Selasa, 01 Juli 2014

Kang Sobary: Seni Memilih



Seni Memilih
Oleh: Mohamad Sobary

Pilih-memilih, dalam bidang apa pun, memiliki spektrum yang luas. Memilih satu di antara sangat banyak pilihan bisa memusingkan. Ini satu hal yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari, juga di dalam politik yang menyita waktu dan perhatian kita.

Hampir tiap hari kita memilih, dalam “pilkades”, “pilcamat”, “pilbup”, “pilwalikota”, “pilgub”, “pilcaleg”, kemudian “pilpres”.

Belum lagi kita tambahkan urusan pilih-memilih di dalam organisasi sosial keagamaan, di dalam organisasi profesi, dalam organisasi sukarela, yang banyak sekali jenisnya. Kelihatannya, kita hidup khusus untuk memilih.

Pengalaman mengajarkan, memilih satu di antara sangat sedikit pilihan juga merupakan “siksaan” tersendiri, yang membuat kita ngomel-ngomel. Ketika banyak pilihan kita dibuat bingung, ketika kita hanya punya sedikit pilihan kita “mengutuk” keterbatasan. Kita dihadapkan pada situasi serbatidak ideal.

Demokrasi menawarkan kebebasan memilih. Kebebasan yang sebebas-bebasnya menjadi milik kita. Namun, demokrasi bukan tanpa jebakan. Bebas memilih dalam pemilihan parlemen bulan lalu, yang banyak sekali pilihannya, dan yang banyak itu berada di bawah simbol partai-partai yang juga banyak.

Ini contoh perkara memusingkan yang sudah disebut di atas. Banyak “caleg” yang ditawarkan pada kita tak mampu menggugah selera. Mereka tak punya pesona dan daya tarik apa pun.

Beberapa sudah korupsi dan mengerikan. Mereka yang baru dan belum korupsi, tak cukup meyakinkan kita bahwa mereka orang baik-baik. Kita berusaha menutupi kelemahan mereka dengan pengaruh partai-partai mereka.

Namun, apa yang mau dipilih dari partai-partai yang platformnya sama dan reputasinya juga sama? Bahkan partai baru, yang tiba-tiba kelihatan meyakinkan, tapi dia bahkan terbukti tampil sebagai partai paling korup. Orang-orangnya secara serentak ditangkap, diadili, dan dipenjara. Apa yang mau dipilih?

Bulan lalu kita dibikin pusing untuk memilih terlalu banyak pilihan yang tak berkualitas, sekarang kita harus memilih dua pilihan.

Dibanding jumlah pilihan yang begitu banyak bulan lalu, sekarang ini seharusnya kita tidak merasa sulit dan ruwet. Namun, dua pilihan ini ternyata juga sangat kompleks. Makin didalami, makin ruwet. Makin ditimbang, makin membuat kita merasa sulit memutuskan memilih yang mana.

Memilih yang tegas? Ternyata sekadar tegas tidak cukup. Apalagi kalau tegas itu berarti keras, galak, kejam, sekejam penguasa Orde Baru yang kita rombak dengan reformasi.

Di bawah penguasa yang tidak tegas pun sekarang, kekerasan, sikap galak, ganas dan kejam, merajalela di mana-mana. Penguasa yang tak tegas membiarkannya.

Bagaimana kalau pemimpin yang tegas, yang kita pilih itu nanti menganggap kekerasan dan sikap kejam malah didukung? Bagaimana kalau yang ganas dan kejam malah dianggap kurang ganas dan kurang kejam?

Media Partisan

Media, terutama yang jelas sangat partisan dan tidak malu menjadi partisan, menambah keruwetan. Media partisan tidak memainkan peran untuk memberi informasi yang jernih, adil, dan seimbang.

Mereka “memaksa” dan menjejalkan watak partisan mereka kepada publik, seolah yang disebut publik itu hanya anak-anak yang mudah ditipu. Meskipun begitu, korban mereka banyak.

Mereka menanamkan kedengkian dan memfasilitasi berkembang kekerasan di dalam masyarakat. Dengan kekuasaannya, media bisa mengubah apa yang “hitam kelam” menjadi lebih terang. Media partisan itu tidak malu mengubah sejarah tokoh yang dipujanya dan menista dengan fitnah dan kebohongan, pihak “sana” yang tak mereka sukai.

Dalam keruwetan, yang sengaja dibikin ruwet seperti ini, siapa berani menjamin pemilu bebas itu bebas dan yang dianggap “rahasia” itu memang rahasia? Bebas yang tidak bebas dan rahasia yang sama sekali bukan rahasia itu telah membuat banyak orang memilih tanpa didasarkan pengetahuan tentang yang dipilih. Orang memilih karena diprovokasi. Ada bahkan yang diancam.

Tak perlu lagi dikatakan, betapa banyak orang yang memilih karena dicekoki duit. Siapa bilang pemilu bebas dan rahasia? Siapa bilang memilih secara demokratis itu memang demokratis sebagaimana arti kata itu?

Warga negara, rakyat Indonesia, yang memiliki hati nurani, masih banyak. Media partisan yang tak tahu malu tadi boleh memprovokasi siang malam. Mereka yang memiliki hati jernih niscaya tak terpengaruh.

Makin gencar provokasi media partisan, makin banyak orang yang ragu. Makin gencar fitnah disebarluaskan, keraguan makin meluas. Orang akhirnya tahu: ojo kuwi: jangan milih yang itu karena banyak fitnahnya, banyak provokasinya, dan banyak bohongnya.

Bagaimana orang yang mengaku beragama bisa dengan tenteram menyebar fitnah ke sana ke mari tiap hari? Bagaimana orang yang mengaku saleh dan bersih, bisa bergelimang dengan kepalsuan dan dosa-dosa yang dibuatnya sambil merasa nyaman dan bahagia? Apa gunanya bicara agama dan membuat agama sebagai platform partai, kalau tokoh-tokohnya hidup damai dengan sikap bohong serbapalsu? Mana bisa orang diajak hidup dalam kepalsuan?

Senjata bisa memakan tuannya sendiri. Pemilih yang diancam tak melawan, diberi data palsu diam saja, dan ketika diberi uang diterima, tetapi yang dipilih hanya pilihannya sendiri. Ini menjadi sejenis seni memilih tanpa melawan yang keras. Seni memilih dengan hati nurani tanpa mau dikotori jiwa-jiwa yang sudah kotor sejak lama.

Mereka juga menampilkan seni memilih yang lain: memilih tidak akan memilih calon yang terlalu jelas seolah hidup di atas panggung drama, diatur-atur, tetapi palsu, sok murah hati dan ramah, tetapi buatan sutradara. Siapa yang akan mereka pilih? Ini rahasia. Betul-betul rahasia. Pilihan mereka tak akan jatuh pada yang palsu. Ini seni memilih yang dipandu hati nurani. []

SINAR HARAPAN, 18 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar