Puasa
Ramadan Hikmah Menjelang Pilpres
Oleh:
Azyumardi Azra
“Hai,
orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.“
(QS Al
Baqarah/2: 183)
“Puasa
itu setengah kesabaran. Kesabaran itu setengah iman.“
(Hadis riwayat
Tirmidzi, Abu Na'im, dan Abu Mas'ud)
IBADAH
puasa wajib sepanjang Ramadan ialah salah satu ben tuk jihad akbar, jihad yang
sebesar-besarnya. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya,
jihad yang sesungguhnya bagi umat Islam ialah jihad melawan hawa nafsu dalam
diri. Perang fisik di medan perang melawan musuh yang agresif demi membela
agama Allah dan mempertahankan kehidupan kaum muslimin disebutkan hanyalah
jihad asghar, jihad kecil.
Kenapa
demikian? Tidak lain karena puasa pada intinya merupakan ibadah untuk
pengendalian diri dari hawa nafsu yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia.
Hawa nafsu itu mencakup syahwat jasmaniah berupa seks, makan dan minum, syahwat
memiliki harta benda, dan meraih kekuasaan politik yang biasa juga disebut di
Tanah Air Indonesia sebagai syahwat politik.
Jihad
menuju takwa
Jihad
diri melawan berbagai macam hawa nafsu bertujuan mencapai derajat takwa, yang
merupakan salah satu tingkat spiritualitas keislaman yang tertinggi. Ibadah
puasa wajib Ramadan ialah salah satu cara paling pokok untuk mencapai derajat
takwa tersebut. Berbagai ibadah sepanjang Ramadan yang dikerjakan dengan ikhlas
dan sabar bisa membentuk manusia bertakwa, seperti dikemukakan ayat Alquran,
bahwa puasa bertujuan `agar kamu bertakwa' (QS Al-Baqarah/2:183).
Kata
`takwa' banyak disebut dalam ayat Alquran yang sering diartikan sebagai `takut
kepada Allah'; tetapi bukan takut dalam arti biasa. Orangorang yang `takut'
kepada Allah (al-muttaqun) sering diidentikkan dengan mereka yang menegakkan
amar ma'ruf dan nahy munkar (melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya).
Karena itu, Maulana Muhammad Ali, misalnya, dalam tafsir The Holy Quran,
mengartikan almuttaqun sebagai `orang-orang yang memenuhi kewajiban, menjaga
diri dan terpelihara dirinya dari kejahatan'.
Kata
al-muttaqun berasal dari kata waqa, yang berarti `menyelamatkan, menjaga, atau
melindungi'. Dengan kata lain, al-muttaqun berarti `orang yang menghormati atau
menepati kewajiban; orang yang menjaga diri dari kejahatan'; dan `orang yang
berhati-hati'. Makna almuttaqun ini sejalan dengan esensi puasa, yaitu
mengendalikan diri dari berbagai bentuk hawa nafsu lahir dan batin. Karena itu,
bila orang berpuasa dengan sungguh-sungguh, ia bakal dapat mengendalikan diri,
yang merupakan salah satu ciri pokok orang bertakwa.
Mereka
yang bertakwa sekaligus memiliki kesehatan lahir dan batin. Hati yang sehat
akan dipenuhi cahaya ketakwaan, kesabaran, kejujuran dan ketaatan.
Alquran
memberi petunjuk, untuk menjaga hati agar tetap bersih bagaikan cermin yang
berkilau, seseorang harus banyak mengingat (dzikir) kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram (QS Al-Ra'd/13: 28).“
Namun,
karena bisikan dan godaan hawa nafsu, orang kadang dan bahkan sering lalai
mengingat Allah, yang dapat menjadikan hatinya jauh daripada bersih, baik, dan
tenteram. Ia tidak mampu mengendalikan diri dari nafsu setan yang mengotori
hatinya. Lupa kepada Allah memberi kesempatan kepada hawa nafsu dan setan
menaburkan kotoran dan penyakit ke dalam hatinya. Kotoran atau penyakit hati,
seperti dendam, dengki, durhaka, durjana, bohong, khianat, tipu daya, dan
angkuh, semakin mempertebal keburukan di dalam hatinya.
Ketidaksabaran
jelang pilpres
Ibadah
puasa juga merupakan latihan kesabaran. Inilah mutiara kehidupan yang agaknya
sudah mulai pudar dari diri manusia-manusia di Tanah Air tercinta ini.
Ketidaksabaran merajalela dalam masyara kat kita dan tampaknya su lit diatasi.
Ketidaksabaran membuat memudarnya keadaban publik (public civility) sehingga
yang terlihat hanyalah manusia-manusia yang hanya memperturutkan hawa nafsu;
menempuh jalan pintas un tuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.
Menjelang
pilpres 9 Juli 2014 ketidaksabaran misalnya terlihat dari syah wat politik ber
nyala-nyala untuk mem perebutkan dukungan massa yang kemudian diharapkan
memberikan suara pada waktu mencoblos nanti. Karena ketidaksabaran, berbagai
cara yang melanggar ajaran agama, ketentuan hukum, dan keadaban publik
dipertontonkan secara telanjang. Kampanye hitam yang berisi fitnah (smear
campaign) merajalela di mana-mana melalui bermacam media. Fenomena semacam itu
tidak lain hanya mencemarkan demokrasi dan mencederai kehidupan berbangsa dan
bernegara, yang bisa menimbulkan luka sosial-politik dalam masyarakat.
Tanpa
kesabaran, yang ada hanyalah kerugian baik secara pribadi maupun
bernegara-berbangsa. Kerugian bisa datang sekarang juga atau datang belakangan
yang menghasilkan penyesalan. Padahal, Allah SWT memperingatkan di dalam
Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang beriman dan beramal saleh, dan saling mengingatkan (menasihati)
tentang kebenaran dan kesabaran (QS Al-'Ashr/103:1-3).“
Kesabaran
diperlukan tidak hanya dalam amar ma'ruf dan nahy munkar, tapi juga dalam
mewujudkan kebenaran. Kebenaran, kebaikan, dan perubahan (islah) yang ingin
diwujudkan melalui kekuasaan tidak dengan sendirinya membolehkan ketidaksabaran
yang bertentangan dengan kebenaran dan kebaikan.
Puasa
adalah latihan mengendalikan dan menguasai diri untuk membangun kesabaran.
Ibadah puasa dengan esensi pengendalian diri dapat mengantarkan seseorang untuk
terbiasa dengan kesa baran. Setiap hari dalam bu lan puasa merupakan latihan
pengendalian terhadap hawa nafsu dan insting angkara murka yang inheren dalam
eksistensi manusia yang menjadi pusat ketidak sabaran.
Dorongan
hawa nafsu dan insting yang bisa begitu kuat dan tidak terkendali dalam diri
manusia, menurut Profesor Ismail al-Faruqi dari Temple University, dapat
mengganggu stabilitas individu dan sosial. Karena itu, hawa nafsu merupakan
entitas paling sensitif dalam kehidupan manusia, yang mesti dikendalikan; jika
tidak, dapat menjadi ancaman bagi individu dan masyarakat.
Sebab
itu, kebebasan tanpa batas bagi hawa nafsu hanya mendatangkan kerusakan dan
bencana bagi umat manusia. Kebebasan yang kebablasan sering kali tidak bisa
dikendalikan dan berujung pada kekacauan dan anarki; akibatnya, dapat
menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Filsuf sosial, sosiolog, dan
psikoanalisis semacam Karl Marx, Sigmund Freud, dan Erich Fromm telah
mengemukakan berbagai teori tentang hawa nafsu dan insting tersebut.
Islam
tidak melarang pemenuhan hawa nafsu dan insting secara halal.
Sebab
itu, asketisme--menjauhi dan membatasinya secara amat ketat-tidak dibenarkan
dalam Islam. Sebaliknya, Islam juga tidak membenarkan kebebasan hawa nafsu
tanpa batas. Islam mengajarkan pengendalian; hawa nafsu seks dikendalikan
melalui perkawinan sah, dan hawa nafsu makan minum dikendalikan--antara
lain--dengan prinsip `berhentilah makan sebelum kamu kenyang' (hadis Nabi
Muhammad SAW.)
Lebih
dari itu, pengendalian hawa nafsu dan insting dapat dilakukan secara efektif
melalui puasa. Dengan puasa, sejak imsak sampai iftar (berbuka), kaum muslimin
dilatih mengendalikan hawa nafsunya. Kaum muslimin diperintahkan melakukan
distansi terhadap hawa nafsu. Dengan distansi, mereka sekaligus berkesempatan
melakukan refleksi diri (self-reflection) yang dapat menghasilkan pencerahan
dan kebangkitan rohani (spiritual enlightenment).
Puasa
dengan demikian dapat melahirkan manusia-manusia yang secara rohani telah
tercerahkan. Mereka yang telah tercerahkan mampu melihat dunia dengan perasaan
optimistis, lebih tawakkul, percaya kepada kasih Tuhan, yang tidak akan
membiarkan manusia dalam kenestapaan yang seolah-olah tanpa ujung. Dengan
manusia yang tercerahkan akan lebih memiliki kesabaran dalam melakukan upaya
untuk meraih kekuasaan.
Di tengah
hiruk pikuk kampanye yang terus cenderung kebablasan (out of control) sekarang
ini, filsafat puasa memberikan perspektif sangat dalam dan bermakna. Perspektif
itu, menurut Annema rie Schimmel, ahli dan otoritas tasawuf, akan membawa
muslim untuk takhalaqu bi akhlaq Allah, bertingkah laku dan berakhlak dengan
akhlak Tuhan; akhlak yang penuh kesempurnaan.
Kesabaran,
sebagai salah satu akhlak Tuhan, seharusnya dimiliki setiap dan seluruh orang
berpuasa; dan kesabaran sangat dibutuhkan dalam masa menjelang pilpres 9 Juli
yang tinggal beberapa hari lagi.
Pengendalian
diri yang dilatih melalui ibadah puasa Ramadan dapat mengantarkan kaum muslimin
kepada sikap dan perilaku kesabaran yang merupakan salah satu akhlak Allah.
Kesabaran seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad di atas, bahkan dinyata
kan sebagai separuh dari keimanan.
Dengan
demikian, ke sabaran yang dicapai me lalui ibadah puasa, dapat mengangkat
tingkat keimanan seseorang. Kesabaran juga dapat menolong pemimpin atau mereka
yang ingin menjadi pemimpin puncak negara ini untuk menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan berbangsa dan bernegara baik pramaupun pascaterpilihnya
kepemimpinan nasional baru dalam pilpres 9 Juli 2014. Sekali lagi, jika
ketidaksabaran yang menguasai mereka, niscaya hanyalah kenestapaan yang akan
melanda negara-bangsa Indonesia. Wallâhu a'lam bish-shawab. []
MEDIA
INDONESIA, 30 Juni 2014
Azyumardi Azra ; Guru Besar Sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta Laurate Fukuoka Prize 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar