Memperjuangkan Impian, Menitipkan
Harapan
Sabtu, 31 Mei 2014
Konvensi
Calon Presiden Partai Demokrat telah berakhir. Dan alhamdulillah, saya
ditetapkan sebagai pemenangnya. Walaupun tahapan konvensi hanya berhenti di
situ. Tak bisa lanjut ke tahap berikutnya. Takdir berkata lain. Perolehan suara
Partai Demokrat tak memungkinkan mengusung capres. Koalisi dengan partai lain
pun gagal terbentuk. Tidak mengapa. Inilah takdir yang harus kita terima.
Konvensi
Partai Demokrat bagaimanapun juga harus tetap kita apresiasi. Hal itu menjadi
penambah warna dalam demokrasi Indonesia. Tahun ini hanya Demokrat yang
menggelar konvensi terbuka. Sebuah langkah maju bagi demokrasi, walaupun
hasilnya belum sesuai harapan.
Sebelumnya
saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
Relawan Dahlan Iskan (ReDI) yang telah membantu banyak hal, pada semua
pendukung yang mengantarkan pada perolehan rating tertinggi dalam konvensi.
Bagaimanapun juga kerja keras selama proses konvensi telah berhasil. Dengan
ketetapan saya sebagai pemenangnya. Para relawan tak perlu kecewa.
Masyarakat
telah mengetahui realitas dan konstelali politik yang ada. Banyak tanggapan.
Ada yang mengatakan bahwa konvensi antiklimaks. Ada yang bilang saya jadi
cawapres saja. Tapi yang paling banyak adalah pertanyaan “Pak, setelah gagal
nyapres lalu bagaimana?”
Saya
tersenyum mendengar pertanyaan ini.
Sudah
berkali-kali saya katakan bahwa nyapres bagi saya bukanlah ambisi. Ingin, iya.
Tapi bukan yang harus dikejar dengan mati-matian. Masih banyak cara mengabdi di
negeri ini selain dengan nyapres.
Seperti
yang sering saya katakan, yaitu dengan; Kerja! Kerja! Kerja!
Apa pun
kata orang jangan terlampau dipedulikan. Buktikan saja dengan kerja. Itu yang
saya lakukan selama ini. Dari dulu hingga sekarang sebagai menteri.
Sebenarnya
ada tiga pilihan bagi saya saat ini. Pilihan yang harus saya renungkan dengan
baik. Pilihan ini tidak hanya berkonsekuensi bagi saya pribadi, tapi juga bagi
Indonesia.
Pertama,
berhenti. Artinya, ya, sudah. Cukup. Berhenti saja dan menjadi penonton
pertarungan dua capres yang ada. Kedua, berhenti sebentar lalu lanjut lagi.
Tahun ini mungkin tidak bisa nyapres. Tunggu lima tahun lagi. Ketiga, pada
tahun ini menitipkan harapan dan cita-cita kepada orang yang kita yakini mampu
mengembannya.
Seorang
manusia diingat bukan karena wajahnya. Tapi karena ide, cita-cita dan
gagasannya. Manusia yang tanpa punya cita-cita mudah dilupakan. Orang yang
telah lama tiada bisa jadi abadi karena idenya dikenang. Diwariskan pada
generasi selanjutnya. Berusaha untuk diwujudkan.
Saya juga
punya cita-cita bagi negeri ini. Sebuah harapan untuk kemajuan bangsa. Sewaktu
mengikuti konvensi saya uraikan hal itu dengan panjang lebar. Juga dengan
langkah- langkah mencapainya. Dan sangat mungkin untuk dilakukan.
Saya
selalu mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan pengamanan energi jangka
panjang. Energi merupakan factor vital yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi,
social bahkan politik. Ketergantungan atas BBM perlu dicarikan alternatifnya.
Ini perlu political will yang kuat dalam pengembangan teknologi dan penerapan
kebijakan. Semua negara maju telah melakukan langkah ini. Saya juga
bercita-cita dalam lima tahun ini Indonesia mampu menjadi Negara terbesar nomor
9 di dunia. Menurunkan indeks Gini dari 4,2 menjadi 3,4 agar kesejahteraan lebih
merata. Serta menaikkan ranking MDG’s.
Sebuah
cita-cita harus diwujudkan. Kalau itu demi bangsa harus dikerjakan. Lewat
tangan siapa pun. Kalau tak bisa dikerjakan sendiri, minta tolong orang lain
untuk membantu mengerjakan. Oleh karena itulah, tak ada pilihan berhenti.
Pilihan pertama sudah gugur. Tinggal dua pilihan, berhenti untuk mengambil jeda
atau menitipkan cita-cita pada orang lain.
Saya
lebih memilih untuk menitipkan cita-cita pada orang lain. Pada orang yang kita
percayai. Pada orang yang menurut kita mampu untuk melaksanakannya. Dan saya
memilih itu. Karena bagi saya, terwujudnya cita-cita itu lebih penting dari
sekadar duduk di posisi itu. Kewenangan tidak untuk dinikmati, tapi dibuktikan
dengan kerja. Kerja harus merupakan perwujudan cita-cita.
Tahun ini
kita semua dihadapkan pada pemilihan presiden. Dengan dua pasangan calon, yaitu
Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Saya
lebih memilih untuk menitipkan cita-cita pada orang lain. Ini piihan. Sebuah
keputusan yang saya ambil. Pilihan ini saya ambil karena saya tak mau berhenti
bekerja. Saya tidak mau “jeda” kalau itu urusan bangsa dan negara. Jangan jadi
penonton, tapi lakukan sesuatu. Kerjakan sesuatu. Inilah motto hidup yang saya
pegang selama ini.
Saya
tidak memaksa untuk mengikuti pilihan saya, terutama untuk para relawan.
Perbedaan pendapat bukanlah akhir dari sebuah hubungan. Hubungan baik yang sudah
terjalin selama ini jangan sampai retak hanya persoalan selisih pendapat. Yang
paling penting adalah cita-cita yang kita emban bersama. Dimanapun pilihan itu
dijatuhkan, pastikan cita- cita itu diwujudkan.
Kerja!
Kerja! Kerja! []
Dahlan Iskan
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar