Ibu-Ibu
di Garis Depan
Oleh:
Mohamad Sobary
Semen
Indonesia, wakil dunia kapitalis dan simbol kekuasaan besar, di mana nama
pemerintah terdapat di dalamnya, jelas memancarkan wibawa besar dan bisa
menakutkan.
Tapi, ini
kurun zaman baru, zaman sesudah reformasi, zaman terbuka lebar. Informasi terbuka,
sikap manusia terbuka, keberanian terbuka, dan kesiagaan membela hak-hak hidup
masyarakat pun terbuka. Orang tetap takut pada tekanan, cemas pada intimidasi,
dan teror, tetapi di zaman terbuka ini orang berani menegaskan sikap secara
terbuka pula untuk menyatakan bahwa dengan senjata kebenaran orang tak lagi
takut pada siapa pun.
Begitu
juga ibu-ibu, kaum perempuan di dalam masyarakat kaum tani, di perbatasan
antara Rembang dan Blora. Mereka maju ke garis terdepan menghadapi otoritas
pabrik yang bersikap otoriter. Ketika urusan belum lagi jelas, kesepakatan
belum tercapai, tapi pihak pabrik sudah nekat menetapkan secara sepihak wilayah
pabrik dan titik operasionalnya sambil mengancam tuan rumah yaitu para petani
pemilih tanah dan pemilik kehidupan yang hendak dipindahkan secara semena- mena
itu.
Di sana
ada suatu jenis ”perampokan”. Suasana tegang bulan lalu itu, di mana banyak
ibu-ibu digebuki aparat keamanan yang dibayar pabrik, ketegangan belum lenyap.
Ibu-ibu tak gentar menghadapi kekerasan. Ya, siapa pun takut menghadapi situasi
genting macam itu. Tapi, ibu-ibu yang terluka tubuh maupun hatinya kelihatannya
maju terus. Seolah berteriak seperti dalam sajak Chairil Anwar, Diponegoro:
”tak gentar, lawan seratus kali banyaknya”. Memang tak gentar dan tak perlu
gentar.
Ibu-ibu
ini tahu karena mereka bagian dari ”dunia pesantren” bahwa dalam perang demi
perangnya dulu, Rasulullah selalu maju kemedan dengan jumlah tentara lebih
kecil dari tentara musuh. Tapi, Rasulullah, seperti ibu-ibu ini, bersenjata
kebenaran. Rasulullah yang mulia itu ibaratnya ”ditemani” secara langsung oleh
Allah sendiri. Apa yang ditakuti dalam suasana kejiwaan sepeti itu? Ibu-ibu
yang ada di garis terdepan jangan pernah lupa dalam Mahabarata yang dahsyat itu
peperangan juga tidak adil.
Secara
khusus itu perang saudara, lima orang Pandawa melawan seratus orang Kurawa.
Lima melawan seratus. Kecuali itu, di pihak Kurawa yang seratus orang banyaknya
itu terdapat partai koalisi yang terdiri atas raja-raja seribu negara. Betapa
besar kekuatan mereka. Tapi, kebenaran, biarpun harus pontang-panting lebih
dulu, tak bisa dikalahkan. Lima orang itu bisa menggempur kekuatan seratus
orang.
Perhitungan
matematik, kalkulasi rasional dalam perang modern, dan apa pun yang gagah dalam
uluran ”jumlah”, tampaknya tak berarti. Seratus orang binasa. Lima orang jaya.
Dalam kisah Ramayana, Batara Rama hanya berdua dengan adiknya, Laksmana. Karena
mereka dibantu oleh monyet-monyet dari seluruh hutan Dhandhaka, hutan
Mangliawan, dan kerajaan monyet di gua Kiskendha, sukseslah mereka ”menggepuk”
Negeri Alengka, membunuh raksasa-raksasa tak terhitung jumlahnya, dan
menamatkan riwayat raja keserakahan dan keangkuhan, bernama Dasamuka.
Pada
zaman itu orang sudah tahu, Dasamuka tak terkalahkan. Kerajaan-kerajaan dan
negeri- negeri di sekeliling Kerajaan Alengka itu siang malam dirundung rasa
cemas dan takut kalau tiba-tiba diserang Dasamuka dan prajurit yang serakah dan
angkuh itu. Keserakahan dan keangkuhan pernah berkuasa dan sekarang pun masih
tetap ingin menjadi penguasa dunia.
Pasar
global, kapital global, dan kapitalis global, menjarah rayah aset bisnis dunia.
Bisnisbisnis besar, di negara-negara yang posisinya ”lokal” diserobot. Kapital
global dan kapitalis global yang tak punya wudel , tak punya hati, mencaplok
siapa saja dan apa saja yang bisa dicaplok, tak peduli bahwa itu ditempuh
dengan peperangan, pembunuhan, penghancuran, dan kebohongan-kebohongan. Ada
hukum yang mereka tetapkan sendiri bahwa yang besar harus menang, yang global
tak boleh dikalahkan oleh yang lokal.
Dalam
perang bisnis mereka, pemerintah dibeli, media dibeli, pejabat negara dibeli,
tokoh masyarakat dibeli, bromocorah dan preman-preman dibeli. Sebagian orang
yang bisa dianggap sebagai ”rohaniwan” pun ada pula yang bisa dibeli.
Pemerintah dan pejabat pemerintah dibeli? Ini tak terlalu mengherankan karena
di mana pun pejabat memiliki watak seperti itu. Tapi, orang yang dianggap
”rohaniwan” dibeli juga?
Ah,
rohaniwan yang belum istikamah, yang belum ikhlas, yang belum sujud secara
hakiki, dan belum berpuasa dalam arti sebenarnya, apa anehnya bila dia terbeli?
Rohaniwan yang belum berpuasa dalam arti sebenarnya, kebutuhan makannya banyak,
kebutuhan sandangnya mahal, kebutuhan rumahnya besar dan mewah, serta kebutuhan
mobilnya, jelas sangat mahal. Puasa dalam arti sebenarnya bukan begitu.
Mereka
zuhud, hidup bersahaja, dan siap mengayom mereka yang lemah. Ibu-ibu, Srikandi
di garis depan, itu orang-orang lemah dibandingkan dengan para jawara yang
disewa pabrik. Jawara berseragam, jawara desa setempat, jawara berseragam
pejabat, dan mereka yang berjubah, yang bersurban tinggi menjulang ke langit
menantang debu, tapi yang bukan debu pabrik semen Indonesia, jelas kekuatan
dahsyat.
Tapi, apa
tidak malu, kekuatan dahsyat yang begitu menggetarkan itu hanya digunakan untuk
melawan ibu-ibu? Betapa memalukannya. Polisi negara, tentara negara, pejabat
negara, semua milik negara dan misinya mengabdi kepentingan negara. Tapi,
mengapa larut dalam keserakahan global dan menjadi wakil keangkuhan global,
tanpa rasa kasihan menghadapi warga masyarakat yang lemah, dan mudah diteror,
rentan dari ancaman?
Dalam
perang besar yang disebut Bharatayudha itu, Bhisma, pihak Kurawa, tak ada yang
bisa menandingi. Dia terlalu kuat, terlalu perkasa. Mustahil ada pihak musuh,
Pandawa, yang mampu mengalahkannya. Tapi, Bhisma itu pandita, rohaniwan,
pencinta kebenaran. Melihat musuhnya terlalu lemah, dia minta pihak Pandawa
mengirimkan senapati yang perkasa.
Siapa
yang perkasa itu? Bukankah di Pandawa hanya ada orang-orang lemah dibandingkan
dengan kekuatan tak terhingga di dalam diri Bhisma? Orang perkasa itu ibu-ibu,
seorang puri, bernama Srikandi. Dia yang perkasa dan bakal mampu mengalahkan
Bhisma di medan Kurusetra.
Srikandi
maju dan memasang panah pada busur yang dilengkungkan hingga begitu dalam
melengkung dan panah melesat cepat. Bhisma roboh. Ini orang jujur, rohaniwan
sejati, yang tahu menghargai manusia dan kemanusiaan. Dia rela, demi kebenaran
tadi, gugur, menggeletak, bermandikan darah dari luka-lukanya sendiri. Dan dia
merasa bahagia.
Dari
pihak Semen Indonesia sana, siapa yang jujur? Siapa yang mewakili dunia rohani?
Siapa Bhisma mereka? Semua Kurawa, semua Dasamuka dan seluruh raksasa jahat,
prajuritprajuritnya yang tak mengenal kemanusiaan itu? Semen Indonesia,
menjarah tanah warga negara Indonesia? Ibu-ibu, Srikandi, di sana tidak ada
pandita, di sana tidak ada Bhisma.
Tapi,
dengan senjata kebenaran, ibu-ibu tak gentar– sekali lagi–”lawan seratus kali
banyaknya”. Kalah-menang bukan urusan mereka. Darma hidup mereka jelas: membela
hak, mempertahankan hak. Ibu-ibu siap di garis depan, tanpa tahu kapan ditarik
ke belakang. []
KORAN
SINDO, 08 Juli 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar