“Rukun
Agawe Santosa”
Oleh:
Mohamad Sobary
DALAM
tata kehidupan tradisional, ada kearifan lokal rukun agawe santosa. Ini dalil
sosiologis yang telah lama teruji dalam tradisi, bahwa saling menolong membikin
hidup lebih kokoh. Di sana, tanpa dinyatakan, ada semangat memperkuat dukungan,
suatu energi sosial positif, bukan memperkuat rongrongan.
Sebaliknya,
dalam masyarakat modern, khususnya di tengah suasana mencekam menjelang
pemilihan presiden seperti ini, peribahasa itu merupakan suatu ”aspirasi kultural”,
suatu harapan, ekspektasi, dan cita-cita. Di sini rukun agawe santosa dianggap
belum ada.
Kita
ingin dalil itu ada, agar menjadi tombo ati, obat pelipur lara, bagi jiwa
bangsa kita yang sedang terteror oleh kampanye hitam yang begitu masif.
Mencekam
Belum
pernah ada pemilu begitu mencekam seperti sekarang ini. Banyak orang terteror
dan cemas mengikuti perkembangan ”serangan”, ”ancaman”, ”fitnah”, dan apa yang
keji, tetapi seolah ”halal” karena partai-partai agama diam seribu bahasa.
Sebelumnya,
Pemilu 1999, kita dicengkam rasa takut akan terjadi perpecahan bangsa. Barang
siapa tak puas dengan pusat, langsung menyatakan daerahnya akan melepaskan diri
dari negara kesatuan ini. Kita takut, tetapi ancaman rasa takut itu bisa
diredam oleh iklan bagus Garin Nugroho, yang ”menyatukan” kita:
”Inga…inga...inga....” Dan, kita sedikit tersenyum.
Pemilu
sebelumnya tak kalah gawat. Namun, kegawatan tak diancamkan, tak dinyatakan.
Tiap pemilu pada masa Orde Baru yang ada ketegangan diam. Pak Harto dan kaki tangannya
selalu menemukan PKI ”baru”.
Penguasa
Orde Baru selalu tak berkenan kalau ada pihak yang berani melawan. Siapa saja
bisa disebut PKI. Pihak lain dicap gerakan pengacau keamanan, GPK, atau tokoh
negara Islam, dan jenis ini banyak sekali.
Siapa
yang membuat penguasa Orde Baru kurang terhibur, nasibnya jelas: hilang dalam
kegelapan. Dulu, ketakutan merayap pelan, diam-diam, dan terbatas pada mereka
yang punya akses politik pusat. Sekarang, semua orang, tak peduli petani desa,
punya akses ke mana pun.
Maka,
apabila tersebar isu menakutkan, ketakutan tersebar secara terbuka, sangat
cepat, seperti pasar tradisional yang termakan api lalu diganti mal.
Dulu,
ketakutan berkembang melalui bisik-bisik, di ruang tertutup dan terbatas.
Namun, ancaman tetap ancaman. Tak peduli dia bersifat tertutup atau terbuka.
Selebihnya, di zaman Orde Baru, pemilu demi pemilu, berkali-kali, selalu sudah
bisa diketahui hasilnya, bahkan sebelum pemilu dimulai. Apa yang sekarang
disebut quick count dulu tak diperlukan karena mesin politik Orde Baru, Golkar,
lebih tahu berapa puluh persen kemenangan pemerintah.
Seolah
demokratis
Dua kali
pemilu dalam sepuluh tahun terakhir tampil dalam gaya seolah demokratis.
Komisioner KPU dipilih, tetapi pemerintah menyusupkan orangnya. Sekjen KPU
dipilih secara terbuka, tetapi diam-diam yang menang pilihan pemerintah.
Orang
disisipkan ke dalam suatu lembaga untuk melaksanakan agenda rahasia meski
akhirnya akan ketahuan juga.
Partai
”bayi” yang belum bisa bergerak dalam situasi ”tertata” macam itu bisa
memenangi pemilu dengan kejutan besar, mencapai kemenangan sekitar 60 persen.
Ini sangat Orde Baru, kental berbau Pak Harto.
Kita
nyaman kalau tak ikut berpikir dan mau terlibat. Namun, begitu keterlibatan
kita serius, banyak hal menakutkan, banyak yang bisa bikin kita cemas.
Masalahnya, keutuhan dan kesatuan bangsa dipertaruhkan.
Ketika
mulai ada pihak yang menghalalkan segala cara, pertanyaannya kemudian adalah
apa definisi segala cara? Geger-gegeran? Ontran-ontran? Akankah seperti Nero
yang bahagia membakar kota?
Pemilu di
alam demokrasi, dengan para pihak siap menjaga demokrasi, tetapi mengapa timbul
rasa takut yang mengancam kenyamanan rakyat dan kelangsungan hidup demokrasi?
Kedua
pihak bicara, kepemimpinannya buat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun,
dengan apa kita menjaganya kalau baru kampanye pemilu saja sudah lupa dan terpancing
kemarahan yang membahayakan?
Bukan di
atas kertas
Semua
pihak juga merasa siap untuk menang. Kita tahu, dari debat demi debat yang
berlangsung, banyak jawaban hanya berdasarkan common sense yang sama sekali
belum teruji di lapangan. Itu baru omongan di alam cita-cita. Ibaratnya, itu
baru kebenaran di atas kertas.
Padahal,
pemerintahan berjalan bukan di atas kertas. Gagasan yang bagus dan matang pun
masih sering berhadapan dengan gangguan di lapangan.
Jika dua
pasang calon presiden-calon wakil presiden yang bertarung tak mampu
mengendalikan diri, rakyat yang menderita. Ibaratnya, gajah bertarung rumput
terinjak. Gajah bercinta pun rumput terinjak. Rumput itu adalah rakyat, yang
tak punya pilihan selain terinjak.
Pemimpin
macam apa yang membiarkan rakyatnya bagai rumput yang selalu terinjak? Ini
gambaran berkebalikan dengan rukun agawe santosa tadi, yaitu crah agawe bubrah
atau bertikai membuat kehancuran.
Minggu
tenang hendaknya menjadi suatu momentum doa. Apa salahnya jika orang-orang besar
itu di minggu tenang saling mengunjungi dan berdoa bersama. Bukan tentang
kemenangan, bukan tentang siapa yang menang, melainkan tentang keutuhan jiwa
rakyat sehingga mereka hanya bicara NKRI yang belum ideal terwujud.
Dalam doa
itu semua pihak tulus memasrahkan kalah-menang dalam pemilu nanti, mutlak di
tangan Allah. Jangan curang. Jangan culas. Sesekali, apa salahnya kita tak
bicara melulu soal kalah-menang.
Apa
salahnya kita melihat perkara itu dengan cara lain. Kalau ”kalah jadi abu,
menang jadi arang”, siapa yang hendak kita menangkan? Utamakan negeri kita dan
rakyat di dalamnya.
Siapa pun
yang kalah, siapa pun yang menang, yang sebenar-benarnya menjadi pemenang ialah
demokrasi, yang kita jaga dan kita hormati. Syukur pula rakyat juga menang dan
bisa menjadi ”raja” yang dilayani pemerintah, dengan cukup sandang, cukup
pangan, dan cukup harga diri dan kehormatan sebagai bangsa Indonesia.
Minggu
tenang ini menjadi minggu tanpa curiga, tanpa prasangka. Kita rukun. Kita
agawe, membikin, sentosa. []
KOMPAS,
08 Juli 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar