Senin, 07 Juli 2014

Gus Sholah: Menjaring dan Menyaring Capres



Menjaring dan Menyaring Capres
Oleh: Salahuddin Wahid

PEMILIHAN presiden langsung pada 2004 adalah pengalaman pertama bagi kita. Maka, kita belajar dari pengalaman negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang berpengalaman sekitar 60 kali menyelenggarakan pilpres langsung.

Dalam tiga kali pilpres, tampaknya ada perubahan mendasar dalam menjaring dan menyaring calon presiden dan calon wakil presiden. Banyak tokoh ingin jadi capres/cawapres dan berjuang untuk mewujudkan mimpi itu yang datang dari berbagai latar belakang. Ada yang memenuhi syarat, ada yang tidak. Ada yang dikenal masyarakat, ada yang tidak. Harian Kompas pada pertengahan 2003 pernah memuat foto sekian puluh nama itu dalam dua halaman penuh.

Pilpres 2004 dan 2009

Pada 2004, Partai Golkar menjaring dan menyaring tokoh yang berminat menjadi capres melalui semacam konvensi. Langkah itu bagus dan strategis. Namun, sayang, menurut Nurcholish Madjid alias Cak Nur, konvensi itu tidak menitikberatkan pada visi-misi, tetapi pada gizi sehingga dia mengundurkan diri. Waktu itu survei belum jadi acuan sehingga tidak masuk dalam kriteria yang dinilai. Pemenangnya adalah Wiranto.

Pada Pilpres 2004, syarat untuk mengajukan capres amat rendah (3,5 persen) sehingga muncul lima pasangan capres-cawapres. Sepuluh calon tersebut terdiri dari 3 jenderal purnawirawan, 3 ketua umum parpol, 2 tokoh ormas, dan 2 orang lagi pengusaha sukses yang pernah menjadi menteri. Dana sudah menjadi faktor yang menentukan. Pemilihan dilakukan dua putaran. Pemenangnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jenderal purnawirawan.

Dalam Pilpres 2004, ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menjadi tujuan untuk menjaring dan menyaring capres/cawapres dengan mengharapkan dukungan warga ormas tersebut. Dari lingkungan Muhammadiyah, Amien Rais yang menjadi Ketua Umum DPP PAN menjadi capres dari PAN. Dari NU, ada dua orang yang menjadi cawapres, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Ternyata langkah itu tidak efektif. Warga NU lebih memilih SBY daripada Ketua Umum PBNU.

Dalam Pilpres 2009, pasangan capres-cawapres harus diajukan oleh (gabungan) partai dengan perolehan minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi DPR. Maka, yang maju sebagai capres-cawapres hanya tiga pasangan, yaitu 3 mantan jenderal, 2 ketua umum partai, dan seorang guru besar yang mantan menteri. Dua orang punya latar belakang pengusaha. Tidak ada lagi tokoh ormas yang menjadi calon.

Kondisi mutakhir

Pada Pilpres 2014, keadaan dan paradigmanya sudah amat berubah. Peran media dan survei, yang tentu butuh dana amat besar, jauh lebih menonjol. Sudah disadari tentang perlunya strategi pemenangan yang butuh ahli pemasaran dan psikologi masyarakat. Prabowo Subianto sudah sejak lama (2-3 tahun) memanfaatkan televisi untuk sosialisasi diri ke masyarakat luas sehingga Partai Gerindra jadi pemenang ketiga Pemilu 2014.

Peran pemilik dana makin menonjol. Aburizal Bakrie, yang selama ini lebih dikenal sebagai pengusaha daripada politisi, berhasil jadi Ketua Umum Partai Golkar setelah mengalahkan Surya Paloh yang juga pengusaha. Setelah itu Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem, partai baru yang mampu mengalahkan partai-partai lama. Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura meski akhirnya meninggalkan partai tersebut. Secara mendadak, pengusaha Rusdi Kirana diangkat menjadi Wakil Ketua Umum DPP PKB. Ini berarti peran uang makin besar dalam politik.

Dalam memilih capres-cawapres pada Pilpres 2014, peran survei dan upaya rekayasa sosial amat menentukan. Joko Widodo adalah produk rekayasa sosial yang amat berhasil. Perancang strategi sosialisasi Jokowi amat berhasil dalam tugasnya. Mereka pandai memilih tokoh yang akan diorbitkan dan pandai juga dalam mengorbitkan. Mereka mampu mengenali sesuatu dalam diri Jokowi yang akan bisa dieksploitasi untuk menarik pemilih.

Prabowo yang sudah mulai sosialisasi sejak 2009 juga memetik jerih payahnya itu dengan menjadi capres karena punya tingkat keterpilihan yang tinggi. Aburizal, yang memaksakan diri untuk menjadi capres dari Partai Golkar sehingga pantas memasang iklan di TV One selama bertahun-tahun, ternyata tidak bisa mencapai tingkat keterpilihan yang memadai. Aburizal pun terpaksa menelan pil pahit: tak bisa menjadi capres atau cawapres. Hal itu memberikan pelajaran bahwa ketersediaan dana yang amat besar dan dukungan partai saja ternyata tidak cukup untuk bisa membuat seorang tokoh menjadi capres/cawapres.

Masalah pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi sorotan publik, tetapi makin berkurang. Surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira tentang pemberhentian Prabowo dari TNI baru kini diungkap kepada masyarakat. Agum Gumelar dan Fachrul Rozi menjelaskan bahwa TNI tidak memecat Prabowo karena dia adalah menantu Presiden. Tentu itu bukan kesalahan Prabowo. Lebih sulit kita pahami ketika Panglima TNI menyatakan bahwa surat keputusan itu tidak ada di arsip Mabes TNI. Mau tidak mau kita jadi teringat pada Supersemar yang masih misterius.

Kecenderungan ke depan

Keempat calon yang maju dalam Pilpres 2014 adalah pengusaha. Sejumlah menteri juga punya latar belakang pengusaha. Di masa depan calon berlatar belakang pengusaha akan tetap banyak yang tampil, baik sebagai kepala daerah, menteri, maupun capres/cawapres. Pengusaha dianggap punya kemampuan menyelesaikan masalah, mengambil keputusan, dan punya dana.

Salah satu fenomena baru adalah munculnya kepala daerah jadi capres. Di masa depan kecenderungan ini akan meningkat. Kita melihat cukup banyak kepala daerah yang berhasil mengembangkan daerahnya, misalnya Wali Kota Surabaya dan Bupati Bantaeng. Masih banyak lagi kepala daerah yang menerima penghargaan dari sejumlah lembaga dan media, baik di dalam maupun luar negeri. Sebaiknya bupati/wali kota menjadi gubernur dulu dalam waktu lima tahun baru capres/cawapres.

Tokoh militer yang akan menjadi capres di masa depan tentu masih ada, tetapi belum terlihat yang punya kapasitas seperti SBY, Prabowo, dan Wiranto. Jika memang ada jenderal purnawirawan yang berpotensi dan punya niat kuat untuk maju pada 2019, mereka harus berani dan mampu mendirikan partai baru atau mengambil alih partai yang ada seperti yang dilakukan seniornya. Dari segi usia, kecenderungannya yang akan menjadi capres adalah mereka yang lahir pada dasawarsa 1960-an, bahkan awal 1970-an. []

KOMPAS, 27 Juni 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar