Selasa, 31 Maret 2020

Kang Komar: Rumahku, Sekolahku


Rumahku, Sekolahku
Oleh: Komaruddin Hidayat

EPIDEMI virus korona memaksa banyak sekolah meliburkan para siswanya. Mereka dianjurkan belajar di bawah pengawasan orang tua di rumah masing-masing. Sebagian proses pembelajaran diganti lewat e-learning, belajar jarak jauh.

Ini sebuah pengalaman baru yang memerlukan adaptasi bagi semua pihak. Orang tua senang bisa berkumpul bersama anak-anak, menemani mereka belajar. Namun, tidak sedikit yang mengeluh dan menyadari betapa tidak mudahnya menjadi seorang guru bagi anak-anaknya sendiri.

Kita memang wajib berterima kasih kepada guru dan sekolah. Tanpa mereka, hampir mayoritas orang tua tidak mampu melakukan home schooling di bawah asuhan mereka. Tidak mudah memindahkan suasana belajar sekolah ke rumah.

Hari-hari ini suasana keintiman dan kehangatan keluarga langsung terasa. Semua orang menahan diri tidak keluar rumah. Semuanya saling peduli terhadap yang lain. Semuanya menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan penuh disiplin, tanpa ada paksaan.

Namun, kita juga mesti menyadari betapa banyak keluarga yang tiba-tiba dibuat repot dan menderita secara ekonomi. Banyak bisnis perhotelan, restoran, agen perjalanan, dan pekerjaan lain yang merumahkan buruh dan pegawainya.

Mereka yang bekerja jasa angkutan seperti ojek, taksi, dan semacamnya sepi penumpang. Alias tak ada pemasukan uang.Situasi ini memerlukan perhatian dan bantuan dari pemerintah dan mereka yang berpunya. Saatnya para politisi menaruh peduli dan mencari solusi bagi mereka, jangan hanya datang sewaktu menjelang pilkada atau pemilu.

Bahkan, Masjidil Al-haram di Mekkah yang biasanya selalu penuh oleh jamaah, sekarang sepi. Mereka yang mukim di Mekkah bisa sepuasnya bertawaf dan mencium hajar aswad.

Sementara itu, negara-negara yang selama ini merasa hebat dan kuat, juga dibuat bingung dan mengakui kerapuhannya menghadapi serangan virus korona. Senjata-senjata nuklir yang jadi andalan tak mampu mengalahkan virus yang bekerja dengan senyap. Pesta hura-hura dan glamor yang semula magnetik, sekarang justru dihindari.

Orang memilih menyendiri, setidaknya mengambil jarak dari yang lain. Dalam sunyi sendiri, ada yang menemukan agenda baru melakukan inner journey, merenungkan makna dan tujuan hidup.

Mempertanyakan gemerlap duniawi yang tiba-tiba redup oleh interupsi korona. Orang melakukan introspeksi diri, manusia telah berbuat amat rakus sehingga merusak keseimbangan dan keadilan alam.

Semua penghuni bumi ini masing-masing punya hak hidup dan tempat tinggal, jangan sampai saling mengganggu dan merusak keseimbangan ini. Namun, manusia telah berbuat zalim yang pada urutannya bumi sang ibu pertiwi marah memberikan peringatan pada manusia, makhluk yang merasa paling pintar namun sekaligus juga lemah dan bodoh.

Ada juga yang semakin merasa dekat dengan Tuhannya. Tuhan tidak dijumpai di dalam keramaian jamaah di masjid, gereja, kuil, atau wihara, namun dijumpai dalam kesunyian. Dalam hati orang yang beriman, Tuhan diseru dengan bahasa hati, bukan bibir.

Dengan doa, cinta, dan kepasrahan, bukan teriakan takbir yang disertai hujatan dan kebencian. Rupanya tidak hanya rumahku sekolahku, tetapi alam semesta dan kehidupan ini pun adalah tempat kita belajar agar tumbuh lebih bijak memandang dan menjalani hidup. []

KORAN SINDO, 20 Maret 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar