Little Rock Nine
Oleh: Alissa Wahid
Pada tahun 1954, di tengah pergolakan sosial politik Amerika
Serikat terkait masyarakat Afrika-Amerika (pada masa itu disebut masyarakat
kulit hitam), Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa praktik segregasi sekolah atas
dasar kulit putih dan kulit hitam adalah tindakan inkonstitusional karena
bertentangan dengan konstitusi AS.
Keputusan ini menjadi dasar bagi gerakan pencampuran
sekolah-sekolah, terutama sekolah negeri di AS. Sejak saat itu, sekolah-sekolah
wajib menerima siswa tanpa memperhatikan warna kulitnya.
Bagian selatan AS merupakan daerah yang paling resisten terhadap
keputusan ini karena sejarah panjang rasialisme dan perbudakan yang berujung
pada perang saudara (civil
war) AS. Kelompok ultrakonservatif kulit putih, seperti Ku Klux
Klan, cukup besar pengaruhnya di area ini. Karena itu, sampai beberapa tahun
sejak keputusan MA tersebut, beberapa daerah masih enggan menjalankannya.
Kota Little Rock di Negara Bagian Arkansas termasuk di antaranya.
Apalagi Gubernur Orval Faubus kala itu sedang berusaha untuk kembali memenangi
pemilihan gubernur dengan dukungan kelompok kulit putih yang konservatif.
Dia pun mengulur waktu dengan berbagai upaya dan kebijakan lokal.
Tahun 1957, NAACP (organisasi pemajuan hak orang-orang kulit
berwarna) mempersiapkan sembilan nama siswa kulit hitam paling berprestasi di
Little Rock untuk mulai masuk di Little Rock Central High School yang
sebelumnya hanya melayani lebih kurang 1.900 siswa kulit putih.
Tanggal 4 September 1957, kesembilan remaja ini berangkat menuju
sekolah negeri itu dan disambut dengan demonstrasi ribuan orang kulit putih
yang menolak percampuran warna kulit di sekolah. Kelompok remaja ini dicaci
maki bahkan diludahi saat turun dari bus sekolah.
Aparat keamanan lokal (Garda Nasional Arkansas) bahkan memaksa
kelompok siswa ini kembali pulang dengan alasan ”upaya menjaga ketertiban dan
perdamaian” dan ”mencegah konflik sosial”.
Pemerintah lokal memandang tindakan nekat masuk sekolah ini
sebagai upaya provokasi memancing kemarahan publik yang mayoritas kulit putih.
Pemerintah lokal juga berupaya untuk membuat kebijakan lokal dengan memindahkan
siswa-siswa kulit hitam ini ke sekolah lain yang dominan kulit hitam demi
”kondusivitas masyarakat”.
Peristiwa ini mendapatkan perhatian yang luar biasa dari publik
seluruh negeri. Presiden Dwight Eisenhower pun memanggil Gubernur Faubus,
tetapi sang Gubernur tetap bergeming. Akhirnya, Presiden Eisenhower turun
tangan dengan mengirim The 101st Airborne Division dari Angkatan Darat AS ke
Little Rock.
Pertama kali di abad ke-20, tentara Federal diturunkan untuk
menghadapi persoalan lokal. Selain itu, Presiden Eisenhower juga mengambil alih
National Guard Arkansas menjadi Tentara Federal sehingga tidak dapat diperintah
oleh Gubernur Faubus.
Tiga minggu setelah hari mereka diusir, kesembilan siswa kulit
hitam kembali datang ke SMA Negeri Little Rock, dikawal oleh ratusan tentara
(di tahap awal, hanya tentara kulit putih yang diturunkan) sampai ke dalam
kelas dan sampai usai sekolah. Hal ini berlangsung sampai beberapa hari.
Walaupun cemooh dan perundungan tetap berlangsung sepanjang hari, mereka tidak
dapat dihalang-halangi lagi karena kawalan para tentara dengan senjata lengkap.
Peristiwa bersejarah ini dikenal sebagai kisah Little Rock Nine.
Ia menjadi salah satu tonggak sejarah transformasi sosial politik dari
masyarakat tersegregasi warna kulit menuju masyarakat yang bertumpu pada hak
konstitusional warga negara tanpa mengenal mayoritas-minoritas.
Patut diperhatikan sikap Presiden Eisenhower dalam kasus ini.
Sebagai seorang tentara veteran di dalam Perang Dunia II, ia terlatih untuk
mengambil keputusan dengan tegas, dengan paradigma yang sangat nasionalis. Ia
menyokong gerakan kesetaraan hak warga negara melalui Civil Rights Act 1957,
undang-undang yang mengatur jaminan pemenuhan dan perlindungan hak warga negara
bagi kelompok kulit hitam.
Meskipun hanya terkait dengan sekelompok remaja, meskipun terjadi
di kota kecil (bandingkan dengan New York City atau Boston), meskipun harus
berhadapan dengan kelompok mayoritas, dan meskipun terkait kepada kelompok
minoritas, Presiden Eisenhower bersikukuh mengambil langkah-langkah untuk
melindungi hak konstitusi warga negaranya. Ia tidak mempertimbangkan anggaran
menerjunkan satu divisi taktis tingkat tinggi untuk kepentingan segelintir
warga.
Atas kepemimpinannya yang luar biasa, nama Presiden Eisenhower
diabadikan dalam Eisenhower Fellowship yang mengelola jejaring pemimpin dari
seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.
Demikianlah sikap seorang negarawan. Ia memiliki ketegasan dan
keyakinan untuk bertindak dengan paradigma yang tepat, yaitu prinsip keadilan
dan kesetaraan warga negara, serta visi jangka panjang atas bangsa dan
negaranya. Sebagai negarawan, ia bertindak dengan bertumpu pada kesepakatan
berbangsa bernegara, yaitu konstitusi. Ia tidak berhitung untung rugi dalam
kalkulasi politik untuk menentukan pilihan kebijakannya.
Negarawan sejati tidak akan mengorbankan hak konstitusi warga
negara dari kelompok yang lebih lemah atas dasar ketertiban umum dan mencegah
konflik sosial. Justru, demi keadilan dan ketertiban umum, negarawan sejati
akan mempertegas posisinya sebagai jenderal.
Indonesia sudah saatnya belajar dari peristiwa Little Rock Nine,
untuk berbagai situasi yang muncul akhir-akhir ini terkait hak konstitusi
warganya. Semoga kita menemukan negarawan yang mampu meneladani Presiden
Eisenhower. []
KOMPAS, 23 Februari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar