Sulitnya
Mencapai Kata Sepakat
Oleh:
Salahuddin Wahid
WARGA NU
adalah kelompok muslim terbesar di Indonesia. Menurut data sejumlah lembaga
survei, 33–40 persen responden mengaku bahwa mereka adalah bagian dari
komunitas NU. Tidak semuanya ikut dalam organisasi NU. Banyak di antara mereka
adalah pengikut ulama pesantren terkenal dan murid kiai yang merupakan alumnus
pesantren terkenal itu.
Karena
jumlah warga yang banyak itu, ketika menjelang pilpres atau pilkada, para calon
tentu bersilaturahmi ke pesantren-pesantren terkenal. Hal itu adalah
keniscayaan bagi para calon kalau mereka ingin terpilih. Di sejumlah pesantren
besar diselenggarakan silaturahmi antara sang calon dan banyak kiai. Tidak
sedikit ulama dan persantren yang secara eksplisit menyatakan dukungan terhadap
calon tertentu, tetapi ada juga ulama dan pesantren yang tidak menyatakan
secara terbuka. Ada yang menyatakan netral.
Pengalaman
Pilpres 2004
Dari
pengalaman yang ada, warga dan tokoh NU serta ulama pesantren selalu terpecah
dalam menentukan pilihan siapa calon yang akan didukung. Beberapa contoh bisa
dikemukakan di sini. Yang paling awal ialah dalam pemilihan presiden 2004 saat
Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendampingi Megawati dan
Salahuddin Wahid menjadi cawapres mendampingi Wiranto.
Mengapa
kok sampai muncul dua cawapres sebagai wakil dari komunitas NU? Itu terjadi
karena tiga tokoh puncak NU tidak mampu mencapai kesepakatan terkait dengan
bagaimana cara mencari tokoh yang bisa dan perlu diajukan sebagai calon untuk
mewakili komunitas NU. Tiga tokoh itu ialah Rais Aam Syuriyah PB NU KH Sahal
Mahfudz, Gus Dur, dan Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Hasyim Muzadi.
Saya
sudah memperkirakan bahwa suara warga NU akan diperebutkan oleh para capres.
Karena itu, pada November 2003 saya sowan ke KH Safal Mahfudz di rumahnya di
Kajen, Pati, untuk menyampaikan masalah itu. Saya bilang bahwa pada saat ini
ada dua tokoh NU yang ingin maju menjadi capres, yaitu Gus Dur dan KH Hasyim
Muzadi. Menurut saya, seharusnya calon presiden yang mewakili komunitas NU
hanya satu dan itu harus dicalonkan oleh PKB. Tetapi, jangan langsung
menentukan bahwa calonnya adalah Hasyim Muzadi kalau Gus Dur tidak memenuhi
syarat kesehatan. Harus ada mekanisme dan proses tertentu untuk memilih sang
calon. Menurut saya, yang bisa dan punya kewajiban untuk mempertemukan dua
tokoh itu ke arah munculnya satu calon presiden mewakili komunitas NU hanya
rais aam. Beliau punya kewenangan organisasi dan juga punya pengaruh. Gus Dur
menghormati Kiai Sahal karena beliau adalah rais aam dan juga paman dari GD.
Ternyata,
Kiai Sahal menolak usul saya. Beliau mengatakan bahwa masalah itu sudah masuk
wilayah politik praktis dan NU tidak boleh masuk wilayah itu. Saya membantah
hujjah beliau dengan menyatakan bahwa tindakan itu bisa dilakukan kalau hanya
sampai tahap meyakinkan dua tokoh itu untuk duduk bersama dan mencapai
kesepakatan hanya menampilkan satu capres dari NU. Itu belum memasuki wilayah
politik praktis. Tetapi, beliau bersikukuh dengan pendapat di atas.
Saya
mempunyai kliping berita tentang kunjungan Megawati ke Pesantren Al Hikam (yang
diasuh Hasyim Muzadi) pada awal Desember 2003. Nuansa politik amat terasa.
Tentu rais aam juga mengikuti perkembangan itu sehingga beliau bisa memahami
kekhawatiran yang saya sampaikan di atas. Tetapi, tampaknya, beliau tetap
istikamah dengan sikap bahwa usul saya itu sudah masuk wilayah politik praktis.
Alih-alih mempunyai satu calon presiden, komunitas NU mempunyai dua calon wakil
presiden, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Saya sama sekali tidak
menduga bahwa saya akan menjadi cawapres karena saya sama sekali tidak pernah
berkomunikasi langsung atau tidak langsung dengan Jenderal (pur) Wiranto
tentang ihwal saya menjadi cawapres. Dalam pemilihan putaran kedua, SBY/JK
mengalahkan Megawati/Hasyim Muzadi. Sukar untuk menjawab pertanyaan apakah
kalau ada satu tokoh PB NU yang menjadi capres akan bisa menang terhadap
SBY/JK. Yang jelas, pilpres 2004 menjadi contoh tidak baik tentang
ketidakmampuan tokoh-tokoh NU untuk bersepakat dalam mengajukan satu calon.
Lalu, contoh negatif itu diikuti sampai hari ini.
Pilgub
Jawa Timur
Jumlah
terbanyak warga NU berada di Jawa Timur. Sebuah survei pada 2009 mengungkap
bahwa dua di antara tiga muslim di Jatim mengaku menjadi bagian dari komunitas
NU, tetapi tidak semua menjadi anggota NU. Afiliasi politik mereka juga
beragam. Belum pernah ada tokoh NU yang menjadi gubernur Jawa Timur.
Pemilihan
gubernur Jatim pada 2008 menjadi contoh kedua tentang tidak mampunya
tokoh-tokoh NU mencapai kesepakatan dalam mengajukan calon gubernur. Ada
beberapa tokoh NU yang maju dalam pilgub Jatim 2008: Ahmadi (cagub PKB),
Khofifah (cagub PPP), Saifullah Yusuf (cawagub), Ali Maschan Musa (cawagub).
Yang menang adalah Sukarwo berpasangan dengan Saifullah Yusuf. Seandainya PKB
mengajukan Khofifah sebagai cagub, tampaknya dia akan menjadi tokoh NU pertama
yang menjadi gubernur.
Mengantisipasi
munculnya dua tokoh NU sebagai calon dalam pilgub Jatim 2013, sejumlah kiai dan
pengasuh pesantren melakukan silaturahmi dengan PW NU Jatim pada awal Januari
2013. Dalam kesempatan itu disampaikan bahwa ada dua tokoh yang ingin maju
menjadi calon dalam pemilihan gubernur Jatim 2013, yaitu Khofifah dan Saifullah
Yusuf.
Diusulkan
supaya PW NU Jatim bisa mempertemukan dua tokoh itu dan memperoleh kesepakatan
bahwa hanya ada satu tokoh NU yang maju dalam pemilihan gubernur Jatim 2013.
Saya mengusulkan supaya dibuat suatu forum untuk memilih siapa yang akan
diajukan sebagai calon dengan menyampaikan visi-misi dan juga mengadakan survei
untuk mengetahui siapa yang punya tingkat keterpilihan lebih tinggi. Ada tokoh
PW NU yang menolak survei karena sulit dipercaya. Yang bisa mempertemukan dua
tokoh itu adalah ketua umum PB NU, tetapi dua tokoh itu ngotot ingin sama-sama
maju. Upaya untuk menjadikan keduanya sebagai pasangan juga gagal. Akhirnya,
Khofifah menjadi cagub dan Saifullah maju sebagai cawagubnya Sukarwo. Sejumlah
kiai dari pesantren besar dan terkenal mendukung Saifullah karena faktor
kedekatan dan alasan menolak pemimpin perempuan.
Belajar
dari Tokoh Kabupaten
Usul saya
yang ditolak oleh rais aam itu ternyata dijalankan oleh PC NU Banyuwangi
menghadapi pilbup pada 2010. PC NU melakukan jajak pendapat terhadap struktur
NU Banyuwangi, mulai tingkat kabupaten hingga kelurahan. Seluruh pengurus dari
atas sampai bawah ditanya siapa tokoh NU yang layak dijadikan calon bupati
Banyuwangi. Yang teratas ialah Abdullah Azwar Anas. Maka, nama itu diajukan
kepada partai-partai. Akhirnya, Azwar Anas dicalonkan oleh PDIP, PKB, PG, PKNU,
dan PKS, dengan pasangan Yusuf Widyatmoko. Azwar Anas-Yusuf menang dengan
perolehan suara mendekati 50 persen. Azwar Anas ternyata menjadi bupati yang
baik. Saya menghargai langkah PC NU Banyuwangi dan para ulama di sana yang
belajar dari pengalaman masa lalu, yakni munculnya lebih dari satu tokoh NU
dalam pilkada atau pilpres. Ternyata, tokoh NU tingkat kabupaten lebih mampu
memahami masalah daripada tokoh NU tingkat nasional dan tingkat provinsi. KH
Hisyam Syafaat menjelaskan dalam suatu pertemuan kiai di Pesantren Darul Ulum,
Rejoso, Jombang, pada September 2012 bahwa kalau tidak ada tokoh yang didukung
struktur NU, banyak kiai yang bisa membuka lapak sendiri-sendiri (istilah lapak
itu datang dari Kiai Hisyam). Kalau struktur NU sudah memilih calon, kecil
kemungkinan ada kiai yang mendukung calonnya sendiri. Walau sudah ada contoh
soal yang berhasil di Banyuwangi, tidak mudah menerapkan di tempat lain. Contoh
awal ialah usul kepada PW NU untuk bisa mempertemukan Khofifah dan Saifullah
Yusuf dalam kaitan pilgub Jatim 2013.
Kita
tidak perlu meratapi apa yang sudah terjadi, tetapi harus mau belajar untuk
bisa berhasil mencapai kata sepakat dalam menghadapi pilkada dan pilpres pada
masa mendatang. Dan juga untuk masalah lain. []
JAWA POS,
20 Juni 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar