Pilpres,
Piala Dunia, Puasa
Oleh:
Budiarto Shambazy
MAKIN
mendekati 9 Juli, makin terlihat kontras di antara kedua pasang calon
presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Kekontrasan dua kubu wajar karena ini pertama kali pemilu
presiden diikuti dua pasang calon sejak tahun 2004.
Pilpres
macam ini ibarat pertandingan olahraga, yaitu dua tim langsung berhadapan di
final. Terlebih lagi, Pilpres 2014 tak diikuti presiden petahana sehingga
menambah sengit kompetisi.
Kita
sudah mengikuti narasi Pilpres 2014 dan relatif mengenal kedua capres-cawapres.
Kita sudah mempelajari visi dan misi mereka serta mengikuti debat-debat mereka.
Hampir
tiap hari kita dibombardir informasi atau sepak terjang kedua capres-cawapres.
Kita membacanya dari media massa arus utama, media sosial, menyaksikannya di
televisi, mendengarkan opini dari orang-orang lain, bahkan melihat langsung
kampanye mereka.
Apa kesan
yang paling menonjol dari pengamatan sepanjang kampanye yang berlangsung
sekitar satu bulan itu? Tentu saja kita punya pandangan masing-masing.
Namun,
jika dibandingkan dengan kampanye Pilpres 2004 dan 2009, sebuah kesan kuat yang
didapat adalah betapa negatifnya suasana kampanye kali ini. Penyebabnya adalah
fitnah (kampanye hitam) dan kampanye negatif.
Di
negara-negara Barat, kampanye hitam/negatif telah lama ditinggalkan karena
lebih sering terbukti menjadi senjata makan tuan. Apalagi jika kampanye
hitam/negatif itu dipandang membahayakan eksistensi bangsa dan negara.
Ambil
contoh ketika seorang ibu bertanya kepada capres Partai Republik, John McCain,
yang sedang pidato kampanye pemilu presiden di Amerika Serikat tahun 2008.
”Saya tak percaya Obama, dia orang Arab,” kata sang ibu. McCain menyergah,
”Tidak, Bu. Ia warga terhormat, kebetulan berbeda pandangan dengan saya. Dia
bukan (orang Arab),” tegas McCain.
Kita
tidak berharap kualitas demokrasi kita sudah sehebat di AS. Namun, kita
berharap aparat penyelenggara pilpres/pemerintah bersikap tegas menjatuhkan
sanksi terhadap pelaku fitnah.
Itu yang
belum dilakukan, sementara fitnah telanjur menjalar liar. Terakhir, Joko
Widodo, yang sebelumnya difitnah sudah wafat, orang Tiongkok, dan bukan Muslim,
ketiban pulung lagi difitnah keturunan komunis.
Mungkin
sebagian dari kita menganggap masalah pelik ini usai dengan sendirinya setelah
9 Juli. Namun, jika terjadi sikap pembiaran oleh pemerintah, fitnah bakal
dijadikan senjata pamungkas pada pemilu-pilpres mendatang.
Betapapun,
kubu yang merasa kalah populer cenderung akan melakukan segala cara untuk
menjatuhkan lawan. Ini berlaku secara universal, yang di AS disebut dengan A
Hail Mary Pass, yakni upaya menciptakan gol untuk menyamakan kedudukan, atau
bahkan memenangi pertandingan, dalam detik-detik terakhir.
Terlepas
dari itu, sebuah prinsip memilih capres yang wajib kita pahami adalah mereka
bukan malaikat. Seperti kita, tiap capres memiliki kelebihan sekaligus juga
kekurangan.
Prinsip
ini perlu diingatkan lagi karena memilih presiden bukan memilih ”ratu adil”
atau a knight with shining armour. Kita butuh pemimpin yang mampu mengelola
pemerintahan, bukan manusia setengah dewa atau tukang sulap.
Lagi pula
kita hidup di abad ke-21 yang penuh tantangan ”glokal” (global dan lokal), yang
cuma bisa diselesaikan yang rasional. Sudah ketinggalan zaman mengandalkan
presiden yang cuma mengandalkan pencitraan semata-mata.
Dalam
tiap pilpres, sebagian dari kita ingin memutus rantai dengan masa lalu
(breaking with the past). Namun, sebagian lagi masih terpukau pada kehebatan
masa lalu (blast from the past).
Sekali
lagi, itu selera Anda masing-masing. Oleh karena itu, cermatilah kebiasaan
capres yang mengaku agen ”perubahan”. Ini cuma gertak sambal sekaligus mengecap
lawannya sebagai simbol status quo (kemapanan).
Sebab,
pada akhirnya, sekali lagi, masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara ini
belum tentu dapat diselesaikan secepatnya. Bahwa kedua capres kita di sana-sini
menjanjikan ”perbaikan” terhadap kondisi saat kini, itu benar.
Rasanya
kita cukup dipuaskan janji-janji perbaikan itu yang berupaya ditampilkan kedua
capres dan cawapres saat tiga kali debat. Capres dan cawapres mana yang berniat
memperbaiki nasib kita, silakan Anda nilai.
Ada
perumpamaan yang mengatakan, ”Memiliki ambisi boleh asal jangan ambisius”.
Apakah pasangan nomor 1 dan 2 berambisi atau ambisius, sekali lagi silakan Anda
nilai sendiri.
Kalaupun
ada yang ambisius, ia dikontrol oleh orang-orang di sekitarnya, DPR, media
massa, aktivis, dan tentu rakyat awam. Pemilu 2014 telah membuktikan kontrol
tersebut makin kuat dan tak terhindarkan lagi.
Efektivitas
kontrol dari berbagai penjuru dan kalangan itu hanya bisa dijalankan apabila
hasil pilpres ini kredibel. Dan, kredibilitas terbaik akan dicapai jika pilpres
diselenggarakan tanpa mobilisasi, intimidasi, serta manipulasi.
Kita amat
khawatir terhadap ketiga jenis kecurangan itu karena berpotensi menimbulkan
konflik fisik yang bisa saja berskala tinggi. Padahal, sejarah pemilu-pilpres
kita gemilang karena tak pernah rusuh.
Kita
bersyukur pada hari-hari ini menjalani sekaligus tiga perjalanan hidup yang
amat berharga. Pertama, makin jeli dan pandai memaknai pilpres; kedua, belajar
sportif dari Piala Dunia untuk mengakui kekalahan capres pilihan; dan ketiga,
menjalani ibadah puasa sembari tak henti berdoa agar presiden terpilih kita
amanah. []
KOMPAS,
28 Juni 2014
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar