Seni Memilih
Oleh:
Mohamad Sobary
Pilih-memilih,
dalam bidang apa pun, memiliki spektrum yang luas. Memilih satu di antara
sangat banyak pilihan bisa memusingkan. Ini satu hal yang sering kita hadapi
dalam kehidupan sehari-hari, juga di dalam politik yang menyita waktu dan
perhatian kita.
Hampir
tiap hari kita memilih, dalam “pilkades”, “pilcamat”, “pilbup”, “pilwalikota”,
“pilgub”, “pilcaleg”, kemudian “pilpres”.
Belum
lagi kita tambahkan urusan pilih-memilih di dalam organisasi sosial keagamaan,
di dalam organisasi profesi, dalam organisasi sukarela, yang banyak sekali
jenisnya. Kelihatannya, kita hidup khusus untuk memilih.
Pengalaman
mengajarkan, memilih satu di antara sangat sedikit pilihan juga merupakan
“siksaan” tersendiri, yang membuat kita ngomel-ngomel. Ketika banyak pilihan
kita dibuat bingung, ketika kita hanya punya sedikit pilihan kita “mengutuk”
keterbatasan. Kita dihadapkan pada situasi serbatidak ideal.
Demokrasi
menawarkan kebebasan memilih. Kebebasan yang sebebas-bebasnya menjadi milik
kita. Namun, demokrasi bukan tanpa jebakan. Bebas memilih dalam pemilihan
parlemen bulan lalu, yang banyak sekali pilihannya, dan yang banyak itu berada
di bawah simbol partai-partai yang juga banyak.
Ini
contoh perkara memusingkan yang sudah disebut di atas. Banyak “caleg” yang
ditawarkan pada kita tak mampu menggugah selera. Mereka tak punya pesona dan
daya tarik apa pun.
Beberapa
sudah korupsi dan mengerikan. Mereka yang baru dan belum korupsi, tak cukup
meyakinkan kita bahwa mereka orang baik-baik. Kita berusaha menutupi kelemahan
mereka dengan pengaruh partai-partai mereka.
Namun,
apa yang mau dipilih dari partai-partai yang platformnya sama dan reputasinya
juga sama? Bahkan partai baru, yang tiba-tiba kelihatan meyakinkan, tapi dia
bahkan terbukti tampil sebagai partai paling korup. Orang-orangnya secara
serentak ditangkap, diadili, dan dipenjara. Apa yang mau dipilih?
Bulan
lalu kita dibikin pusing untuk memilih terlalu banyak pilihan yang tak
berkualitas, sekarang kita harus memilih dua pilihan.
Dibanding
jumlah pilihan yang begitu banyak bulan lalu, sekarang ini seharusnya kita
tidak merasa sulit dan ruwet. Namun, dua pilihan ini ternyata juga sangat kompleks.
Makin didalami, makin ruwet. Makin ditimbang, makin membuat kita merasa sulit
memutuskan memilih yang mana.
Memilih
yang tegas? Ternyata sekadar tegas tidak cukup. Apalagi kalau tegas itu berarti
keras, galak, kejam, sekejam penguasa Orde Baru yang kita rombak dengan
reformasi.
Di bawah
penguasa yang tidak tegas pun sekarang, kekerasan, sikap galak, ganas dan
kejam, merajalela di mana-mana. Penguasa yang tak tegas membiarkannya.
Bagaimana
kalau pemimpin yang tegas, yang kita pilih itu nanti menganggap kekerasan dan
sikap kejam malah didukung? Bagaimana kalau yang ganas dan kejam malah dianggap
kurang ganas dan kurang kejam?
Media
Partisan
Media,
terutama yang jelas sangat partisan dan tidak malu menjadi partisan, menambah
keruwetan. Media partisan tidak memainkan peran untuk memberi informasi yang
jernih, adil, dan seimbang.
Mereka
“memaksa” dan menjejalkan watak partisan mereka kepada publik, seolah yang
disebut publik itu hanya anak-anak yang mudah ditipu. Meskipun begitu, korban
mereka banyak.
Mereka
menanamkan kedengkian dan memfasilitasi berkembang kekerasan di dalam masyarakat.
Dengan kekuasaannya, media bisa mengubah apa yang “hitam kelam” menjadi lebih
terang. Media partisan itu tidak malu mengubah sejarah tokoh yang dipujanya dan
menista dengan fitnah dan kebohongan, pihak “sana” yang tak mereka sukai.
Dalam
keruwetan, yang sengaja dibikin ruwet seperti ini, siapa berani menjamin pemilu
bebas itu bebas dan yang dianggap “rahasia” itu memang rahasia? Bebas yang
tidak bebas dan rahasia yang sama sekali bukan rahasia itu telah membuat banyak
orang memilih tanpa didasarkan pengetahuan tentang yang dipilih. Orang memilih
karena diprovokasi. Ada bahkan yang diancam.
Tak perlu
lagi dikatakan, betapa banyak orang yang memilih karena dicekoki duit. Siapa
bilang pemilu bebas dan rahasia? Siapa bilang memilih secara demokratis itu
memang demokratis sebagaimana arti kata itu?
Warga
negara, rakyat Indonesia, yang memiliki hati nurani, masih banyak. Media
partisan yang tak tahu malu tadi boleh memprovokasi siang malam. Mereka yang
memiliki hati jernih niscaya tak terpengaruh.
Makin
gencar provokasi media partisan, makin banyak orang yang ragu. Makin gencar
fitnah disebarluaskan, keraguan makin meluas. Orang akhirnya tahu: ojo kuwi:
jangan milih yang itu karena banyak fitnahnya, banyak provokasinya, dan banyak
bohongnya.
Bagaimana
orang yang mengaku beragama bisa dengan tenteram menyebar fitnah ke sana ke
mari tiap hari? Bagaimana orang yang mengaku saleh dan bersih, bisa bergelimang
dengan kepalsuan dan dosa-dosa yang dibuatnya sambil merasa nyaman dan bahagia?
Apa gunanya bicara agama dan membuat agama sebagai platform partai, kalau
tokoh-tokohnya hidup damai dengan sikap bohong serbapalsu? Mana bisa orang
diajak hidup dalam kepalsuan?
Senjata
bisa memakan tuannya sendiri. Pemilih yang diancam tak melawan, diberi data
palsu diam saja, dan ketika diberi uang diterima, tetapi yang dipilih hanya
pilihannya sendiri. Ini menjadi sejenis seni memilih tanpa melawan yang keras.
Seni memilih dengan hati nurani tanpa mau dikotori jiwa-jiwa yang sudah kotor
sejak lama.
Mereka
juga menampilkan seni memilih yang lain: memilih tidak akan memilih calon yang
terlalu jelas seolah hidup di atas panggung drama, diatur-atur, tetapi palsu,
sok murah hati dan ramah, tetapi buatan sutradara. Siapa yang akan mereka
pilih? Ini rahasia. Betul-betul rahasia. Pilihan mereka tak akan jatuh pada
yang palsu. Ini seni memilih yang dipandu hati nurani. []
SINAR
HARAPAN, 18 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar