Presiden
Musim Semi Kesukarelaan
Oleh:
Yudi Latif
MUSIM
semi tiba, rerumputan pun tumbuh sendiri; kedatangan pemimpin alamiah sejati
menginspirasi kesukarelaan untuk bertindak”. Demikianlah Lao Tzu memberi
iktibar.
Setelah
sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin
(relatif) otentik dalam pemilihan presiden kali ini mengembalikan darah segar
ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh
tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan oleh
simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Tanpa menunggu
komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak-serempak,
mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja,
Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif,
energetik, dan kreatif.
Betapapun
kontestasi kepresidenan berlangsung sengit, kekuatan kesukarelaan dan
kreativitas ini ternyata memiliki daya kendali tersendiri untuk tidak memasuki
medan pertarungan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kesukarelaan dan
kreativitas itu sendiri. Maka, dengan segala ketegangannya, pilpres kali ini
pun berlangsung relatif aman dan damai.
Sungguh
disesalkan, kemunculan pemimpin harapan dan musim semi kesukarelaan ini diboncengi
oleh penumpang gelap kepentingan elitis yang mengobarkan politik kecemasan.
Kedua pasangan dipersonifikasikan sebagai representasi dari dua kecemasan
akbar. Yang satu adalah kecemasan akan bangkitnya kekuatan yang dapat
melemahkan aspirasi kebebasan sipil dan pluralisme kewargaan. Yang lain
kecemasan akan hegemoni minoritas-pemodal yang dapat mengarah pada pelebaran
kesenjangan sosial dan marjinalisasi mayoritas.
Celakanya,
kedua kecemasan ini nyaris menjadi nubuat yang memenuhi kenyataan (self-fulfilling
prophecy). Kecemasan yang pertama dipenuhi oleh cara kampanye pesaingnya yang
memobilisasi sentimen ”perseteruan” atas dasar agama dan oleh kalangan
pendukungnya sendiri yang memobilisasi sentimen ”minoritas”. Kecemasan kedua
dipenuhi oleh kecenderungan dukungan minoritas-pemodal pada pesaingnya dan oleh
kekhawatiran partai-partai Islam pendukungnya yang rata-rata miskin logistik
kalau sampai mereka tidak punya akses ke sumber daya eksekutif.
Masih
beruntung, kedua kecemasan ini bisa dinetralisasi oleh pengelompokan secara
campuran (mixed type). Pada setiap kubu ada representasi aliran ”kebangsaan”
dan ”keislaman”; kaum modernis dan tradisionalis; Muslim dan non-Muslim. Maka,
setiap percobaan untuk melakukan stigmatisasi terhadap lawannya dengan menempelkan
kategori-kategori politik lama selalu bisa dimentahkan. Adanya persilangan
identitas (cross-cutting identities) ini pula yang membuat konflik bisa
dilunakkan, tidak sampai mengarah pada perang sipil.
Dengan
fenomena seperti itu, akar rumput tidak akan mudah dibakar. Potensi kekerasan
masih mungkin melalui mobilisasi ”laskar-laskar” kekerasan sebagai soldier of
fortune. Jika itu yang menjadi pilihan, aparatur keamanan negaralah yang paling
bertanggung jawab untuk mengatasinya. Pada titik ini, ujian sejarah sedang
dihadapi oleh Presiden beserta jajaran TNI dan polisi, apakah mereka akan lulus
sebagai pahlawan pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau tercoreng
sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsanya.
Bagaimanapun,
siapa pun yang terpilih sebagai presiden-wakil presiden nanti, yang
dipertaruhkan bukanlah gengsi personal Joko Widodo-Jusuf Kalla dan
Prabowo-Hatta Rajasa, melainkan nasib seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu,
kedua pasangan harus bersifat kesatria; yang menang tidak mentang-mentang, yang
kalah tidak marah-marah. Kemenangan sejati mestinya kemenangan seluruh rakyat,
yang bisa diraih manakala pemimpin terpilih sanggup mengubah politik kecemasan
menjadi politik harapan bagi seluruh rakyat.
Untuk
mengubah kecemasan menjadi harapan, pemimpin terpilih harus sungguh-sungguh
menjamin kebebasan sipil dan pluralisme dengan merealisasikan negara
kekeluargaan yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.
Pemimpin terpilih juga harus sungguh-sungguh berusaha menciutkan kesenjangan
sosial dan mengembangkan keadilan sosial dengan merealisasikan negara
kesejahteraan.
Dalam
mengarungi jalan terjal politik harapan itu, sikap optimistis harus terus
dipelihara. Orang boleh kecewa terhadap pelaksanaan demokrasi, tetapi mesti
bersabar untuk mempertahankan rezim demokratis. Berbeda dengan ledakan harapan,
pemerintahan demokratis baru sering dihadapkan dengan aneka masalah dan
kekecewaan. Karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting
bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah
kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara
pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya.
Suatu
pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama lintas
batas, bukan menyulut pertikaian, sambil mengupayakan secara bersama cara
mengatasi permasalahan secara institusional. Para pemimpin harus menyadari
pentingnya merawat harapan dan optimisme dengan cara memahami kesalingtergantungan
realitas serta kesediaan menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan
digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang dapat mendorong
partisipasi dan tanggung jawab warga untuk bergotong royong merealisasikan
kebajikan bersama. Dalam menguatkan gotong royong ini, pluralisme harus
dikembangkan secara jujur, tidak dipolitisasi sebagai siasat demi menguntungkan
golongan sendiri. []
KOMPAS,
22 Juli 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar