Puasa Lahir Batin
DATA
BUKU:
Judul
: Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh
Penulis
: Robert Fragen, Ph.D
Penerbit
: Zaman
Tebal
: 395 halaman
Terbitan
: Pertama, 2013
ISBN
: 978-602-1791-97-4
Peresensi
: M Kamil Akhyari, Sarjana Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah,
Guluk-guluk Sumenep Madura
Dalam 12 bulan umat Islam diwajibkan
melakukan ritual mengekang (shaum/puasa) selama satu bulan suntuk.
Pelaksanaannya pada bulan Ramadan. Puasa yang diperintahkan --minimal-- berupa
mencegah makan, minum, berhubungan intim dengan pasangan, dan aktivitas lain
yang dapat membatalkan puasa terhitung sejak terbit fajar hingga beduk tanda
magrib ditabuh.
Terminologi puasa tersebut telah menjadi kesepakatan para ulama. Ketentuan tersebut merupakan aturan lahiriah yang berlaku dalam ibadah puasa. Jika ada salah satunya yang dilanggar, secara otomatis ritual puasanya tidak sah dan harus diganti di kemudian hari.
Syarat sah puasa tak ubahnya seleksi administrasi dalam melamar sebuah pekerjaan. Belum tentu semua pelamar yang lolos administrasi kemudian diterima kerja. Demikian juga dengan ritual puasa, sekalipun secara lahiriah sah belum tentu diterima di sisi Allah. Untuk diterima puasa harus memperhatikan aturan batiniah.
Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits nabi yang sangat terkenal: "Ada orang yang berpuasa dan tidak mendapatkan apa-apa dari puasa mereka kecuali rasa lapar dan ada orang yang mendirikan shalat di ujung malam dan tidak mendapatkan apa-apa dari shalat mereka kecuali malam tanpa tidur." (hlm. 285)
Secara eksplisit, kanjeng Nabi Muhammad ingin mengatakan bahwa bentuk lahiriah ibadah tidak memberi jaminan bahwa pelakunya akan mendapatkan buah atau dampak batiniah. Namun demikian, aspek lahiriah tetap menjadi aspek yang sangat penting dan satu-satunya pintu masuk untuk meraih efek batiniah (hlm. 286).
Dengan demikian, umat Islam seharusnya tahu filosofi dari ibadah puasa, sehingga bisa menjalankan ibadah puasa lahir batin. Terlalu murah harga ritual puasa kalau hanya menjadi tradisi tahunan umat Islam tanpa makna.
Latihan
Umat Islam diperintah menjalankan puasa untuk melatih kesabaran: Pertama, sabar melakoni atau menetapi, seperti istikamah menjalankan laku spritual untuk membangun dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik. Melakukan hal-hal yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk memang membutuhkan kesabaran.
Kedua, sabar menghindari atau menjauhi. Sabar yang kedua berarti menolak dominasi ego atau nafsu yang terpusat pada diri sendiri (hlm. 271). Jenis kesabaran yang terakhir yang lebih sulit dan membutuhkan latihan spritual. Penempuh jalan Tuhan (darwis) biasanya latihan dibawah bimbingan seorang guru (mursyid).
Para salik di jalan tasawuf banyak latihan melemahkan nafsu yang membangga-banggakan diri atau narsistik dengan cara berpuasa. Dalam kondisi letih dan lapar, marah dan naik darah biasanya meledak-ledak dan merintih. Dalam kondisi lapar, para salik lebih sadar akan suara ego dan segala argumennya yang cerdik (hlm. 282).
Puasa Ramadhan mestinya menjadi latihan umat Islam untuk menaklukkan ego. Ketika ego narsistik bisa ditaklukkan, seseorang semakin berkembang di jalan ruhani, semakin intim dengan Allah, dan semakin besar kecenderungan untuk berbuat baik dan melayani orang lain, bukan ingin dilayani orang lain. Selanjutnya, kasih sayang menjadi penting untuk selalu ditebarkan. Pada hari puncaknya nanti lahitan spiritual diperingati dengan hari kemenangan.
Puasa tingkatan orang khusus ini menjadi salah satu praktik tasawuf yang dikupas dalam buku Obrolan Sufi untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Buku terbitan Zaman tersebut menjelaskan seluk-beluk cara mengatasi rintangan di jalan ruhani dan pencarian Tuhan dalam jiwa, hati, dan lingkungan sekitar.
Isi buku setebal 395 itu sangat baik ditelaah dan dipraktikkan untuk menyirami kegersangan jiwa. Namun, dalam penulisannya ditemukan banyak salah ketik, sehingga sedikit mengganggu pembaca dalam memahami laku tasawuf yang agak rumit. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar