Rekonsiliasi
(Samawi) Palestina-Israel
Oleh:
Hasibullah Satrawi
HUBUNGAN
Israel-Palestina kembali membara. Dalam dua hari terakhir (1–2/7), Israel
diberitakan telah menggempur sedikitnya 34 sasaran di Jalur Gaza. Israel
mengklaim, operasi tersebut dilakukan sebagai upaya mencari warga Palestina
yang dituduh membunuh tiga pemuda Israel setelah disandera sejak 12 Juni lalu.
Israel juga menuduh Hamas terlibat dalam penculikan tersebut (al-jazeera.net, 2/7).
Bila
Palestina terpancing dengan serangan Israel, khususnya Hamas, bisa dipastikan
ketegangan itu akan meningkat seperti telah kerap terjadi selama ini. Apalagi,
Hamas selama ini kerap menggunakan politik perlawanan (al-muqawamah) untuk
menghadapi kesewenang-wenangan Israel. Bila hal itu terjadi, dipastikan akan
semakin banyak korban yang jatuh di kedua pihak.
Mediasi
Perdamaian
Di
sinilah pentingnya mediasi perdamaian bagi Palestina dan Israel. Tidak
semata-mata karena mereka bertetangga, tapi lebih daripada itu karena
sesungguhnya ada hubungan kekerabatan dan persadauraan di antara elemen-elemen
yang terdapat di kedua negara. Setidaknya itu bila ditinjau dari perspektif
agama-agama samawi yang dipedomani warga Israel dan Palestina, yaitu Islam,
Kristen, dan Yahudi.
Hakikat
tiga agama samawi di atas bersaudara. Sebab, tiga agama tersebut sama-sama
berbapak kepada Nabi Ibrahim AS. Bahkan, ketiganya sama-sama bertuhan kepada
Allah (walaupun bahasa dan pendekatan teologinya acap berbeda-beda). Itu
sebabnya, dalam studi agama-agama, Islam, Kristen, dan Yahudi dikenal dengan
istilah agama-agama samawi.
Ironisnya,
tiga agama bersaudara itu justru acap terlibat dalam pelbagai macam konflik
yang berdarah-darah. Baik karena latar belakang politik yang ’’diagamakan’’
maupun adanya ajaran bernuansa ’’eksklusif’’ dalam ketiganya. Akibatnya, antara
satu agama dan agama yang lain acap menafikan sembari meneguhkan kebenaran dan
keselamatan versi masing-masing. Tidak mengherankan bila terbentuk kecurigaan
sangat dalam di kalangan pemeluk agama samawi terhadap pemeluk agama samawi
yang lain.
Pada
awalnya, eksklusivisme bermula dari sebuah keyakinan bahwa mereka adalah umat
pilihan Tuhan, umat terbaik, umat yang pasti selamat, dan klaim-klaim eksklusif
yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, ekslusivisme membentuk pola pikir
yang bersemangat saling curiga, bahkan membentuk kehidupan umat beragama yang
terkotak-kotak. Umat bergama A, contohnya, di kotak tertentu, sedangkan umat
agama B berada di kotak yang berbeda.
Pengalaman
konflik berkepanjangan antarkeluarga samawi telah membentuk satu pepatah yang
sangat masyhur di kalangan masyarakat Timur Tengah bahwa konflik senantiasa
terjadi di internal keluarga. Sebab, sesama orang asing yang tidak saling
mengenal tidak mungkin berkonflik.
Titik
Balik; Rekonsiliasi
Di
sinilah urgensi mediasi perdamaian seperti pernah dilakukan Paus Fransiskus
beberapa waktu lalu (8/6) dalam bentuk pertemuan dialog dan doa di antara tiga
agama samawi. Acara yang diadakan di Vatikan itu juga dihadiri langsung oleh
presiden Palestina dan presiden Israel (Mahmoud Abbas dan Shimon Perez).
Apa yang
dilakukan Paus Fransiskus itu dapat disebut sebagai upaya titik balik; dari
konflik akibat keluarga dekat menjadi rekonsiliasi karena adanya ikatan
keluarga dekat. Konflik di internal keluarga yang berdekatan jauh lebih mudah
jika dibandingkan dengan konflik dengan pihak lain, apalagi berjauhan. Bahkan,
konflik di internal keluarga bisa berlangsung secara lebih mengerikan atau
bahkan sampai pada tahap habis-habisan.
Hal itu
terjadi karena masing-masing pihak dalam satu keluarga dengan mudah bisa
mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal yang lain. Sementara itu,
pihak luar, apalagi berjauhan, tidak mempunyai kemudahan seperti itu untuk
mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal lain yang dimiliki sang lawan.
Berdasar
pengetahuan atas apa yang dimiliki ’’lawan’’, konflik di internal keluarga bisa
berlangsung lebih mengerikan daripada konflik di antar sesama orang asing.
Itulah yang kurang lebih terjadi selama berabad-abad di internal keluarga besar
agama-agama samawi. Bahkan, konflik di internal keluarga agama-agama samawi
berlangsung hingga hari ini. Misalnya, konflik Palestina-Israel dan konflik
Sunni-Syiah.
Oleh
karena itu, persis dengan yang dikatakan Paus, upaya perdamaian dan titik balik
seperti itu membutuhkan keberanian yang sangat besar; keberanian menggunakan
semua hubungan dan kedekatan yang ada untuk membangun perdamaian dan kerukunan,
daripada menggunakan hubungan dan kedekatan yang ada untuk peperangan dan
konflik.
Hati
Samawi
Ibarat
manusia, konflik Palestina-Israel dapat disebut sebagai hati bagi agama-agama
samawi. Hal itu tak lain karena di area tersebut terdapat tempat-tempat
bersejarah dan disucikan oleh tiga agama samawi. Keberadaan situs-situs suci di
wilayah itu sedikit banyak menambah kompleks konflik yang ada. Oleh karena itu,
penyelesaian atas konflik Palestina-Israel akan sangat berpengaruh terhadap
penurunan konflik di dunia, khususnya konflik terkait dengan tiga agama samawi
tersebut.
Sejatinya
wilayah Palestina dan Israel bisa dijadikan contoh oleh semua pihak untuk
membangun kehidupan umat beragama yang penuh dengan kemajemukan (terutama bagi
kalangan pemeluk agama samawi), tapi tetap saling menghormati di antara mereka.
Mengingat, wilayah itu merupakan kota suci bagi agama-agama samawi. Dan di
tempat tersebut terdapat umat pemeluk tiga agama samawi dengan rumah ibadah
masing-masing.
Eksklusivisme
dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat politis telah membuat Palestina
dan Israel berubah menjadi cermin retak. Wilayah yang pada awalnya bisa
dijadikan contoh kerukunan dan kemajemukan itu acap berubah menjadi ’’kota
sengketa’’ dan ’’pemicu konflik’’ di hampir semua mata rantai sejarah umat
manusia. Dimulai dari sejarah peradaban-perdaban kuno yang pernah memperebutkan
kota itu (seperti Babilonia, Asyiria, Persia, dan Romawi), kekhilafan Turki
Utsmani, hingga masa belakangan yang mewujud dalam konflik Palestina-Israel
beserta seluruh konflik turunanannya di pelbagai macam belahan dunia.
Tentu itu
adalah kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan secara berjamaah oleh para
perebut wilayah tersebut. Mengingat, kota suci itu pada awalnya dibangun tidak
untuk menjadi petaka bagi kehidupan banyak manusia, tetapi untuk menjadi tempat
bermunajat kepada Tuhan, tempat mempersatukan seluruh umat manusia (terutama
umat pengikut tiga agama samawi), dan tempat semburan ajaran kasih yang
senantiasa menyirami kehidupan umat manusia di mana pun berada.
Sebagaimana
disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadis: Baik atau buruknya sebuah
hati akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Setelah kerap gagal
sebelumnya di tangan banyak pihak, kini Paus mencoba menyembuhkan hati samawi
itu. Konflik Palestina dan Israel memang bukan persoalan agama, tapi semangat
rekonsiliasi samawi akan sangat berperan dalam upaya penyelesaian konflik
tersebut. Semoga berhasil. []
JAWA POS,
04 Juli 2014
Hasibullah Satrawi ; Alumnus
Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan dunia Islam; Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar