Penyelundup BBM itu
Juga Koruptor
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
PENYELUNDUPAN bahan bakar minyak (BBM) adalah indikator atau penjelasan versi lain tentang birokrasi yang korup. Aneh, karena baik pemerintah maupun penegak hukum selama ini tak berdaya menyikapi persoalan yang satu ini. Sudah tumbuh kesan bahwa penyelundupan BBM konspiratif alias korupsi berjamaah. Mudah-mudahan, presiden terpilih peduli masalah ini.
Soalnya, kalau diakumulasi, total kerugian negara dari penyelundupan BBM sangatlah besar. Mencapai bilangan belasan hingga puluhan triliunan rupiah per tahunnya. Ekses lainnya adalah tekanan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang luar biasa, apalagi kalau dikaitkan dengan penyelundupan BBM bersubsidi.
Ketika pemerintah dan DPR meradang karena pagu subsidi BBM berpotensi terlampaui alias nyaris jebol, yang dijadikan kambing hitam adalah peningkatan volume atau gelembung konsumsi masyarakat. Argumentasi ini, selain tak berdasar atau ngawur, juga tak lebih dari pembelaan diri untuk menutupi kegagalan. Ada dua penyebab gelembung BBM bersubsidi. Pertama, kegagalan manajemen pemerintah mendistribusikan BBM bersubsidi ke sasaran yang tepat. Kedua, tingginya intensitas penyelundupan BBM, termasuk BBM bersubsidi. Itu sebabnya, antrian konsumen di SPBU menjadi pemandangan rutin di sejumlah kota kabupaten.
Lalu, sebelum pagu subsidi benar-benar terlampaui, digagaslah penambahan pagu subsidi. Ini adalah jalan pintas mengatasi masalah karena pemerintah tak mampu mendistribusi subsidi ke sasaran yang tepat. Mudah ditebak bahwa pemerintah dan DPR ujung-ujungnya bersepakat menambah anggaran subsidi.
Banyak kalangan sudah lama curiga bahwa mekanisme Ini seperti modus konspiratif atau korupsi berjamaah. Sebab, di satu sisi pemerintah dan penegak hukum cenderung minimalis atau melakukan pembiaran terhadap penyelundupan BBM yang nyaris sudah menjadi sebuah rutinitas di lapangan. Dan, di sisi lain, pemerintah serta DPR berulang-ulang menempuh cara pintas untuk mengatasi jebolnya pagu subsidi BBM di APBN-P.
Mengapa konspirasi penyelundupan BBM itu tak pernah jera? Logika atau alur berpikir konspirasi itu sederhana dan mudah dipahami. Mereka terus mencuri atau menyelundupkan BBM bersubsidi. Toh, sebelum pagu BBM bersubsidi jebol, pemerintah akan berinisiatif mengajak DPR untuk menambah subsidi BBM. Konspirasi itu sangat yakin bahwa Pemerintah dan DPR tak berani membiarkan stok BBM bersubsidi habis. Sebab, kalau risiko itu yang diambil, pemerintah dan DPR akan berhadapan dengan rakyat yang sudah pasti sangat marah.
Contoh terbaru bisa disimak pada APBN-P 2014. Baru-baru ini, Pemerintah dan Panitia Kerja RAPBN-P 2014 Badan Anggaran DPR bersepakat menaikkan anggaran subsidi BBM tahun 2014 menjadi Rp 246,494 triliun. Dengan volume yang disepakati dalam APBN-P itu, subsidi BBM 2014 ditambah sebesar Rp Rp 35,759 triliun dari sebelumnya Rp 210,735 triliun.
Jadi, pagu subsidi BBM di APBN sudah dicuri sehingga harus ditambah agar rakyat tidak marah. Dan, pagu tambahan subsidi BBM dalam APBN-P pun dicuri lagi, sehingga antrian konsumen di SPBU pada sejumlah daerah selalu terjadi. Agar warga setempat tidak marah, dikemukakan alasan tentang masalah angkutan atau gangguan cuaca. Padahal, persoalan sebenarnya adalah alokasi untuk daerah bersangkutan boleh jadi sudah sangat tipis karena sebagian jatah daerah itu sudah diselundupkan atau dicuri. Terpaksa, jatah distribusi harian untuk daerah itu dikurangi. Maka, konsumen pun harus antri panjang untuk bisa mendapatkan satu-dua liter bensin premium atau solar.
Siapa saja yang menikmati hasil dari penyelundupan BBM itu? Mereka adalah oknum birokrat dari sejumah institusi lintas sektoral. Dan, sudah barang tentu wewenang para oknum itu berkait langsung dengan tata kelola pengadaan, pendistribusian, pengawasan dan pengamanan BBM bersubsidi. Kalau para oknum itu tidak menikmati untung, penyelundupan BBM tak akan menjadi sebuah rutinitas.
Di permukaan, tampak bahwa pengawasan atas pendistribusian BBM memang difungsikan, tetapi pengawasan itu sengaja dibuat tidak efektif. Begitu juga dengan pengamanan dalam distribusi BBM. Pokoknya, hampir semua fungsi satuan kerja sengaja tidak dibuat efektif agar para oknum itu bisa mendapatkan bagian dari pencurian atau penyelundupan BBM itu.
Tipikor
Baru-baru ini, Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, bersama pihak terkait lainnya menggagalkan usaha penyelundupan minyak mentah dan BBM dari kapal MT Jelita Bangsa. Kapal yang disewa PT Pertamina itu memuat minyak mentah 59.888 metrik ton bernilai Rp 450 miliar. Mungkin karena nilainya itu, beberapa kalangan melukiskan kasus penyelundupan BBM ini sebagai yang terbesar dalam sejarah. Tetapi, tangkapan besar ini bukanlah sebuah kejutan.
Memang, keberhasilan menangkal penyelundupan BMM ini patut diapresiasi. Namun, beberapa pihak curiga bahwa pelakunya kemungkinan coba bermain sendiri, atau tidak berkonspirasi dengan para oknum yang selama ini berwenang mengatur, mengawasi dan mengamankan aksi-aksi penyelundupan itu. Kalau pelakunya kooperatif dan mau berkonspirasi, bukan tidak mungkin penyelundupan itu akan berlangsung mulus. Bukankah seperti itu metode kerja mafia?
Penyelundupan BBM idealnya dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor) karena merugikan negara. Bahkan penyelundupan BBM bersubsidi memenuhi unsur Tipikor karena subsidi BBM untuk rakyat dibiayai dengan APBN. Ia adalah proyek subsidi BBM. Maka, penyelundupan BBM bersubsidi praktis sama dan sebangun dengan kasus-kasus yang bernuansa manipulasi proyek-poryek APBN. Dengan begitu, tambahan pagu subsidi BBM dalam APBN-P pun bukan tidak mungkin berlatarbelakang rekayasa penggelembungan atau mark up.
Karena itu, institusi Penegak harus memberi respons maksimal terhadap konspirasi penyelundupan BBM. Jika terus minimalis seperti selama ini, masyarakat akan curiga bahwa oknum pimpinan institusi penegak hukum menjadi bagian dari konspirasi itu.
Masyarakat sudah meyakini bahwa ada konspirasi besar yang mengotaki penyelundupan BBM selama ini. Ada beberapa indikasi mengenai konspirasi itu. Pertama, para pelaku tak pernah jera sehingga penyelundupan terus terjadi. Kedua, pelaku yang tertangkap hanya didenda, dan tak pernah diganjar sanski pidana. Ketiga, identitas penyelundup tak pernah dipublikasikan.
Kalau penegak hukum responsif, kasus kapal MT Jelita Bangsa itu layak dijadikan momentum mengungkap konspirasi penyelundupan BBM itu. Sebaliknya, jika minimalis seperti selama ini, kasus besar ini akan segera dilupakan. Para pelakunya hanya diganjar sanksi denda, dan setelah itu persoalan dianggap selesai. Dengan respons yang begitu minimalis, bisa dipastikan bahwa penyelundupan BBM akan terus terjadi.
Rutinitas penyelundupan BBM sudah mempermalukan pemerintah dan institusi penegak hukum. Penyelundupan BBM sudah berlangsung tahunan dengan total kerugian negara yang sangat besar, tetapi pemerintah dan penegak hukum tak mampu mengatasinya. Karena itulah masyarakat meyakini penyelundupan BBM dilakukan oleh konspirasi yang melibatkan oknum birokrat lintas sektoral.
Pertamina mengaku punya catatan tentang 89 anak buah kapal (ABK) yang sudah masuk 'daftar hitam' (blacklist) karena upaya melakukan penyelundupan. Sebagian besar ABK yang masuk daftar hitam itu adalah nahkoda dari kapal yang disewa Pertamina dan berbendara Indonesia.
Daftar hitam versi Pertamina tentang perilaku 89 ABK itu bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum mendalami masalah penyelundupan BBM. Bagaimana pun, upaya membongkar sekaligus mereduksi penyelundupan BBM harus dimulai. Mudah-mudahan pemerintah baru peduli masalah ini. Sebab, memerangi penyelundupan BBM bersubsidi berkorelasi langung dengan upaya menyehatkan APBN.
Dan, karena ada muatan Tipikor dalam kasus-kasus penyelundupan BBM bersubsidi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendaknya juga mulai menyentuh masalah ini. []
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
PENYELUNDUPAN bahan bakar minyak (BBM) adalah indikator atau penjelasan versi lain tentang birokrasi yang korup. Aneh, karena baik pemerintah maupun penegak hukum selama ini tak berdaya menyikapi persoalan yang satu ini. Sudah tumbuh kesan bahwa penyelundupan BBM konspiratif alias korupsi berjamaah. Mudah-mudahan, presiden terpilih peduli masalah ini.
Soalnya, kalau diakumulasi, total kerugian negara dari penyelundupan BBM sangatlah besar. Mencapai bilangan belasan hingga puluhan triliunan rupiah per tahunnya. Ekses lainnya adalah tekanan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang luar biasa, apalagi kalau dikaitkan dengan penyelundupan BBM bersubsidi.
Ketika pemerintah dan DPR meradang karena pagu subsidi BBM berpotensi terlampaui alias nyaris jebol, yang dijadikan kambing hitam adalah peningkatan volume atau gelembung konsumsi masyarakat. Argumentasi ini, selain tak berdasar atau ngawur, juga tak lebih dari pembelaan diri untuk menutupi kegagalan. Ada dua penyebab gelembung BBM bersubsidi. Pertama, kegagalan manajemen pemerintah mendistribusikan BBM bersubsidi ke sasaran yang tepat. Kedua, tingginya intensitas penyelundupan BBM, termasuk BBM bersubsidi. Itu sebabnya, antrian konsumen di SPBU menjadi pemandangan rutin di sejumlah kota kabupaten.
Lalu, sebelum pagu subsidi benar-benar terlampaui, digagaslah penambahan pagu subsidi. Ini adalah jalan pintas mengatasi masalah karena pemerintah tak mampu mendistribusi subsidi ke sasaran yang tepat. Mudah ditebak bahwa pemerintah dan DPR ujung-ujungnya bersepakat menambah anggaran subsidi.
Banyak kalangan sudah lama curiga bahwa mekanisme Ini seperti modus konspiratif atau korupsi berjamaah. Sebab, di satu sisi pemerintah dan penegak hukum cenderung minimalis atau melakukan pembiaran terhadap penyelundupan BBM yang nyaris sudah menjadi sebuah rutinitas di lapangan. Dan, di sisi lain, pemerintah serta DPR berulang-ulang menempuh cara pintas untuk mengatasi jebolnya pagu subsidi BBM di APBN-P.
Mengapa konspirasi penyelundupan BBM itu tak pernah jera? Logika atau alur berpikir konspirasi itu sederhana dan mudah dipahami. Mereka terus mencuri atau menyelundupkan BBM bersubsidi. Toh, sebelum pagu BBM bersubsidi jebol, pemerintah akan berinisiatif mengajak DPR untuk menambah subsidi BBM. Konspirasi itu sangat yakin bahwa Pemerintah dan DPR tak berani membiarkan stok BBM bersubsidi habis. Sebab, kalau risiko itu yang diambil, pemerintah dan DPR akan berhadapan dengan rakyat yang sudah pasti sangat marah.
Contoh terbaru bisa disimak pada APBN-P 2014. Baru-baru ini, Pemerintah dan Panitia Kerja RAPBN-P 2014 Badan Anggaran DPR bersepakat menaikkan anggaran subsidi BBM tahun 2014 menjadi Rp 246,494 triliun. Dengan volume yang disepakati dalam APBN-P itu, subsidi BBM 2014 ditambah sebesar Rp Rp 35,759 triliun dari sebelumnya Rp 210,735 triliun.
Jadi, pagu subsidi BBM di APBN sudah dicuri sehingga harus ditambah agar rakyat tidak marah. Dan, pagu tambahan subsidi BBM dalam APBN-P pun dicuri lagi, sehingga antrian konsumen di SPBU pada sejumlah daerah selalu terjadi. Agar warga setempat tidak marah, dikemukakan alasan tentang masalah angkutan atau gangguan cuaca. Padahal, persoalan sebenarnya adalah alokasi untuk daerah bersangkutan boleh jadi sudah sangat tipis karena sebagian jatah daerah itu sudah diselundupkan atau dicuri. Terpaksa, jatah distribusi harian untuk daerah itu dikurangi. Maka, konsumen pun harus antri panjang untuk bisa mendapatkan satu-dua liter bensin premium atau solar.
Siapa saja yang menikmati hasil dari penyelundupan BBM itu? Mereka adalah oknum birokrat dari sejumah institusi lintas sektoral. Dan, sudah barang tentu wewenang para oknum itu berkait langsung dengan tata kelola pengadaan, pendistribusian, pengawasan dan pengamanan BBM bersubsidi. Kalau para oknum itu tidak menikmati untung, penyelundupan BBM tak akan menjadi sebuah rutinitas.
Di permukaan, tampak bahwa pengawasan atas pendistribusian BBM memang difungsikan, tetapi pengawasan itu sengaja dibuat tidak efektif. Begitu juga dengan pengamanan dalam distribusi BBM. Pokoknya, hampir semua fungsi satuan kerja sengaja tidak dibuat efektif agar para oknum itu bisa mendapatkan bagian dari pencurian atau penyelundupan BBM itu.
Tipikor
Baru-baru ini, Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, bersama pihak terkait lainnya menggagalkan usaha penyelundupan minyak mentah dan BBM dari kapal MT Jelita Bangsa. Kapal yang disewa PT Pertamina itu memuat minyak mentah 59.888 metrik ton bernilai Rp 450 miliar. Mungkin karena nilainya itu, beberapa kalangan melukiskan kasus penyelundupan BBM ini sebagai yang terbesar dalam sejarah. Tetapi, tangkapan besar ini bukanlah sebuah kejutan.
Memang, keberhasilan menangkal penyelundupan BMM ini patut diapresiasi. Namun, beberapa pihak curiga bahwa pelakunya kemungkinan coba bermain sendiri, atau tidak berkonspirasi dengan para oknum yang selama ini berwenang mengatur, mengawasi dan mengamankan aksi-aksi penyelundupan itu. Kalau pelakunya kooperatif dan mau berkonspirasi, bukan tidak mungkin penyelundupan itu akan berlangsung mulus. Bukankah seperti itu metode kerja mafia?
Penyelundupan BBM idealnya dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor) karena merugikan negara. Bahkan penyelundupan BBM bersubsidi memenuhi unsur Tipikor karena subsidi BBM untuk rakyat dibiayai dengan APBN. Ia adalah proyek subsidi BBM. Maka, penyelundupan BBM bersubsidi praktis sama dan sebangun dengan kasus-kasus yang bernuansa manipulasi proyek-poryek APBN. Dengan begitu, tambahan pagu subsidi BBM dalam APBN-P pun bukan tidak mungkin berlatarbelakang rekayasa penggelembungan atau mark up.
Karena itu, institusi Penegak harus memberi respons maksimal terhadap konspirasi penyelundupan BBM. Jika terus minimalis seperti selama ini, masyarakat akan curiga bahwa oknum pimpinan institusi penegak hukum menjadi bagian dari konspirasi itu.
Masyarakat sudah meyakini bahwa ada konspirasi besar yang mengotaki penyelundupan BBM selama ini. Ada beberapa indikasi mengenai konspirasi itu. Pertama, para pelaku tak pernah jera sehingga penyelundupan terus terjadi. Kedua, pelaku yang tertangkap hanya didenda, dan tak pernah diganjar sanski pidana. Ketiga, identitas penyelundup tak pernah dipublikasikan.
Kalau penegak hukum responsif, kasus kapal MT Jelita Bangsa itu layak dijadikan momentum mengungkap konspirasi penyelundupan BBM itu. Sebaliknya, jika minimalis seperti selama ini, kasus besar ini akan segera dilupakan. Para pelakunya hanya diganjar sanksi denda, dan setelah itu persoalan dianggap selesai. Dengan respons yang begitu minimalis, bisa dipastikan bahwa penyelundupan BBM akan terus terjadi.
Rutinitas penyelundupan BBM sudah mempermalukan pemerintah dan institusi penegak hukum. Penyelundupan BBM sudah berlangsung tahunan dengan total kerugian negara yang sangat besar, tetapi pemerintah dan penegak hukum tak mampu mengatasinya. Karena itulah masyarakat meyakini penyelundupan BBM dilakukan oleh konspirasi yang melibatkan oknum birokrat lintas sektoral.
Pertamina mengaku punya catatan tentang 89 anak buah kapal (ABK) yang sudah masuk 'daftar hitam' (blacklist) karena upaya melakukan penyelundupan. Sebagian besar ABK yang masuk daftar hitam itu adalah nahkoda dari kapal yang disewa Pertamina dan berbendara Indonesia.
Daftar hitam versi Pertamina tentang perilaku 89 ABK itu bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum mendalami masalah penyelundupan BBM. Bagaimana pun, upaya membongkar sekaligus mereduksi penyelundupan BBM harus dimulai. Mudah-mudahan pemerintah baru peduli masalah ini. Sebab, memerangi penyelundupan BBM bersubsidi berkorelasi langung dengan upaya menyehatkan APBN.
Dan, karena ada muatan Tipikor dalam kasus-kasus penyelundupan BBM bersubsidi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendaknya juga mulai menyentuh masalah ini. []
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network
Tidak ada komentar:
Posting Komentar