Melunasi
Utang Sejarah
Oleh:
Sindhunata
JERMAN
dijagokan. Namun, menghadapi Aljazair dalam perdelapan final Piala Dunia Brasil
2014 di Porto Alegre, Senin (30/6) pukul 17.00 waktu setempat atau Selasa (1/7)
dini hari WIB, mereka bukannya tidak waswas. Sebab, statistik mencatat, dua
kali Jerman bertemu Aljazair, dua kali pula mereka kalah.
Melawan
negara mana pun, Jerman nyaris tak pernah berprestasi seburuk itu.
Awal
Januari 1964, kesebelasan Jerman di bawah pelatih legendaris Sepp Herberger
melawat ke Aljazair. Sebelumnya, mereka mampir di Maroko dan mengalahkan
kesebelasan tuan rumah, 4-1. Meski hanya laga persahabatan, Herberger
memberlakukan disiplin keras: pukul 22.00 para pemain sudah harus ke tempat
tidur. Waktu itu, Jerman punya penyerang tengah tangguh, Wolfgang Overath.
Mereka yakin dapat dengan mudah mengalahkan Aljazair. Ternyata Jerman dilumat
0-2.
Prestasi
buruk itu disusul dengan pertemuan keduanya di babak penyisihan Grup B Piala
Dunia Spanyol 1982. Jerman datang dengan segudang pemain hebat: tandem
penyerang Bayern Muenchen, Paul Breitner dan Karl-Heinz Rummenigge, libero Uli
Stielike, gelandang Felix Magath dan Horst Hrubesch.
”Kami
akan menyarangkan 4 sampai 8 gol,” kata kiper Toni Schumacher. Bahkan, pelatih
Jupp Derwall pun memandang enteng Aljazair. ”Kalau sampai kalah dari Aljazair,
saya akan segera naik kereta pertama untuk pulang ke rumah,” kata Derwall.
Jerman
ternyata bermain buruk. Breitner kehilangan ide, seakan pikirannya berada di
luar lapangan. Magath, gelandang Hamburg yang brilian, tak menunjukkan
kehebatannya. Di luar perkiraan mereka, Aljazair bermain luar biasa.
Dalam
satu serangan balik tak terduga di menit ke-52, Rabah Madjer membobol gawang
Schumacher. Rummenigge menyamakan kedudukan 18 menit kemudian. Namun, di menit
ke-88, gawang Jerman kembali dibobol oleh kapten Aljazair, Belloumi.
Jerman
dipermalukan Aljazair 1-2. ”Juara dunia mulut besar,” tulis Hamburger
Morgenpost mengejek Rummenigge dan kawan-kawannya. ”Jerman tidak menunjukkan
respek kepada kami. Itu sungguh menyakitkan. Karena itu, kami bangga dengan
kemenangan ini,” kata Khalef, pelatih Aljazair.
Begitulah.
Jerman jatuh karena kesombongannya sendiri.
Reputasi
Jerman runtuh. Celakanya, reputasi yang runtuh itu diperparah dengan ulah
mereka yang kian tidak menunjukkan respek kepada Aljazair. Mereka ”main mata”
dengan Austria dalam pertandingan menentukan di Giyon yang membuat Aljazair
tersingkir. Itulah peristiwa memalukan yang dikenal sebagai ”skandal Giyon”.
Aib Giyon
itu tak akan terlupakan oleh orang-orang Aljazair. ”Kami tidak pernah
melupakannya. Giyon. Jerman. Itu selalu ada dalam benak kami. Sepanjang waktu
kami membicarakan pertandingan itu. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tetapi
setiap orang Aljazair tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” kata pelatih
Aljazair Vahid Hallihodzic.
Menurut
Hallidodzic, ketika melawan Rusia di babak penyisihan, anak-anaknya menunjukkan
permainan luar biasa. Saat melawan Jerman nanti, mereka bertekad menunjukkan
permainan lebih dari luar biasa. Betapapun Aljazair gembira lolos ke babak 16
besar. Apalagi, mereka bertemu Jerman. ”Aljazair-Jerman, betapa semuanya
terulang kembali,” tulis koran Aljazair, La Gazette du Fennecs.
Revanche
atau pembalasan selalu ada dan tersimpan dalam sejarah, apalagi dalam sejarah
bola. Malah dapat dikatakan sejarah sering ”berutang” kepada revanche. Karena
skandal Giyon, sejarah bola telah ”berutang” pada Aljazair. Maka, ”Rubah Padang
Gurun”, julukan kesebelasan Aljazair, ingin agar utang itu dilunasi kini. Dulu
mereka menang atas Jerman, tetapi karena dipermainkan skandal Giyon, mereka
jadi terpecundang. Sekarang mereka ingin merenggut kembali kemenangan itu
sebagai kemenangan, bukan sebagai keterpecundangan karena sebuah permainan
kotor.
Hallidodzic
meyakinkan anak-anaknya bahwa mereka bisa merebut kemenangan itu. ”Ada banyak
cinta yang diberikan untuk kesebelasan kami,” katanya. ”Kami kecil melawan
Jerman yang besar. Orang-orang Brasil pasti memihak kami. Sementara itu,
hari-hari akhir ini kami mendapat kabar seluruh dunia Arab bersimpati pada
kami. Untuk tidak mengecewakan mereka, kami akan bermain sebaik mungkin,”
ujarnya.
Hallidodzic
juga tak mau terganggu oleh pertanyaan pers apakah anak-anaknya berpuasa,
apakah puasa tidak mengurangi stamina mereka? Bagi Hallidodzic, itu semua
adalah persoalan suara hati masing-masing orang. ”Kami tidak bicara politik
atau agama. Jelas? Ini soal sport. Cukup,” kata Hallidodzic.
Dengan
belajar dari duel Cile-Brasil, Sabtu (28/6), anak-anak Hallidodzic kiranya
makin mengasah keyakinan: yang kecil mungkin saja mengalahkan yang besar.
”Pemain saya telah memberontak. Memberontak melawan sejarah dan melawan
kesebelasan besar dalam Piala Dunia ini. Memang menyakitkan bahwa akhirnya kami
harus pulang dengan cara ini,” kata pelatih Cile Jorge Sampaoli.
Aljazair
kiranya juga akan memberontak terhadap sejarah. Sebab, dengan skandal Giyon,
sejarah telah memperlakukan mereka dengan tidak adil. Sejarah harus membayar
utang pada mereka. Itulah motivasi tambahan yang dikhawatirkan Jerman. ”Sungguh
suatu skandal jika kami tidak lolos ke delapan besar,” kata kiper Jerman,
Manuel Neuer, dalam der Tagesspiegel.
Tiga
puluh dua tahun lalu di Giyon, Aljazair melumat Jerman. Adakah peristiwa Daud
mengalahkan Goliat itu akan menjadi kenangan belaka atau mewujud sebagai
lunasnya utang sejarah di Porto Alegre? []
KOMPAS,
30 Juni 2014
Sindhunata ; Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis’
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar