Hukum Kencing dengan
Berdiri
Salah satu adab dalam buang hajat adalah
melakukannya dengan cara duduk, baik ketika membuang air kecil ataupun air
besar. Buang hajat dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak
dibenarkan oleh syariat. Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha
beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan
berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali
dengan duduk’.” (HR. An-Nasa’i)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah secara
tegas melarang kencing dengan cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang
tercantum dalam hadits riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kencing dengan berdiri,” (HR Baihaqi).
Lantas apakah larangan dalam hadits di atas
mengarah pada hukum haramnya kencing dengan cara berdiri? Atau hanya sebatas
dimakruhkan?
Para ulama menghukumi kencing dengan cara
berdiri sebagai perbuatan yang makruh selama tidak ada uzur (kendala). Sehingga
pelakunya tidak sampai terkena dosa, meski perbuatan itu sebaiknya tetap
dihindari. Hukum makruh ini akan hilang tatkala seseorang memiliki uzur,
seperti terdapat penyakit atau luka yang menyebabkan dirinya terasa berat
(masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan duduk. Perincian hukum demikian,
seperti yang dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami:
ويكره
أن يبول قائما من غير عذر لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : ما بلت قائما منذ
أسلمت ، ولا يكره ذلك للعذر لما روى {النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال
قائما لعذر} ـ
“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya
uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak
pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’. Namun kencing dengan
berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadits ‘Nabi
Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu
kencing dengan berdiri karena adanya uzur,” (Syekh Sulaiman al-Bujairami,
Hasyiyah al-Bujairami ala al-Khatib, juz 2, hal. 158).
Hadits yang menjadi pijakan tidak makruhnya
kencing dengan cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif
dengan hadits ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa
Rasulullah pernah kencing dengan berdiri.
Dalam menyikapi hal ini, tidak ada penjelasan
yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam
karya monumentalnya, Fath al-Bari:
والصواب
أنه غير منسوخ والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في
البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه
“Hal yang benar bahwa kedua hadits yang
kontradiktif di atas tidaklah di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya).
Dalam menjawab hadits ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya
berdasarkan pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW).
Maka hadits ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di selain
rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu Hajar al-Haitami,
Fath al-Bari, juz 1, hal. 330).
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hukum kencing dengan cara berdiri adalah perbuatan yang dimakruhkan, selama hal
tersebut tidak dilakukan karena terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa
kesulitan (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri.
Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya
sebisa mungkin bagi kita untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain
karena uzur, meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing
yang menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. Tersedianya
urinoir di berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi mode bagi
toilet-toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih memungkinkan
mencari toilet lain untuk kencing dengan cara duduk itu lebih baik. Bila tidak
memungkinkan maka kondisi tersebut masuk kategori uzur. Betapapun, kita
dianjurkan untuk senantiasa menetapi syariat yang terbaik dan tetap selektif
termasuk dalam menyikapi berbagai tren masa kini. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Penulis adalah
pengajar di Pon. Pes. Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar