Berhalo-halo
Bandung untuk Ekspansi ke Aljazair
Senin, 30 Juni 2014
Akhirnya dua perusahaan BUMN
berhasil masuk ke Aljazair. Sebuah negeri yang begitu bangga pada Indonesia.
Juga pada Bung Karno. Dan tentu kini juga bangga pada sepak bolanya. Negeri
asal usul Zinedine Zidane ini untuk pertama kalinya berhasil masuk babak 16
besar Piala Dunia. Dua BUMN itu adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika
dan PT Pertamina (Persero).
Aljazair
lebih muda daripada Indonesia. Negeri di Afrika Utara ini merdeka dari Prancis
tahun 1956. Indonesia dianggap berjasa karena kemerdekaan itu terjadi hanya
setahun setelah tokoh-tokoh perang kemerdekaannya menghadiri KTT Asia-Afrika
yang diselenggarakan Bung Karno di Bandung.
Utusan
Aljazair ketika itu adalah Hocine Ait Ahmed dan M’hammed Yazid. Ada satu tokoh
lagi bernama Chedli Mekki yang ngotot ingin hadir. Setelah terjadi
tarik-menarik kecil, akhirnya disepakati tiga-tiganya jadi utusan resmi dengan
Ketua Delegasi Hocine Ait Ahmed. Prancis marah. Bung Karno diprotes keras
karena memosisikan Aljazair sebagai negara merdeka.
Di
Bandung pada 1955 itulah gerakan menuntut kemerdekaan dimantapkan. Tiba kembali
di Aljazair, mereka menetapkan kota di Pegunungan Batna sebagai pusat revolusi
pembebasan. Kota Batna kira-kira 500 km di timur Aljir, ibu kota Aljazair.
Itulah sebabnya, Batna ditetapkan sebagai kota perjuangan.
Wika kini
membangun highway menuju arah timur negeri itu. Dengan highway baru ini, jarak
dari ibu kota ke Konstantin, kota terbesar kedua di Aljazair, bisa ditempuh
dalam tiga jam. Padahal, jaraknya seperti Jakarta”Semarang.
Baru di
jalan inilah saya merasakan naik mobil dengan kecepatan 180 km per jam.
Kemulusan, kelapangan, dan kelonggaran lalu lintasnya memang memungkinkan
kendaraan dipacu maksimal. Jalan dua arah ini masing-masing tiga lajur. Mirip
jalan dari Makkah ke Madinah. Tidak perlu bayar tol.
Memang
tidak semua dibangun Wika. Tapi, justru itu kita bisa membandingkan
kualitasnya. Sebagian ruas dibangun kontraktor Tiongkok dan sebagian lagi
kontraktor lokal. Tapi, pejabat yang kompeten di Aljazair mengatakan kepada
saya: yang dibangun Wika-lah yang terbaik.
Penilaian
yang membanggakan itu saya umumkan saat saya bertemu seluruh pekerja Wika di
base camp mereka, di tengah-tengah padang perbukitan yang luas antara Aljir dan
Konstantin. Mereka yang umumnya dari Jember, Wonosobo, Cilacap, Bandung, dan
Cirebon bertepuk tangan. Jumlah pekerja dari Indonesia sampai 1.200 orang.
Dengan
reputasi yang begitu bagus, Wika akan terus dapat proyek di sana. Dan kian
panjang pula daftar pengalaman Wika di negara-negara Arab. Stasiun monorel di
tengah Kota Dubai itu Wika yang membangun.
Bahkan,
Wika pernah membangun mal di Tripoli, ibu kota Libya. Namun, ketika mal itu
hampir tuntas, meletuslah revolusi rakyat untuk menjatuhkan Presiden Muammar
Qaddafi. “Kami sudah diminta kembali menyelesaikan mal itu, tapi kami tunggu
dulu kapan Indonesia membuka kembali kedutaan di Tripoli,” ujar Bintang
Perbowo, Dirut Wijaya Karya.
Hari itu,
meski hanya satu malam di Aljazair, saya memilih bermalam di Kota Konstantin.
Pukul 21.00 kami baru tiba di kota itu. Langsung makan kambing arab dan nonton
pertandingan sepak bola di TV sampai pukul satu dini hari. Maklum, sepak bola
Aljazair lagi naik daun. Habis subuh kami menyusuri jalan yang sama kembali ke
Aljir.
Meski
memakan waktu tiga jam, perjalanan ini tidak melelahkan. Di samping karena
jalannya sangat mulus, Dubes kita di Aljazair Ahmad Niam Salim yang mendampingi
saya ahli bercerita. Mulai kondisi di Aljazair, praktik-praktik keagamaan
mazhab Maliki yang dianut di Aljazair, sampai ke humor-humornya yang segar.
Khas ulama muda NU yang cerdas. Dia memang diplomat nonkarir. Dia pengurus DPP
PKB.
Saya,
yang seperti umumnya orang Indonesia termasuk bermazhab Syafii, bisa banyak
bertanya mengenai penganut Maliki. Sebagai orang yang juga pernah hidup di
tengah-tengah muslim bermazhab Hambali di Tiongkok dan Asia Tengah, pengetahuan
saya tentang mazhab Maliki menjadi lebih hidup. Tentu saya berterima kasih
kepada Pak Niam Salim. Pak Dubes ini berperan besar dalam membantu BUMN masuk
ke Aljazair.
Di
Aljazair inilah untuk pertama kalinya Indonesia tercatat memiliki ladang minyak
di luar negeri. Sudah lama Pertamina berusaha masuk ke Vietnam, Malaysia, Iraq,
dan Venezuela. Namun, sulitnya bukan main. Baru di Aljazair inilah menjadi
kenyataan yang benar-benar nyata. Maka, kalau selama ini kita kebanjiran
perusahaan minyak asing, kini kita mulai menjadi perusahaan minyak asing di
negeri orang.
Saya
bersyukur Pertamina berhasil masuk Aljazair. Lebih bersyukur daripada,
misalnya, waktu itu berhasil masuk Venezuela. Rasanya kita akan lebih mantap
berusaha di Aljazair ini, antara lain, karena adanya hubungan sejarah yang
lebih dalam dengan Indonesia. Orang-orang Aljazair merasa bersaudara dengan
Indonesia.
Dari
Konstantin saya langsung ke kantor Pertamina. Semula saya tidak ingin
memberitahukan kedatangan saya ini. Namun, karena Sabtu itu hari libur, saya
khawatir kantornya tutup. Maka, begitu mendarat di Aljir dari Kasablanka,
Maroko, saya memberi tahu mereka.
Ternyata,
meski Sabtu, kantor Pertamina di Aljir ramai sekali. Kebetulan Dirut PT
Pertamina Aljazair, anak perusahaan Pertamina yang dibentuk khusus untuk usaha
di sana, Djoko Imanharjo lagi berkunjung ke Aljir. Vice President yang juga
Country Manager Eko Rukmono dan semua manajer lapangan juga lagi kumpul.
Rupanya mereka mau rapat. Mengingat besarnya simpati pemerintah Aljazair kepada
Indonesia, tak ada salahnya Pertamina menjadikan Aljazair basis pengembangan
untuk kawasan Arab dan sekitarnya.
Dari
kunjungan ini saya menangkap suasana kebatinan yang mantap untuk memperkukuh
pijakan kita di Aljazair. Wika sudah hampir merampungkan proyek pertamanya. Ini
nyata. Pertamina sudah benar-benar mulai mengoperasikan ladang minyaknya. Ini
juga nyata. Bahkan, Pertamina sudah tiga kali mengapalkan hasil minyak
mentahnya dari Aljazair dengan total hampir 1 juta barel.
Semangat
Bandung rasanya bisa terwujud nyata di sini. Baik partner Wika maupun partner
Pertamina sangat emosional. Setiap kali berkunjung ke Indonesia, mereka selalu
minta diantar ke Bandung. Mereka ingin tahu gedung KTT Asia-Afrika.
“Sampai-sampai
saya malu. Saya sendiri belum pernah masuk gedung itu,” ujar seorang manajer
Pertamina. “Ketika mengantar mereka, saya terperangah. Mereka sampai sujud di
dalam gedung itu. Mereka berdoa seperti tidak habis-habisnya bersyukur. Mereka
tahu di kursi mana pemimpin mereka duduk dan posisinya di sebelah siapa dari
negara mana.”
Saat
terbang meninggalkan Aljazair, saya tercenung. Kita harus lebih serius.
Pembangunan di Aljazair begitu banyak. Setiap kota lagi membangun kota baru.
Aljir sendiri sedang membangun water front city yang baru. Ini akan jadi bagian
kota yang paling indah.
Di situ
juga lagi dibangun masjid yang akan menjadi yang terbesar dan terindah di
Aljazair. Dan yang membangun adalah: kontraktor dari Tiongkok. Selamat
berjuang, Pak Bintang!
Pertamina
juga sudah kian tahu begitu banyak ladang minyak baru di Aljazair. Selamat
berjuang, Bu Karen! Anda berdua bisa berhalo-halo Bandung di sana! (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar