Nasib Kaum Nasionalis Masjumi
Masyumi sebuah partai Islam yang besar pada
tahun 1950-an, walaupun partai Islam itu dianggap solid, tetapi di dalamnya
terdapat dua faksi yang saling bertentangan, yaitu faksi Islamis yang dipimpin
oleh Muhammad Natsir dan Faksi Nasionalis yang dipimpin oleh Soekiman dan Jusuf
Wibisono. Kelompok Islamis itu menunjukkan sikap yang sangat bermusuhan dengan
NU dan Bung Karno, sementara kelompok Masjumi nasionalis lebih dekat dan bisa
menghargai NU dan Bung Karno. Karena itu, NU tetap kerasan beraliansi dengan
Masyumi. Tetapi ketika kelompok Natsir dominan, NU terpaksa keluar dari aliansi
itu tahun 1952. Itulah sebabnya, Nurcholish Madjid mengidentifikasi gerakannya
sebagai kelanjutan dari Masyumi Soekiman, yang lebih democrat, nasionalis dan
toleran.
Besarnya pengaruh kelompok Natsir yang berpikir terlalu agamis, tetapi tidak disertai strategi politik yang realistis dan matang, itulah yang menurut Jusuf wibisono Masyumi tergelincir ke dalam pemberontakan PRRI, yang menganggap kekuatannya terlalu besar, sehingga merasa bisa menandingi Soekarno yang didukung oleh partai besar seperti PNI, NU, PKI dan tentara. Lagipula, pemberontakan itu sendiri menurut Jusuf Wibisono bertentangn dengan Konstitusi dan Demokrasi Parlementer yang diperjuangkan sendiri oleh Masyumi.
Tetapi akibat pemberontakan itu dialami juga oleh kelompok Masyumi nasionalis seperti Soekiman dan Jusuf Wibisono. Kalau selama ini, Masyumi berusaha keras untuk distigma sebagai DI-TII, tetapi setelah pimpinan Masyumi terlibat Langsung dalam pemberontakan PRRI, maka pimpinan Masyumi nasionalis merasa tidak memiliki hak moral untuk membersihkan Masyumi dari stigma yang dilakukan kelompok militer dan PKI saat itu. Karena terbukti, Masyumi berjuang melalui jalan kekerasan sebagaimana dilakukan Kartosuwirjo yang dulunya juga pengurus Masyumi. Kalau selama ini Masyumi mengkritik pemberontakan PKI 1929 dan pemberontakan 1948 di Madiun maka sejak saat itu, para pimpinan Masyumi nasionalis merasa kehilangan hak moral untuk mengkritik pemberontakan PKI sebagaimana yang gigih dilakukan saat itu.
Tidak hanya berhenti di situ. Kelompok Masyumi nasionalis yang moderat pun mengalamai kesulitan dalam menjalankan politik karena terus ditekan oleh kalangan Angkatan Darat dan terus diserang oleh PKI. Bahkan hampir semuanya dimasukkan penjara, dengan tuduhan bermacam-macam, ada yang dituduh langsung terlibat PRRI, dan dituduh melakukan provokasi terhadap gerakan politik lainnya. Yang jelas, setelah perintiwa PRRI itu, Masyumi dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun 1960. Dengan dilarangnya Masyumi ini, NU juga sedih karena kehilangan partner dalam perjuangan politik, seperti yang dilakukan saat sidang Konstituante, pemilihan gubernur BI dan sebagainya. Akhirnya, kebesaran Masyumi hilang, pemimpinya baik yang Islamis maupun yang nasionalis juga tenggelam dalam ketidak pastian.
Ketika gagasan dan langkah yang ditempuh kelompok nasionalis yang moderat, juga nasehat dari ulama NU itu tidak didengar oleh kalangan Islamis yang progresif, maka Masyumi terjerumus dalam makar akhirnya kehilangan peran dan kesempatan. Kesempatan itu tidak pernah diperoleh kembali ketika upayanya untuk mendirikan Masyumi pada awal Orde Baru tidak diizinkan, akhirnya para tokoh Masyumi harus puas mendapatkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang kepemimpinannya dikendalikan Orde Baru akhirnya menjadi partai kecil yang kemudian difusikan ke dalam PPP. Masyumi secara formal hilang dan akhirnya hanya bisa berdiaspora. Sebagai konsekuensinya tidak ada konsistensi ideologi, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pedirinya, baik yang terdiri dari kelompok NU, Persis termasuk juga unsur Muhammadiyah dan tokoh individual lainnya yang turut mendeklarasikan partai Islam itu. []
(Abdul Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar