Batalnya Puasa
Puasa dapat dibilang sebagai ibadah tahunan
seperti halnya haji. Setiap satu tahun sekali seorang muslim diwajibkan
berpuasa selama satu bulan penuh, yaitu di bulan Ramadhan. Oleh karena itu
segala hal yang berhubungan dengan puasa Ramdhan serasa sudah menjadi hal yang
lazim begitu saja. Bahkan sebagian orang mengganggap puasa sebagai ibadah
musiman belaka, hanya sebatas rutinitas semata. Sebagaimana kolak, ngabuburit
dan juga baju barunya.
Padahal tidak demikian seharusnya. Karena
puasa selalu mengandung makna baru. Karena konteks puasa tahun ini dan tahun
yang lalu pastilah berbeda bagi setiap orang. Misalnya puasa kali ini
berbarengan dengan masa kampenye, kebetulan si A tahun ini menjabat sebagai
ketua RW, kebetulah tahun ini lagi banyak proyek pekerjaan dan seterusnya. Jika
demikian, maka tidak ada puasa yang sama persis dilakukan seseorang di seiap
tahunnya.
Akan tetapi meskipun konteks puasa sangat
dinamis, namun ada beberapa hal yang tetap dan ajeg yang tidak boleh dilupakan
seperti hal-hal yang membatalkan puasa, diantaranya:
Pertama, makan, minum dan segala sesuatu yang
masuk melalu lubang pada anggota tubuh yang berkesinambungan (mutasil) sampai
lambung, dan memasukannya dengan unsur sengaja, artinya apabila perbuatan
tersebut dilakukan tanpa kesengajaan atau lupa, maka tidak membatalkan puasa.
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ......
...Makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba
dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam... (QS. al-Baqarah, 2:
187)
Sedangkan bagi mereka yang lalai melakukannya
maka hal itu tidak dianggal membatalkan puasa sebagaimana diterangkan dalam
hadits:
مَنْ
نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَاَكَلَ وَاشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا
اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Siapa yang lupa keadaannya sedang berpuasa,
kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
sesungguhnya Allah-lah yang memberikan makanan dan minuman itu”. (Hadits
Shahih, riwayat al-Bukhari: 1797 dan Muslim: 1952)
Kedua, dengan sengaja melakukan hubungan
seksual dengan suami atau isteri. Suatu perbuatan dapat dikatakan hubungan
seksual dengan batas minimal masuknya khasafah ke dalam farji (vagina), dan
apabila kurang dari itu maka tidak dikatagorikan hubungan seksual dan tidak
membatalkan puasa.
Barang siapa melakukan hubunngan seksual
dengan sengaja pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sedangkan malam
harinya ia berniat menjalankan puasa, maka orang tersebut berdosa dengan alasan
telah merusak ibadah puasa, oleh karena itu ia diwajibkan untuk mengqadla dan
membayar kifarat (memerdekakan budak perempuan mu’min) sebagai hukumnya.
Jika tidak menemukan seorang budak untuk
dimerdekakan atau tidak mampu untuk memerdekakannya dari segi pembiayaan, maka
menggantinya dengan berpuasa dua bulan secara berurut-urut di bulan selain
bulan Ramadhan, dan apabila ia tidak mampu juga maka diwajibkan membayar fidyah
untuk 60 orang fakir atau miskin. Dan bagi tiap-tiap orang miskin mendapatkan
satu mud dari makanan yang mencukupi untuk zakat fitrah.
Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat
tersebut tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya. Dan pada saat ia ada
kemampuan untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja dengan segera.
جَاءَ
رَجُلٌ اِلَى النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ
يَارَسُوْلَ اللهِ قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَاَتِى فِى
رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَاتُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ:لَا،قَالَ: هَلْ
تَسْتَطِيْعُ اَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لَا،قَالَ:هَلْ
تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ:لَا،ثُمَّ جَلَسَ فَاُءتِيَ
النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ قَالَ:
تَصَدَّقْ بِهَذَاقَالَ: فَهَلْ اَعْلَى اَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ
لَا بَتَيْهَا اَهْلُ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِي صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ اَنْيَابُهُ وَقَالَ:اذْهَبْ فَاطْعِمْهُ
اَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah r.a, menceritakan, seorang
pria dating kepada Rasulullah s.a.w, ia berkata: “celaka aku wahai Rasulullah”,
Nabi s.a.w, bertanya: “apa yang mencelakakanmu?”, pria itu menjawab: “aku telah
bercampur dengan isteriku pada bulan Ramadhan”, Nabi s.a.w, menjawab: “mampukah
kamu memerdekakan seorang budak?”, ia menjawab: “tidak”. Nabi s.a.w, betanya
padanya: “mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?”, pria itu menjawab:
“tidak mampu”. Rasulullah s.a.w, bertanya lagi: apakah kamu memiliki makanan
untuk member makan enam puluh orang miskin?”, ia menjawab; “tidak”, kemudian
pria itu duduk. Lalu Nabi diberi satu keranjang besar berisi kurma, dan
Rasulullah s.a.w, berkata kepadanya : “bersedekahlah dengan kurma ini”. Pria
itu bertanya: “Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami?, tidak ada
keluarga yang lebih membutuhkan kurma ini selain dari keluarga kami”. Nabi
s.a.w. tertawa, sehingga terliuat gigi taringnya, dan Beliau bersabda:
“kembalilah ke rumahmu dan berikan kurma itu pada keluargamu”. (Hadits Shahih,
riwayat al-Bukhari: 1800 dan Muslim: 1870).
Ketiga, pengobatan yang dilakukan pada salah
satu dari dua jalan (kemaluan dan dhubur) atau kedua-duanya, bagi orang yang
sakit, maka pengobatan yang seperti itu dapat membatalkan puasa
Keempat, muntah-muntah dengan disengaja, dan
apabila tanpa disengaja atau karena sakit, maka tidak membatalkan puasa seperti
keterangan di atas.
عَنْ
اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ ذَرَعَهُ
اَلْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
Dari Abu Hurairah r.a, menuturkan,
sesungguhnya Nabi s.a.w, bersabda: “siapa yang tidak sengaja muntah, maka ia
tidak diwajibkan untuk mengganti puasanya, dan siapa yang sengaja muntah maka
ia wajib mengganti puasanya”. (Hadits Hasan Gfarib, riwayat al-Tirmidzi: 653
dan Ibn Majah: 1666)
Kelima, keluarnya air mani disebabkan
bersentuhan (tanpa hubungan seksual) maka menyebabkan batalnya puasa, baik
keluar dengan usaha tangan sendiri (mastur basi) atau menggunakan tangan
seorang isteri yang halal. Dengan kata lain, apabila keluar air mani tanpa
bersentuhan semisal bermimpi basah maka puasanya tidak batal.
Keenam, haid, yaitu darah yang keluar dari
kemaluan perempuan yang sudah menginjak usia batas minimal 9 tahun. Dengan
waktu haid paling cepat selam 24 jam, ghalibnya (keumuman) keluar darah selama
satu minggu,paling lama selama 15 hari, dan jarak antara kedua masa haid batas
minimal 15 hari.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan
dengan cirri-ciri seperti di atas, apabila keluar di saat seorang perempuan
sedang menjalankan ibadah puasa maka puasanya batal.
فَنُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami (kaum perempuan) diperintahkan untuk
mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti
shalat yang ditinggalkan”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 508)
Ketujuh, nifas, yaitu darah yang keluar dari
kemaluannya perempuan setelah proses melahirkan dengan rentang waktu sampai dua
bulan (ukuran maksimal) juga dapat menyebabkan batalnya puasa, apabila keluar
di saat sedang berpuasa.
Kedelapan, gila yang terjadi ketika seseorang
sedang mengerjakan ibadah puasa, maka puasanya batal.
Kesembilan, murtad, sesuatu hal yang
menyebabkan seseorang keluar dari islam dengan (semisal) melakukan pengingkaran
akan keberadaan Allah SWT sebagai dzat tunggal, disaat ia sedang melaksanakan
ibadah puasa, maka puasanya batal. []
Sumber: Risalah Puasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar