Puasa Bagi Ibu Menyusui
Pertanyaan:
Assalamu’akaikum Pak Kiai. Saya ingin
menanyakan bagaimana hukumnya tidak puasa untuk ibu yang menyusui. Anak saya
usianya sudah 1,6 tahun tapi makannya sulit sekali dan hanya mengandalkan ASI,
apakah boleh saya tidak puasa demi anak saya dan bagaimana cara qodlonya atau
bayar fidyahnya atau apa? Mohon penjelasan mengingat anak saya yang kedua ini
agak kurusan dan sering dikomplain oleh bidan puskesmas karena berat badannya
di bawah standar. Makasih.
(Umi, Bandung)
Jawaban:
Wa’alaikum salam ww. Penanya yang budiman,
semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa perempuan yang menyusui itu
diperbolehkan tidak berpuasa sepanjang berpuasa itu bisa membahayakan kesehatan
dirinya dan anaknya atau salah satunya. Menurut madzhab syafi’i, jika seorang
perempuan yang sedang menyusui melakukan puasa dan dikhawatirkan akan membawa
dampak negatif pada dirinya beserta anaknya, atau dirinya, atau anak saja maka
ia wajib membatalkan puasanya. Dan baginya berkewajiban meng-qadla` puasanya.
Namun jika dikhawatirkan membahayakan anaknya saja, maka ia tidak hanya
berkewajiban meng-qadla` tetapi ada kewajiban lain yaitu membayar fidyah. Hal
ini sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Juzairi:
اَلشَّافِعِيَّةُ
قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا
يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا
أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ
عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ
وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ
وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ
“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan
hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak
diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya
saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib
meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu
ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga
diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).
Sedangkan fidyah yang harus dibayarkan adalah
satu mud (berupa makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang
diberikan kepada orang miskin atau orang faqir. Satu mud kurang lebih 675 gram
beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.
Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang
sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan
kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq:
مَعْرِفَةُ
ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ
الظَّنِّ
“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa
membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya
saja)bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang
terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,
Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)
Setelah kita mengetahui kedudukan hukum
berpusa bagi orang yang sedang menyusui. Lantas bagaimana dengan waktu
pelaksanaan qadla` sekaligus pembayaran fidyah, jika ia meninggalkan puasa
dengan alasan apabila tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya.
Bahwa alasan kewajiban untuk meninggalkan
puasa bagi orang yang sedang menyusui adalah adanya kekhawatiran akan
membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.
Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban
qadla` tersebut bisa dilakukan setelah bulan ramadlan dan di luar waktu
menyusui. Sedang mengenai teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu
orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib
memberikan 10 mud. Sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin
atau faqir.
وَلَهُ
صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ
عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ
“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah
fidyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen”.
(Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj,
Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan, dan semoga bermanfaat. Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui
untuk selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati.
Dan jika merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan
segeralah berkonsultasi kepada dokter. []
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar