Menelusuri
Jejak Iman Kita
Oleh:
Mohamad Sobary
”Di
manakah jejak iman kita?” ”Apakah iman memang punya jejak?” ”Punya. Dia punya
jejak, dan tanda-tanda, yang dapat dibaca” ”Apakah iman memang bergerak, dan
meninggalkan tanda, hingga kita tahu ke mana arah geraknya?”
”Ya. Iman
itu tumbuh, makin dewasa, makin matang, dan dia pun bergerak, sehingga jejak-
jejak yang ditinggalkannya dapat kita temukan.” ”Nanti dulu. Iman siapa yang
seperti itu ciri-cirinya? Komunitas orang-orang beriman yang bagaimana yang
punya jejak, punya tanda dan bekas-bekas keimanan seperti itu?” ”Semua jenis
komunitas orang-orang beriman seharusnya memiliki ciri-ciri identitas yang
sama.”
”Tapi
kenyataannya tidak sama. Dan kita tak mungkin membuatnya sama” ”Ya. Mungkin
begitu. Dan jika memang benar begitu, saya tak mengerti lagi harus bicara apa.
Iman yang sama, wujud ibadah yang sama, dipersembahkan pada Tuhan yang sama,
mengapa berbeda-beda jejak dan wujud eksistensialnya?” ”Kau benar, dan berhak
merasa heran, kalau ukuran yang kau pakai hanya semua yang standar, pakem, dan
normatif: iman melahirkan salat, iman diwujudkan dalam puasa, iman membawa
kewajiban-kewajiban hukum yang tak bisa diabaikan. Kalau ini ukurannya, jejak
iman niscaya sama di manamana” ”Memangnya ada iman jenis apa lagi?”
”Kalau
yang kau tanya itu, jawabnya jelas: iman ya iman. Di mana-mana tak kita temukan
bedanya. Tapi buah iman ada banyak macamnya.” ”Banyak tapi sama. Apa yang
datang dari ajaran yang sama, muncul praktek yang sama pula.” ”Ya. Itu kalau
dilihat semata dari dimensi normatifnya agama.” ”Memangnya apalagi selain itu?”
”Mereka yang memperkaya pengamalan agama, dengan berbagai jenis ibadah, yang
menunjung tinggi pula kewajiban etis, jelas membuat jejak-jejak iman yang
berbeda. Mereka orang-orang yang tulus.” ”Ya. Tapi iman itu sama bukan?”
”Ya.
Sama. Terutama bagi mereka yang memandang agama sebagai aturan hukum-hukum,
yang normatif, dan tak bisa dielakkan. Semua orang beriman menaati aturan ini.”
”Itu sudah kita pahami bersama.” ”Tapi ada hamba-hamba yang baikhati,
yangsaleh, dantulusdalam kesalehannya, telah membuat agama tampak menjadi lebih
semarak, lebih manusiawi. Amalan lahir bukan semata karena panggilan hukum,
melainkan juga karena panggilan etis, tambahan amal mulia, yang disukai Allah.
Orang-orang
ini jelas meninggalkan jejak iman yang lain, yang tak sama dengan apa yang bisa
disebut ”mainstream” keagamaan” Keduanya kemudian diam. Dan kita merasa diantar
oleh keduanya, ke dalam suatu corak kesadaran keagamaan yang lain, yang
ukuran-ukurannya kualitatif, yang menekankan makna ketulusan dalam iman. Bila
kita terbiasa menemukan jejak-jejak iman kita sendiri, yang tampil lebih pada
dimensi yang tulus ini, kita tahu bahwa kita telah membiasakan berlatih dengan
baik untuk bisa menjadi hamba yang tulus.
Latihan
ketulusan, yang kita tempuh, di atas landasan yang jelas, membuat kita siap
menjalankan perintah puasa, yang ukuranukurannya begitu personal, dan menaruh
”trusttrust yang besar pada ketulusan kita. Mereka yang tak tulus bisa saja
pada sianghari, ketikaorang lain tak ada, makan kenyang, minum sepuas-puasnya,
dan meneruskan puasanya, seperti orang-orang lain yang jujur pada diri mereka
sendiri. Yang tak tulus, yang purapura berpuasa, bisa tak ketahuan siapa pun.
Tak
berpuasa tapi pura-pura berpuasa, semata karena malu jika kelihatan tak
berpuasa, boleh saja kalau kita bisa menjalaninya. Tapi kepura-puraan seperti
ini tak akan membuatnya mencapai sesuatu, atau menjadi sesuatu. Kepura-puraan
ini sama dengan apa yang palsu, dan culas di dalam dunia politik. Orang politik
terbiasa bersiasat, menipu seperti tak menipu, bohong seperti tidak bohong, dan
kemudian, lebih serius lagi, memfitnah seperti tidak memfitnah. Tapi intinya
mereka menipu, mereka bohong, dan mereka memfitnah.
Puasa
menekankan kejujuran dan sikap tulus. Dan kita, yangsudahberpuluh-puluh bulan
Ramadhan berpuasa, apa yang kita praktekkan bila kita masih juga terpeleset
dari apa yang bersifat etis, yang menjunjung kejujuran dalam hidup? Watak
oportunis, dan bersikap serakah tanpa tahu malu, kelihatannya tak diperhatikan orang.
Tapi kita tahu, di banyak kalangan watak itu dicaci maki, disesali dan dikutuk
habis-habisan. Orang lain, yang kritis dan bawel itu, bisa saja kita tipu, dan
kita kecoh.
Tapi
dapatkah kita mengecoh diri kita sendiri? Mungkin, diam-diam, kita selalu– tiap
saat–menelusuri kembali jejak iman kita, dan untuk tahu, kita ini jenis apa,
memiliki jejak iman seperti apa, ataukah kita tak punya jejak sama sekali.
Ajaran puasa, yang menekankan pada kebebasan itu, dapatkah kita laksanakan
secara bebas, dengan kebebasan orang dewasa, dan bertanggung jawab? Puasa, yang
memberi kita trust, untuk bersikap tulus, sudahkah kita sambut dengan
ketulusan? Atau di sini kita bersiasat, bohong dan pura-pura, seperti
orang-orang di dunia politik? Sering kita merasa seperti sudah berjalan jauh,
tetapi kita tidak menjadi semakin dekat dengan apa yang kita cari dalam
perjalanan ini.
Bahkan
tak jarang, sesudah makin jauh kita melangkah, baru kita sadar, bahwa mungkin
kita tersesat. Ini perjalanan tanpa peta, tanpa petunjuk arah, tanpa tanda
kapan harus membelok, kapan berhenti, dan di tikungan mana belokan pertama dan
terakhir. Berpuasa, begitu rumit, begitu dalam lekuk-lekuknya yang gelap.
Tuhan, aku tak tahu, apa arti puasa dan ketulusanku. []
KORAN
SINDO, 30 Juni 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar