Menjaring
dan Menyaring Capres
Oleh:
Salahuddin Wahid
PEMILIHAN
presiden langsung pada 2004 adalah pengalaman pertama bagi kita. Maka, kita
belajar dari pengalaman negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang
berpengalaman sekitar 60 kali menyelenggarakan pilpres langsung.
Dalam
tiga kali pilpres, tampaknya ada perubahan mendasar dalam menjaring dan
menyaring calon presiden dan calon wakil presiden. Banyak tokoh ingin jadi
capres/cawapres dan berjuang untuk mewujudkan mimpi itu yang datang dari
berbagai latar belakang. Ada yang memenuhi syarat, ada yang tidak. Ada yang
dikenal masyarakat, ada yang tidak. Harian Kompas pada pertengahan 2003 pernah
memuat foto sekian puluh nama itu dalam dua halaman penuh.
Pilpres
2004 dan 2009
Pada
2004, Partai Golkar menjaring dan menyaring tokoh yang berminat menjadi capres
melalui semacam konvensi. Langkah itu bagus dan strategis. Namun, sayang,
menurut Nurcholish Madjid alias Cak Nur, konvensi itu tidak menitikberatkan
pada visi-misi, tetapi pada gizi sehingga dia mengundurkan diri. Waktu itu
survei belum jadi acuan sehingga tidak masuk dalam kriteria yang dinilai.
Pemenangnya adalah Wiranto.
Pada
Pilpres 2004, syarat untuk mengajukan capres amat rendah (3,5 persen) sehingga
muncul lima pasangan capres-cawapres. Sepuluh calon tersebut terdiri dari 3
jenderal purnawirawan, 3 ketua umum parpol, 2 tokoh ormas, dan 2 orang lagi
pengusaha sukses yang pernah menjadi menteri. Dana sudah menjadi faktor yang
menentukan. Pemilihan dilakukan dua putaran. Pemenangnya adalah Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), jenderal purnawirawan.
Dalam
Pilpres 2004, ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menjadi tujuan untuk
menjaring dan menyaring capres/cawapres dengan mengharapkan dukungan warga
ormas tersebut. Dari lingkungan Muhammadiyah, Amien Rais yang menjadi Ketua
Umum DPP PAN menjadi capres dari PAN. Dari NU, ada dua orang yang menjadi
cawapres, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Ternyata langkah itu tidak
efektif. Warga NU lebih memilih SBY daripada Ketua Umum PBNU.
Dalam
Pilpres 2009, pasangan capres-cawapres harus diajukan oleh (gabungan) partai
dengan perolehan minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi DPR. Maka, yang
maju sebagai capres-cawapres hanya tiga pasangan, yaitu 3 mantan jenderal, 2
ketua umum partai, dan seorang guru besar yang mantan menteri. Dua orang punya
latar belakang pengusaha. Tidak ada lagi tokoh ormas yang menjadi calon.
Kondisi
mutakhir
Pada
Pilpres 2014, keadaan dan paradigmanya sudah amat berubah. Peran media dan
survei, yang tentu butuh dana amat besar, jauh lebih menonjol. Sudah disadari
tentang perlunya strategi pemenangan yang butuh ahli pemasaran dan psikologi
masyarakat. Prabowo Subianto sudah sejak lama (2-3 tahun) memanfaatkan televisi
untuk sosialisasi diri ke masyarakat luas sehingga Partai Gerindra jadi
pemenang ketiga Pemilu 2014.
Peran
pemilik dana makin menonjol. Aburizal Bakrie, yang selama ini lebih dikenal
sebagai pengusaha daripada politisi, berhasil jadi Ketua Umum Partai Golkar
setelah mengalahkan Surya Paloh yang juga pengusaha. Setelah itu Surya Paloh
mendirikan Partai Nasdem, partai baru yang mampu mengalahkan partai-partai
lama. Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura meski akhirnya meninggalkan partai
tersebut. Secara mendadak, pengusaha Rusdi Kirana diangkat menjadi Wakil Ketua
Umum DPP PKB. Ini berarti peran uang makin besar dalam politik.
Dalam
memilih capres-cawapres pada Pilpres 2014, peran survei dan upaya rekayasa
sosial amat menentukan. Joko Widodo adalah produk rekayasa sosial yang amat
berhasil. Perancang strategi sosialisasi Jokowi amat berhasil dalam tugasnya.
Mereka pandai memilih tokoh yang akan diorbitkan dan pandai juga dalam
mengorbitkan. Mereka mampu mengenali sesuatu dalam diri Jokowi yang akan bisa
dieksploitasi untuk menarik pemilih.
Prabowo
yang sudah mulai sosialisasi sejak 2009 juga memetik jerih payahnya itu dengan
menjadi capres karena punya tingkat keterpilihan yang tinggi. Aburizal, yang
memaksakan diri untuk menjadi capres dari Partai Golkar sehingga pantas
memasang iklan di TV One selama bertahun-tahun, ternyata tidak bisa mencapai
tingkat keterpilihan yang memadai. Aburizal pun terpaksa menelan pil pahit: tak
bisa menjadi capres atau cawapres. Hal itu memberikan pelajaran bahwa
ketersediaan dana yang amat besar dan dukungan partai saja ternyata tidak cukup
untuk bisa membuat seorang tokoh menjadi capres/cawapres.
Masalah
pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi sorotan publik, tetapi makin berkurang.
Surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira tentang pemberhentian Prabowo dari TNI
baru kini diungkap kepada masyarakat. Agum Gumelar dan Fachrul Rozi menjelaskan
bahwa TNI tidak memecat Prabowo karena dia adalah menantu Presiden. Tentu itu
bukan kesalahan Prabowo. Lebih sulit kita pahami ketika Panglima TNI menyatakan
bahwa surat keputusan itu tidak ada di arsip Mabes TNI. Mau tidak mau kita jadi
teringat pada Supersemar yang masih misterius.
Kecenderungan
ke depan
Keempat
calon yang maju dalam Pilpres 2014 adalah pengusaha. Sejumlah menteri juga
punya latar belakang pengusaha. Di masa depan calon berlatar belakang pengusaha
akan tetap banyak yang tampil, baik sebagai kepala daerah, menteri, maupun
capres/cawapres. Pengusaha dianggap punya kemampuan menyelesaikan masalah,
mengambil keputusan, dan punya dana.
Salah
satu fenomena baru adalah munculnya kepala daerah jadi capres. Di masa depan
kecenderungan ini akan meningkat. Kita melihat cukup banyak kepala daerah yang
berhasil mengembangkan daerahnya, misalnya Wali Kota Surabaya dan Bupati
Bantaeng. Masih banyak lagi kepala daerah yang menerima penghargaan dari
sejumlah lembaga dan media, baik di dalam maupun luar negeri. Sebaiknya
bupati/wali kota menjadi gubernur dulu dalam waktu lima tahun baru
capres/cawapres.
Tokoh
militer yang akan menjadi capres di masa depan tentu masih ada, tetapi belum
terlihat yang punya kapasitas seperti SBY, Prabowo, dan Wiranto. Jika memang
ada jenderal purnawirawan yang berpotensi dan punya niat kuat untuk maju pada
2019, mereka harus berani dan mampu mendirikan partai baru atau mengambil alih
partai yang ada seperti yang dilakukan seniornya. Dari segi usia,
kecenderungannya yang akan menjadi capres adalah mereka yang lahir pada
dasawarsa 1960-an, bahkan awal 1970-an. []
KOMPAS,
27 Juni 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar