Perjuangan
Petani Rembang
Oleh:
Mohamad Sobary
Ketegangan
di pegunungan Kendeng di wilayah Pati tempat kediaman sedulur sikep dan di
wilayah perbatasan Rembang-Blora seperti bisul memecah. Petani-petani Blora
sudah lama resah. Pembangunan pabrik semen yang direstui pemerintah setempat
ditolak para petani yang bakal menjadi korban hidup-hidup yang tak dipikirkan
pemerintahnya sendiri.
Kawasan
pabrik sudah ditentukan secara sepihak oleh pabrik Semen Gresik yang sekarang
menjadi Semen Indonesia. Wilayah tempat pabrik beroperasi hanya sekitar
setengah kilometer dari desa hunian penduduk. Bunyi bising, polusi suara, tak
bisa dibayangkan bagaimana dampaknya bagi ketenangan masyarakat. Polusi udara,
debu-debu semen yang beterbangan, menyesakkan nafas penduduknya, tak diragukan
bakal menjadi problem mengerikan. Dalam ketegangan terusmenerus pada
tahun-tahun terakhir, teror dilakukan. Pihak pabrik dibantu atau minta bantuan–
dengan membayar, tentu saja–aparat berwajib.
Kabarnya,
ada pihak warga desa yang dipengaruhi dan disuruh meneror mayoritas warga desa
lain yang menolak kehadiran semen. Pihak yang menjadi kaki tangan pabrik ini
dengan sendirinya juga orang bayaran. Dia memang lahir di desa itu, besar dan
hidup di desa itu. Tapi, menurut kabar yang disampaikan warga desa yang mengadu
ke suatu pesantren di Rembang, orang itu gigih meneror tetangga- tetangganya
sendiri. Bukan hanya itu. Orang-orang yang masih ada hubungan saudara
dengannya, yang gigih menolak kehadiran pabrik yang bakal menghancurkan
lingkungan mereka, juga diteror.
Kabarnya,
dia selalu membawa golok panjang, sejenis pedang, dan ketika mendatangi
sasarannya, termasuk keluarganya sendiri, senjata tajam itu diacung-acungkan
untuk menakut-nakuti mereka. Tapi, warga desa yang sudah takut kepada pabrik
semen tidak begitu takut pada peneror ini. Boleh jadi dia tak akan tega berbuat
lebih jauh. Teror itu kekerasan. Tapi, dia tak bakal berani bertindak lebih
keras dari kata-kata. Lain hal dengan pihak polisi yang tampak sigap,
bersenjata, dan matanya tajam mengawasi setiap warga desa yang menolak
kehadiran pabrik semen tadi.
Ada
mahasiswa KKN pun kabarnya diselidiki dengan teliti, penuh kecurigaan. Orang
desa setempat, orang baik-baik, warga negara yang melakukan kebaikan demi
menjaga desa merekasendiri, takutpada polisi itu karena dia aparat resmi.
Bagaimana aparat resmi yang seharusnya melindungi warga masyarakat dari
berbagai ancaman ternyata tak melakukan tugasnya. Sebaliknya, mengapa dia
justru menjadi ancaman bagi masyarakat?
Duit
memang berkuasa. Ketegangan demi ketegangan itu pecah dua minggu lalu. Jika
bisul pecah merupakan tanda bakal datang kesembuhan, ketegangan dengan
kekuatankekuatan luar yang memakai simbol-simbol resmi kenegaraan, apa akan
jadinya? Kesembuhan akan datang, apa pemaksaan lebih lanjut, dengan kekerasan
lebih kejam?
Saya
hadir di Rembang, di sebuah pesantren tempat diskusi itu berlangsung. Warga
masyarakat sudah diberi nasihat agar untuk sementara waktu mereka bersikap
tenang. Menolak ya menolak. Itu kewajiban yang tak bisa ditunda. Menolak
kehancuran diri sendiri dan lingkungan sekitarnya itu wujud kebajikan langit
yang diminta diturunkan ke bumi buat menata kehidupan bumi yang makin ruwet dan
makin kejam ini.
Penduduk
desa itu telah melakukannya. Nasihat itu ditambah lagi: jangan ada tanda-tanda
kekerasan dari para petani. Ke mana pun mereka muncul, di sawah, di ladang,
apalagi di lokasi bakal pabrik itu didirikan, jangan membawa apa pun yang bisa
diartikan bakal melakukan kekerasan. Kalau warga di ladang, usahakan hanya di
ladang untuk salat bersama. Semua berbusana putih dan salat di sana sebagai
cara kita bertahan agar tak dirusak oleh siapa pun. Langkah itu mulia. Kita
hanya salat berjamaah. Kita hanya memohon perlindungan Allah karena
polisipolisi yang seharusnya melindungi sudah tak mungkin diharapkan.
Hanya
tinggal kepada Allah satu-satunya penolong, pelindung, dan pemelihara yang bisa
kita harapkan. Pendek kata, tanda-tanda kekerasan, jangan dilawan dengan
kekerasan. Ini tak bakal menolong. Sebaliknya, kekerasan hanya akan memperparah
kehidupan warga desa. Mereka pun setuju. Malam itu diskusi diakhiri dengan doa
untuk kemudian diawali dengan tindakan nyata; hidup jauh dari simbolsimbol
kekerasan.
Sekali
lagi dua minggu lalu ketegangan itu pecah dalam bentuk kekerasan. Media
nasional juga menyiarkan kekerasan itu. Ibu-ibu –ya, ibu-ibu– tampak dipukuli
aparat berwajib karena mereka juga turut demo, mempertahankan sekeping tanah
tempat mereka menumpang hidup selama di dunia fana, yang bagi mereka, tak
memberi kekayaan apa pun selain kekayaan rohani selama dizalimi pemerintahnya
sendiri. Mereka petani miskin. Mereka perempuan-perempuan mulia. Apakah aparat
yang kejam itu tak punya ibu? Kalau mereka punya dan ibu mereka juga sudah
setua ibu-ibu yang mereka pukuli, apakah mereka tak merasa seperti memukuli ibu
mereka sendiri? Jika di dalam hati kecil mereka ada terbetik perasaan seperti
itu, mengapa mereka teruskan/mengapa seorang anak memukuli ibu mereka sendiri?
Betapa
terkutuk mereka. Atau barangkali mereka sudah disergap mimpi-mimpi buruk
sesudah kekejaman terhadap kaum ibu, yang sudah tua itu, sudah mereka lakukan.
Mungkin mereka sudah dikutuk oleh perasaan mereka sendiri? Itu kalau mereka
punya perasaan. Kalau tidak, siapa yang mengutuk mereka? Warga desa yang tak
punya apa-apa selain jiwa yang tulus dan amal baik bagi kehidupan dunia mereka
telah dihancurluluhkan oleh aparat keamanan yang membela pabrik semen yang tak
bisa berbicara baikbaik dengan warga masyarakat setempat.
Para
pimpinan pabrik itu orang sekolahan. Sebagian bisa berdoa. Sebagian salat.
Sebagian mungkin orang NU. Tapi, bagaimana mencari untung bagi pabriknya
sendiri, untung sendiri, mulia sendiri, kaya sendiri, tanpa berbagi dengan
penduduk yang tanahnya dirusakbinasakan?
Saya
tinggal di Jakarta. Tempat saya jauh dari lokasi. Ketika mendengar kekerasan
itu berlangsung, saya tak bisa berbuat lain selain menulis esai perlawanan ini
dan berdoa. Saya menemani penduduk perbatasan Rembang-Blora yang dianiaya. Saya
berdoa untuk mereka.
Perlawanan
ini untuk mendukung perlawanan mereka dan memperkukuh jiwa mereka bahwa mereka
layak ditemani. Orangorang tertindas di mana-mana butuh teman. Para penindas,
penguasa pabrik Semen Indonesia, semoga masih bisa mendengar jeritan bangsanya
sendiri. Lebih-lebih jeritan ibu-ibu. Apakah para pimpinan yang menyuruh
dilakukannya kekerasan itu dulu tidak lahir dari seorang perempuan? Apakah
mereka tidak punya ibu dan tak pernah punya ibu? Apakah mereka tak pernah
merasakan kasih sayang dan kelembutan ibu mereka? Ibuibu yang dipukuli di
ladang itu makhluk sejenis dengan ibuibu mereka sendiri.
Kalau
aparat keamanan memukuli mereka, kita paham, mungkin orang tak terdidik dan
dilatih kekerasan, tak bisa membayangkan bahwa yang mereka pukul itu ibu mereka
sendiri. Tapi, kaum terpelajar, yang menjabat direktur, wakil direktur, bagian
keuangan, direksi, atau para pejabat lainnya, membiarkan ibu-ibu dipukuli?
Apakah jiwa mereka tumpul, setumpul jiwa aparat keamanan yang tak bisa
membayangkan bahwa ibu-ibu itu orang tua mereka, ibu-ibu mereka sendiri?
Perjuangan petani Rembang menahan datangnya pabrik mahal sekali ongkosnya.
Tapi, ”sedumuk bathuk, senyari bumi”memang layak dibela. Apa pun dan berapa pun
ongkosnya. []
KORAN
SINDO, 23 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar