Harapan
atau Hiburan?
Oleh:
Anis Matta
Pengujung
transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup yang
lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia– bahkan
kesabaran–sudah menyurut.
Fase
pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang ditempuh
dengan ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam tahap ini
diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong rakyat, agar
mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang sejati dapat
tercapai. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Pemilu demokratis sudah tiga
kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan pemilu demokratis keempat
dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil.
Kita
telah berusaha merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak
menjadi jalan berputar atau–malah lebih parah–berputar-putar tanpa arah.
Tantangan itulah yang coba dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen
UUD 1945 pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan
mempertegas alasan kehadiran (raison d(raison detre) Negara Kesatuan Republik
Indonesia bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam naungannya.
Dalam
perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan
ekspektasi yang terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara dan
warganya tidak kehabisan tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi karena
janji perbaikan hidup sebagian belum terwujud.
Karena
itu, kita harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan
menghindarkan Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged
transition), di mana nilai dan sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan
sistem baru belum terbangun, atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik
sebagaimana yang dijanjikan.
Jebakan
transisi berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah kebuntuan
situasi sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis
tujuan.
Demokrasi
“Media-Sentris”
Kita
tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran
penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah
menghablurkan batas antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang
kita serap dari media. Hari ini orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa
bercerita tentang macetnya Jakarta akibat pengetahuan yang diserapnya dari
media.
Ini juga
yang mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena
media tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan
hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian media David
Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening tembus pandang
untuk melihat “dunia”, namun menghadirkan sebuah “dunia” dalam versi yang telah
dimediasi.
Media
bukan menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga
kita beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak di
luar akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama
televisi/tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif
yang semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan umum.
Penonton
yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi berdaya
karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh politik
yang diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan yang
naskahnya didiktekan oleh massa rakyat melalui survei opini publik. Dalam
situasi “media-sentris” seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk menjadi penghibur
bagi penonton.
Tokoh-tokoh
politik menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu
pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda makna
dan motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
keliling Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau
memberi tumpangan kepada seorang mbok pasar.
Ketika
sampai di pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya tumpangan
adalah Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media yang meliput,
tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik, nyata, bukan
pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun kemudian melalui buku
Takhta Untuk Rakyat.
Karena
dikendalikan dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak
untuk menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak terelakkan
karena dalam demokrasi media-sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound
byte menjadi indikator utama. Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah
dan berdimensi tunggal agar mudah diingat tanpa elaborasi yang mendalam.
Gagasan
Pemimpin
Di tengah
arus media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan pemimpin
secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan budaya
instan berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat kita tertawa
sejenak meskipun masalah tetap menggunung.
Pemimpin
penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan
adalah keceriaan sesaat tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin
penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari
ini. Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari
tontonan lain yang lebih menghibur.
Mirip logika
rating dalam industri sinetron. Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur
atau pemimpin sinetron. Kita sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah
bersiap untuk naik kelas dari negara skala menengah menjadi negara kuat dalam
ukuran ekonomi dan pengaruh geopolitik.
Kondisi
itu akan tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan
menghasilkan negara bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah
pemimpin penyala harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih
baik akan datang jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawa-tawa
sejenak.
Peran
penting pemimpin adalah menciptakan “state of mind” atau situasi psikologis di
dalam masyarakatnya dengan cara melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang
menggerakkan orang dari kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama
yang lebih tinggi. (JW Gardner, 1988).Kita membutuhkan lebih banyak ruang lagi
untuk mendengarkan gagasan pemimpin untuk mendapat harapan, bukan hiburan. []
KORAN
SINDO, 19 Juni 2014
Anis Matta ; Presiden Partai Keadilan Sejahtera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar