Suami-Istri Melakukan
Hubungan Siang Hari, Siapa yang Didenda?
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Kami suami-istri
yang baru menikah. Dan selama seminggu saya keluar kota, begitu pulang karena
kami tidak tahan kami melakukan hubungan badan pada siang hari di bulan
Ramadlan. Yang ingin saya tanyakan apakah kami berdua wajib membayar kaffarat
ataukah hanya pihak suami saja yang wajib, mengingat hubungan itu kami lakukan
berdua dan sama-sama menikmatinya. Kami mohon penjelasannya, dan atas
penjelasannya kami ucapkan terimakasih.
(Ali-Sorong)
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt, dan bisa menjalankan puasa dengan lancar sampai selesai. Bahwa
hubungan badan yang dilarang dan membatalkan puasa adalah hubungan yang
dilakukan siang hari, dan pelakunya berhak mendapatkan kaffarat. Larangan ini
tidak berlaku untuk hubungan badan yang dilakukan pada malam hari.
Yang menjadi persoalan apakah pihak perempuan
yang melakukan hubungan di siang hari itu juga berhak mendapatkan kaffarat atau
hanya pihak lelaki saja?
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini. Menurut
madzhab Hanafi dan Maliki jika seorang istri melakukan hubungan badan dengan
suaminya maka ia wajib membayar kaffarat. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan
Imam Dawud azh-Zhahiri tidak ada kewajiban membayar kaffarat atasnya. Demikian
sebagaimana dikemukakan Ibnu Rusyd:
وَأَمَّا
الْمَسْأَلَةُ الثَّالِثَةُ : وَهُوَ اخْتِلَافُهُمْ فِي وُجُوبِ الْكَفَّارَةِ
عَلَى الْمَرْأَةِ إِذَا طَاوَعَتْهُ عَلَى الْجِمَاعِ فَإِنَّ أَبَا حَنِيفَةَ
وَأَصْحَابَهُ وَمَالِكًا وَأَصْحَابَهُ أَوْجَبُوا عَلَيْهَا الْكَفَّارَةَ
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَدَاوُدُ: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا.
“Adapun masalah ketiga: yaitu perselisihan
mereka (para ulama) tentang kewajiaban membayar kaffarat bagi seorang perempuan
yang melakukan jima` dengan suaminya maka Abu Hanifah beserta para pengikutnya
dan Imam Malik beserta para pengikutnya mewajibkan ia membayar kaffarat. Sedang
menurut Imam Syafii dan Imam Dawud azd-Zhahiri, tidak ada kewajiban kaffarat
baginya” (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,
Mesir-Musthafa al-Babi al-Halabi, 1395 H/1975 M, h. 204)
Di antara alasan yang mewajibkan kaffarat,
misalnya menurut madzhab Hanafi adalah bahwa sebab yang mewajibkan membayar
kaffarat adalah pelanggaran dengan merusak puasa (jinayah al-ifsad). Dan
keduanya dianggap berkolaborasi (musyarakah) dan bersama-sama dalam melakukan
pelanggara tersebut. Karenanya, baik lelaki maupun pihak perempuan memiliki
kewajiban membayat kaffarat.
Sedangkan di antara alasan yang dikemukakan
oleh pandangan kedua yang tidak mewajibkan kaffarat bagi pihak perempuan adalah,
karena Rasulullah saw dalam haditsnya hanya memerintahkan kepada pihak
laki-laki yang melakukan jima` dengan istrinya pada siang Ramadlan untuk
membebaskan budak, jika tidak mampu puasa selama dua bulan berturut-turut, dan
jika masih tidak mampu juga maka memberikan makanan kepada enam puluh orang
miskin. Yang diwajibkan membayar kaffarat hanya suami, padahal jelas dalam
kasus ini pihak perempuan juga terlibat di dalamnya.
Saran kami, ikuti pendapat yang pertama
sepanjang bisa dilakukan. Karena jika kita mengikuti pendapat pertama, maka
kita juga mengakomodir pendapat kedua. Di samping itu pendapat pertama adalah
pendapat yang diikuti mayoritas ulama.
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan, dan semoga bisa bermanfaat. Dan kami ingatkan jangan sekali-kali
mengulangi hal tersebut karena itu jelas melanggar aturan syara’. Puasa adalah
sarana untuk menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya dihalalkan, dalam hal
ini adalah hubungan suami istri seperti dibahas di atas. Jika merasa tidak kuat
menahan, hindari intensitas pertemuan di siang hari. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan,
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar