Jerman
Lawan Jerman
Oleh:
Sindhunata
MALAM ini
di Recife, Brasil, dunia sepak bola bakal disuguhi duel dua pelatih Jerman,
Joachim Loew dan Juergen Klinsmann. Klinsmann adalah pelatih Jerman pada Piala
Dunia 2006 dan Loew adalah asistennya saat itu.
Publik
bola ingat betapa rukun dan kompak mereka berdua. Keduanya muda, modis, dan
trendi. Keduanya sering berangkulan, lebih-lebih ketika mengamati pemain asuhan
mereka harus mengeksekusi tendangan yang menegangkan dan menentukan.
Sesungguhnya
sekarang Klinsmann dan Loew tidak perlu tegang. Dibandingkan Ghana, apalagi
Portugal, Amerika Serikat asuhan Klinsmann dan Jerman yang ditangani Loew
berada dalam posisi yang sangat aman. Jika mau, cukup dengan bermain seri dalam
duel malam ini AS dan Jerman bisa sama-sama melenggang ke babak 16 besar Piala
Dunia Brasil 2014 sebagai wakil Grup G.
Apakah
mereka berdua tidak tergoda untuk bermain mata?
Pertanyaan
di atas sempat diramaikan oleh kalangan pers Jerman. Alasannya, Jerman tidak
sebersih seperti yang dikira orang. Mereka pernah bermain licik dan melanggar
”moral bola”. Itulah noda yang dikenang sebagai die Schande von Giyon atau aib
dari Giyon.
Waktu
itu, di Giyon terjadi penentuan dalam babak penyisihan Grup B Piala Dunia 1982.
Aljazair sudah menekuk Jerman, 2-1, kalah dari Austria, 0-2, dan menang atas
Cile, 3-2. Bagi Aljazair, babak berikutnya sudah di ambang mata. Jerman harus
menang atas Austria, sedangkan Austria tidak boleh kalah lebih dari 2 gol. Jika
skenario ini berjalan, Jerman dan Austria akan lolos dengan mengusir Aljazair
pulang secara mengenaskan.
Disengaja
atau tidak, ternyata skenario itu sungguh terbaca di lapangan. Pada menit
ke-11, gelandang Jerman, Horst Hrubesch, berhasil menyarangkan gol ke gawang
Austria. Penonton berharap pertandingan akan berjalan seru. Ternyata dalam 80
menit tersisa tidak kelihatan bahwa, baik Jerman maupun Austria, berniat
bermain bola. Mereka hanya main-main. Jelas mereka hanya ingin mempertahankan
skor 0-1 untuk kemenangan Jerman sampai akhir pertandingan.
Stadion
Giyon menjadi gelanggang caci maki. Penonton bersuit-suit, jengkel. Suporter
Aljazair gemas dan geram. Mereka mengacung-acungkan lembaran mata uang seakan
hendak mengatakan, Jerman dan Austria adalah ”koruptor bola”. Komentator
stasiun televisi Jerman, ARD, Eberhard Stanjek, menyebut laga itu sebagai aib.
Koleganya dari televisi Austria, Robert Seeger, menganjurkan sebaiknya penonton
di rumah mematikan saja televisi mereka.
Media-media
di luar Jerman dan Austria mengecam dengan kasar aksi bola yang tidak terpuji
itu. De Telegraaf dari Belanda mencaci peristiwa Giyon itu sebagai ”sepak bola
porno yang menjijikkan”. La Gazzetta dello Sport dari Italia mengejeknya
sebagai ”sebuah lelucon yang menyakitkan”. Dan, koran Perancis, Liberation,
mencela sambil mengingatkan bahaya dari ”amoral bola” itu, ”Jika orang-orang
Aljazair menuduh itu rasialisme, tuduhan mereka tidaklah keliru.”
Akankah
”aib dari Giyon” tersebut terulang di Recife? ”Tidak mungkin!” bantah Klinsmann
dengan tegas.
Saat
peristiwa Giyon terjadi, Klinsmann baru berusia 17 tahun. Dia mengatakan sama
sekali tidak punya urusan dengan peristiwa Giyon. Karena itu, tak mungkin dia
dan Loew bersepakat untuk membuat ”pakta tidak saling menyerang”. ”Kami datang
ke Recife hanya dengan satu tujuan, yakni mengalahkan Jerman,” kata mantan
pelatih Jerman itu, seperti dikutip Suddeutsche Zeitung, kemarin.
Kekuatan
moral
Joachim
Loew, mantan asisten Klinsmann yang kini pelatih Jerman, juga terang-terangan
menyatakan tidak mau mengalah. Bagi Loew, kemenangan atas AS adalah mutlak.
Sebab, kemenangan itu bisa menguatkan moral untuk pertandingan selanjutnya.
”Apa yang
ada di kepala kami akan memengaruhi kelakuan kami,” kata Loew. Karena itu, Loew
menjaga agar jangan sampai keraguan ataupun kekhawatiran hinggap di kepala
anak-anak asuhannya.
Bola
adalah bagian dari kultur. Maka, mengalahkan AS lewat bola juga akan menambah
superioritas kultur Jerman terhadap AS. Sebab, menurut pengarang buku Planet
Germany, Eric T Hansen, Jerman mempunyai kompleks rasa minder terhadap AS.
Menurut Hansen, penulis satir AS yang lama hidup di Jerman, kompleks itu
berhubungan dengan dihancurkannya Jerman oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia
II.
Koloni AS
Sejak
saat itu, Jerman merasa menjadi koloni AS dan orang-orang Jerman merasa AS
telah menghancurkan kultur mereka. ”Semua yang jelek datang dari AS,” begitu
orang Jerman meratapi nasibnya.
Apabila
kompleks itu dibiarkan, orang-orang Jerman bisa menderita psychose. Karena itu,
kata Hansen, orang Jerman harus memupuk kesadaran diri dan merasa dirinya
sebagai bangsa yang sederajat dengan AS.
”Mereka
harus berhenti meratap dan berani berkata, ’selesai dengan Amerika’,” tulis
Hansen dalam Zeit online menjelang pertemuan Jerman dan AS di Recife nanti.
”Selesai
dengan Amerika,” itulah tekad Loew dengan sepak bolanya. Memang dengan bola
Jerman juga bisa mengangkat harga dirinya terhadap AS. Oleh karena itu, kata
seri tidak ada dalam benak mereka.
Sementara
itu, kata Klinsmann, ”Giyon adalah bagian sejarah Jerman, bukan sejarah AS.
Kami adalah sahabat, tetapi kali ini persoalannya bukanlah persahabatan. Kali
ini adalah urusan pertandingan untuk menang.” Menjelang duel Jerman-AS nanti,
Klinsmann harus menjadi ”orang Jerman yang memusuhi Jerman”.
Menjelang
Piala Dunia 2014, Klinsmann telah meminta Berti Vogts, yang juga mantan pelatih
Jerman, untuk membantunya. Menurut Vogts, Klinsmann sebenarnya sudah tahu
kelemahan-kelemahan Jerman. ”Klinsmann sebenarnya tidak membutuhkan saya untuk
mengetahui rahasia kesebelasan Jerman. Ia mengenal mereka dengan lebih baik,”
kata Vogts.
Klinsmann
amat paham relung-relung kesebelasan Jerman. Mungkin itulah yang akan membuat
anak-anak asuhan Loew tidak bakal terlalu mudah mengalahkan anak-anak Klinsmann
di Recife nanti. []
KOMPAS,
26 Juni 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah ‘Basis’ Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar