Aturan Fiqih atas Janin
yang Meninggal dalam Kandungan
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan
merasakan kematian, sebuah peristiwa berpisahnya ruh dengan jasad.
Kedatangannya begitu mengejutkan serta tak memandang sosok dan usia. Kapan pun
ajal mereka datang, tak ada yang bisa mengundurnya sedetik pun. Begitu pun
tatkala ajal mereka belum saatnya, tak ada yang bisa memajukannya walau
sesaat.
Sebagaimana diketahui bersama, ada empat
kewajiban utama orang hidup terhadap orang yang telah meninggal: memandikan,
mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Pertanyaannya, bagaimana jika yang
meninggal adalah janin, baik meninggalnya sebelum lahir, setelah lahir, atau
sesaat setelah lahir? Apa saja kewajiban orang hidup terhadapnya?
Lantas bagaimana pula jika yang meninggal
dunia adalah ibu sang janin. Apakah janinnya boleh dikeluarkan? Apakah jenazah
ibunya bisa langsung dikebumikan atau menunggu sang janin turut meninggal?
Bolehkan ada tindakan yang mempercepat kematian sang janin?
Sesungguhnya, masalah ini telah menjadi
sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah. Salah satunya
adalah Syekh Zainuddil al-Malaibari. Dalam kitabnya, Fath al-Mu‘in (Terbitan
Dar Ihya al-Kutub al-‘Araiyyah, hal. 46), ia mengungkapkan:
ووري
أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز.
وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل
وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا.
Artinya, “Dan harus dibungkus—maksudnya
ditutup—dengan kain serta wajib dikubur mayat janin yang lahir keguguran. Sama
halnya dengan mayat anak kecil kafir yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun,
mayat janin keguguran dan anak kecil kafir itu tidak wajib dimandikan, hanya
saja boleh jika mau dimandikan. Dikecualikan dari janin yang keguguran adalah
gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Maka keduanya
sunnah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila janin yang keguguran itu telah
berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan.
Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia
wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).”
Dalam kitab yang sama, Fath al-Mu‘in
(Terbitan Daru Ihya al-Kutu al-‘Araiyyah, hal. 46), Syekh Zainuddin
al-Malaibari menjelaskan perihal wanita yang meninggal dalam keadaan
mengandung.
ولا
تدفن امرأة ماتت في بطنها جنين حتى يتحقق موته أي الجنين ويجب شق جوفها والنبش له
إن رجي حياته بقول القوابل لبلوغه ستة أشهر فأكثر فإن لم يرج حياته حرم الشق لكن
يؤخر الدفن حتى يموت.
Artinya, “Tidaklah dikebumikan jenazah wanita
yang di dalam perutnya masih ada janin, sampai janin itu benar-benar meninggal.
Bahkan, wajib membedah perutnya dan menggali kuburannya (jika telah dikuburkan)
tatkala sang janin dalam perutnya diharapkan bisa hidup menurut pendapat para
dukun bayi/bidan ahli karena telah berusia enam bulan atau lebih. Namun, jika
sang janin tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya, sehingga
tunggulah proses penguburannya sampai si janin benar-benar meninggal.”
Dari petikan tentang janin keguguran dan
wanita hamil yang meninggal di atas, dapat ditarik sejumlah kesimpulan:
1. Janin yang keguguran dan masih berupa
gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus,
tidak wajib dimandikan, tidak wajib dishalatkan.
2. Jika sang janin yang keguguran sebelumnya
tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula
tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak
wajib dishalatkan. Namun, sunnah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan.
3. Jika sang janin yang keguguran tidak
terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan
kesempurnan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya
wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib
dishalatkan.
4. Jika janin yang keguguran sebelumnya
terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis,
bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka
jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, layaknya
orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan,
sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain (Terbitan Dar
al-Fikr, Beirut, Cet. Pertama, hal. 156).
5. Wajib hukumnya membedah perut jenazah
wanita yang di dalamnya ada janin, dengan catatan sang sanin diharapkan bisa
hidup berdasarkan hasil pemeriksaan dukun bayi, bidan, dokter, atau petugas
medis lain, terlebih usia kehamilan telah mencapai enam bulan atau
lebih.
6. Jika janin yang ada dalam rahim sang ibu
tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya. Tunggulah sampai ia
benar-benar meninggal, sementara penguburan jenazah ibunya ditangguhkan.
7. Walau sang janin tidak dikeluarkan dari
perut ibunya karena tidak memungkinkan untuk hidup, tetapi kematiannya tidak
boleh dipercepat, seperti perut ibunya dibebani benda tertentu dan sebagainya.
Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis
Taklim “Syubbanul Muttaqin” dan Pembina Organisasi Kepemudaan “KEPRIS”,
Desa Jayagiri, Kec. Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar