sampai ada pepatah, begitu dilahirkan ibunya, seorang anak
Brasil sudah menggiring bola di kakinya. Brasil sendiri telah membuktikan apa
artinya menjadi negara sepak bola. Mereka lima kali menjadi juara dunia. Lebih
daripada sekadar juara, mereka juga dikenal sebagai pelaku sepak bola indah
yang dikagumi dunia.
Karena
hanya kemenangan yang dihitung, buat Brasil, kekalahan adalah tragedi. Itulah
mengapa kekalahan mereka dari Uruguay, 1-2, dalam final Piala Dunia 1950 di
Stadion Maracana, Rio de Janeiro, tetap hidup sebagai kenangan pahit yang tak
terlupakan sampai sekarang.
Tutur
Zico, ”Waktu itu saya belum lahir. Tetapi, ayah saya termasuk 200.000 penonton
yang ada di Maracana. Itulah pesta luar biasa setelah Perang Dunia. Brasil
adalah tuan rumahnya, tetapi kami ternyata kalah. Bagi kami, itulah tragedi,
yang tragisnya mungkin sama dengan tragisnya tragedi Perang Dunia, yang dialami
negara-negara lain. Setelah 16 Juli 1950, ayah saya tak mau menjejakkan kakinya
lagi di Stadion Maracana. Saya sering main di Maracana. Toh, ayah tetap tak mau
ke sana.”
Di Piala
Dunia 1950, Brasil tinggal sejengkal dari status juara. Saat itu, tidak ada
fase sistem gugur. Yang ada grup final, terdiri atas para juara dari keempat
grup penyisihan.
Brasil
sudah memimpin, di depan Uruguay, Swedia, dan Spanyol. Dalam partai pamungkas
di Maracana tersebut, Brasil sesungguhnya hanya perlu hasil seri melawan
Uruguay.
Zico juga
pernah mengalami sendiri betapa pahit sebuah kekalahan bagi orang Brasil. Ia
dan kawan-kawannya gagal di Piala Dunia 1982. Waktu itu, kecuali Falcao dan
Dirceu, semua pemain Brasil bermain dalam liga domestik. Artinya, setiap
minggu, orang langsung menonton mereka di stadion-stadion setempat. ”Di
jalan-jalan saya melihat, betapa kekecewaan terpantul dalam wajah-wajah
mereka,” kenang Zico.
Zico
memuji, di bawah Scolari, Brasil dalam Piala Dunia 2014 adalah tim kolektif
yang kuat. Mereka langsung bisa menekan lawan. Mereka ingin menjebol gawang
lawan sedini mungkin dan tak tergoda untuk mengandalkan serangan balik.
Toh, Zico
khawatir juga. Soalnya, menurut Zico, tiga perempat pemain Brasil adalah
debutan di Piala Dunia dan dua pertiga dari mereka tidak pernah bermain dalam
kualifikasi Piala Dunia. Ada pemain Brasil yang berpengalaman dalam Liga
Champions di Eropa. Namun, itu kiranya belumlah modal yang cukup untuk ikut
berlaga di tingkat Piala Dunia.
Orang
memang patut khawatir jika mengamati permainan Brasil sampai babak 16 besar.
Dalam laga pembuka, Neymar dan kawan-kawan sempat dibuat repot oleh Kroasia.
Mereka baru bisa keluar dari kebuntuan hanya karena aksi diving Fred di kotak
penalti Kroasia. Wasit Jepang, Yuichi Nishimura, memberikan hadiah penalti bagi
Brasil. ”Jika diving itu ditoleransi, bisa terjadi 100 kali penalti di Piala
Dunia ini. Kalau begitu, lebih baik piala langsung diserahkan kepada Brasil
saja,” kata Niko Kovac, pelatih Kroasia, jengkel.
Brasil
kemudian ditahan seri 0-0 oleh Meksiko. Setelah menunjukkan keampuhannya dengan
menang 4-1 atas Kamerun, di perdelapan final Neymar dan kawan-kawan kembali
membuat publik Brasil gemetar. Pada menit ke-119, pemain Cile, Mauricio
Pinilla, melakukan tendangan spektakuler. Hanya kurang 4 sentimeter, bola
Pinilla itu akan masuk ke gawang Julio Cesar. Hal itu tidak terjadi. Bola
membentur gawang. Andaikan tidak tertolong oleh gawang itu, akan terjadilah
bencana di Stadion Mineirao di Belo Horizonte itu.
Bencana
itu mungkin akan bernama Mineirazo, yang mengingatkan kembali akan tragedi
Maracana, yang di Brasil dikenang sebagai Maracanazo.
Brasil
menjadi juara dunia di Swedia (1958), Cile (1962), Meksiko (1970), Amerika
Serikat (1994), dan Korea Selatan-Jepang (2002). Justru ketika menjadi tuan
rumah 1950, mereka gagal menjadi juara karena tragedi Maracana. Jika kali ini gagal
seperti 64 tahun lalu, ini benar-benar bencana. Soalnya di Brasil, Piala Dunia
kali ini tak hanya menjadi perkara bola, tetapi juga perkara politik.
Menurut
Mirian Goldenberg, antropolog sosial di Universitas Rio de Janeiro, sekarang di
Brasil orang sedang akrab dengan kata imagina na copa. Artinya kurang lebih:
coba Anda bayangkan, apa saja yang terjadi menjelang Piala Dunia ini? Inilah
yang terjadi: proyek bangunan belum jadi, kemacetan di jalan, inflasi,
pelacuran anak-anak, kemiskinan, dan anak-anak gelandangan. Bahkan, kaum
menengah yang punya uang pun tak dapat memperoleh pelayanan kesehatan memadai
karena belum tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan.
Mengapa
uang besar-besaran digunakan untuk membangun stadion mewah, bukan untuk
membangun jalan, rumah sakit, dan sarana pendidikan?
Rakyat
Brasil mencintai bola. Tetapi, sebagian mereka tak mencintai Piala Dunia 2014
karena dianggap melawan keadilan yang mereka dambakan. Ketika Piala Dunia
dilangsungkan di luar Brasil, nyaris tak ada yang serius mengaitkan bola dengan
persoalan sosial, seperti kemiskinan atau hak-hak warga sipil yang terabaikan.
Justru ketika Brasil jadi tuan rumah, bola dikaitkan dengan masalah itu
semuanya. Baru kali ini di Brasil, tiba-tiba bola menanggung beban sosial dan
politik.
Seandainya
Brasil juara, beban sosial dan politik itu tetap menjadi persoalan. Apalagi
jika Brasil kalah di rumahnya sendiri, ini sungguh krisis yang bisa dijadikan
alasan untuk makin menentang pemerintah. Karena itu, tidak hanya demi bola,
demi politik pun Brasil tak boleh lagi mengalami tragedi Maracana. []
KOMPAS,
03 Juli 2014
Sindhunata ; Wartawan Senior,
Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis’ Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar