Syukuran
dan Selamatan Nasional
Oleh:
Mohamad Sobary
Syukuran
dan selamatan itu sebetulnya bisa diringkas menjadi satu: alhamdulillah. Ketika
suatu pekerjaan penting selesai dengan baik ucapan apa yang paling tepat,
cepat, dan spontan, selain alhamdulillah? Apa lagi yang harus dikatakan begitu
melihat semua dalam keadaan selamat, selain alhamdulillah? Kenyataan bahwa kita
bisa bersyukur pun tak ada sambutan lebih baik selain alhamdulillah.
Di sini,
jadinya kita bersyukur karena kita bisa bersyukur. Bisa bersyukur itu sendiri
sebuah berkah. Betapa ”menyimpang” tingkah laku kita bila kita tak mampu
sekadar bersyukur. Bersyukur tidak selalu mahal dan memang tidak mahal. Asal
kita punya hati, niscaya kita bisa bersyukur. Syukuran, dan dalam konteks lain
kita namakan selamatan, memang lebih mahal. Syukuran yang dalam arti tertentu
juga selamatan itu wujud syukur yang dibikin lebih sosial dan lebih dari
sekadar urusan pribadi. Adapun wujud dan pelaksanaan syukuran yang juga berarti
selamatan tadi berbeda dan banyak variasinya antara satu masyarakat dan
masyarakat lain.
Kita juga
bisa mengatakan itu berbeda antara satu jenis kebudayaan dan jenis kebudayaan
lain. Syukuran atau selamatan itu dilaksanakan di dalam bingkai yang sifatnya
lebih umum, lebih merangkum, lebih akomodatif: kendurian. Kita tahu, kendurian
itu bisa kecil, hanya menampung beberapa keluarga, tetapi bisa juga kendurian
mengundang satu dusun atau kampung, satu desa, satu kecamatan, satu kabupaten,
dan seterusnya, hingga kita pun mengenal ungkapan ”kenduri nasional”.
Kita ini
ibaratnya hidup dalam bingkai syukur. Ada yang punya anak laki-laki, yang
diberi nama Syukur atau Syakir untuk tanda bahwa dia bersyukur atau berharap si
anak kelak menjadi anak saleh yang pandai bersyukur. Kalau kita dicermati
dengan baik, akan tampak jelas bahwa hidup ini rangkaian syukur demi syukur
yang begitu panjang dan kita bikin mapan, kokoh, tapi fleksibel dan rutin di
dalam tradisi. Syukur itu kita tradisikan. Kita membangun rumah, syukuran.
Memasuki rumah, syukuran. Pindah dari rumah itu, syukuran. Tiba di rumah
berikutnya, kita juga syukuran. Pendek kata, kita ini bangsa yang sangat pandai
menyelenggarakan syukuran.
Kita
merasakan bahwa syukuran itu bukan lagi unsur luar dari hidup kita. Dia sudah
lama menjadi unsur dalam karena syukuran sudah menjadi kebudayaan kita. Mungkin
kita ini memang si Syukur atau si Syakir. Sebetulnya syukuran atau selamatan
itu konsep yang hidup di dalam alam kesadaran kita. Dia ada di wilayah
psikologi. Tapi, kenduri atau kendurian lain lagi. Dia menghuni wilayah sosial
kita. Kenduri menjadi wujud organisasi untuk terselenggarakannya gagasan
syukuran atau selamatan tadi. Syukuran atau selamatan tanpa kenduri atau tanpa
kendurian, si Syukur dan si Slamet akan kelihatan bisu, sunyi, tanpa bunyi
tanpa suara, dan tanpa rupa. Soalnya, bisa saja syukuran dilaksanakan di dalam
hati. Bisa pula suatu jenis selamatan yang dibingkai secara personal, sunyi
dalam kesendiriannya, bahkan dalam kesendiriannya tadi bisa tanpa kata-kata.
Ada
antropolog terkemuka Amerika, almarhum Clifford Geertz, yang mencatat fenomena
yang kita bicarakan ini dengan sedikit rasa heran: ”Di pusat seluruh sistem
keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, tidak
dramatik, dan hampir-hampir mengandung rahasia: selamatan .” Ini dapat dibaca
di dalam bukunya klasiknya, The Religion of Jawa, atau dalam versi terjemahan
bahasa Indonesianya, yang diterbitkan Pustaka Jaya pada 1980-an yang lalu.
Sesudah
menyampaikan pernyataan itu Geertz bingung, ketika menambahkan: kadang-kadang
disebut juga dengan kenduren. Bukan. Kenduren buka sinonim, bukan kata lain,
pun bukan sebutan lain dari selamatan tadi. Kenduren, bahasa Indonesianya
”kenduri” atau ”kendurian”, merupakan wadah, organisasi, wujud, dan bentuk
event dari selamatan tadi agar selamatan punya dimensi sosial dan tampil ke
dalam wilayah sosial kita. Saat ini kita berada dalam suatu momentum ”kosong”
ketika pemilu baru saja selesai. Kita menunggu pengumuman resmi KPU.
Memang,
dengan begitu, kita tahu pemilu belum selesai secara tuntas, semata karena
masih menunggu formalitas pengumuman. Tapi, pemilu lewat dan segalanya berjalan
lancar dan selamat, tak terjadi suatu gangguan apa pun. Apa anugerah sebesar
ini tak layak kita sambut dengan agak sedikit meriah, boleh ada musik ”jreng”
”jreng”, ”jring” ”jring ”, boleh saja dengan suara-suara yang lebih membahana,
seolah menggedor-gedor pintu langit, apa salahnya asal kita khusyuk? Juga tulus
hingga ke dasar hati yang terdalam? Kita layak syukuran atau selamatan karena
bukankah hajat nasional itu telah berlangsung slamet ?
Syukuran
dan selamatan itu layak kita selenggarakan dalam suatu kenduri atau kendurian
nasional. Semua pihak kita undang. Bahwa tak semua bisa hadir itu soal lain dan
tak kita sebut sebagai ”soal”. Biarlah yang tak hadir itu tak hadir secara
fisik, tapi semoga hatinya, jiwanya, bersama kita. KPU-lah yang paling layak.
Kalau budget KPU sudah mendekati kering, bisalah bergabung dengan lembaga lain,
terserah, bahkan tidak memakai biaya pun kenduri nasional itu bisa
diselenggarakan. Tanya saja pada relawan. Mereka ahli mengelola suatu event
besar tanpa biaya. Apa yang dibicarakan dalam kenduri yang akan kita adakan
itu? Tidak ada.
Ini bukan
saat ketika kita harus berbicara. Sudah kelewat banyak yang kita bicarakan.
Sudah banyak kata-kata kita hamburkan ke langit dan entah sekarang menempel di
mana. Sejak kampanye, debat capres dan cawapres itu, kita bicara melulu. Bahkan
banyak unsur dalam pembicaraan kita tadi yang bisa di golongan ”omong kosong”
karena bicara akan berhenti pada bicara. Jadi bakal tak terlaksana. Lebih baik,
kenduri nasional yang tak perlu memakai biaya negara itu diselenggarakan dengan
uang rakyat yaitu orangorang yang sudah luluh dengan ikhlas menjadi sukarelawan
itu. Bukankah kalau biaya itu dikeluarkan dari anggaran pemerintah, artinya itu
biaya rakyat juga? Tanpa rakyat, pemerintah tak pernah punya uang.
Di tempat
di mana kendurian diselenggarakan, tak perlu pidato, tak perlu sambutan, tak
perlu pertanggungjawaban keuangan, karena bukankah tak tersedia uang apa pun
dan berapa pun? Yang terjadi ialah kebisuan yang menggapai langit. Dalam bisu,
Tuhan Mahatahu apa maksud yang disampaikan. Kita memuji syukur, dan syukur yang
dalam, dan ikhlas yang tinggi, karena kita bisa menyelenggarakan pemilu yang
bagus dan kita semua selamat. Syukur. Alhamdulillah. Puji Tuhan Yang Maha
Terpuji, yang memberi kita keselamatan. Di sini bangsa kita bersyukur. Kita
kenduri. Kita selamatan. Kita syukuran. []
KORAN
SINDO, 14 Juli 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota
Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan
Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar