Kewajiban Pertama Seorang
Manusia Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Apa kewajiban pertama bagi seorang manusia?
Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) berbeda pendapat
dalam menjawab pertanyaan yang sepintas sederhana ini. Imam Abu Hasan
al-Asy'ari mengatakan bahwa yang paling pertama kali diwajibkan bagi seorang
manusia adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala (Ibrahim al-Bajuri,
Hasyiyah Jauharat at-Tauhîd, 82).
Imam al-Hafidz al-Baihaqy menjelaskan dalil
hal ini sebagaimana berikut:
أَوَّل
مَا يَجِبُ عَلَى الْعَبْدِ مَعْرِفَتُهُ وَالْإِقْرَارُ بِهِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ
ثَنَاؤُهُ لِنَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ} [محمد: 19] ، وَقَالَ لَهُ
وَلِأُمَّتِهِ: {فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ} [الأنفال: 40] ، وَقَالَ: {فَاعْلَموا أَنَّمَا أُنْزِلَ
بِعِلْمِ اللَّهِ وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَهَلْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} ،
وَقَالَ: {قُولُوا
آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا} [البقرة: 136] الْآيَةَ. فَوَجَبَ بِالْآيَاتِ قَبْلَهَا مَعْرِفَةُ
اللَّهِ تَعَالَى وَعِلْمُهُ، وَوَجَبَ بِهَذِهِ الْآيَةِ الِاعْتِرَافُ بِهِ
وَالشَّهَادَةُ لَهُ بِمَا عَرَّفَهُ. وَدَلَّتِ السُّنَّةُ عَلَى مِثْلِ مَا
دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ
"Hal pertama yang wajib bagi seorang
hamba yaitu mengenal Allah dan mengakuinya. Allah berfirman kepada Nabi
Muhammad ﷺ:
"Ketahuilah bahwasanya tiada Tuhan selain Allah" [QS: Muhammad: 19]
dan juga berfirman kepada umatnya: "Ketahuilah bahwa Allah adalah Tuhan
kalian" [QS. al-Anfal: 40] dan "Maka ketahuilah bahwasanya Alquran
itu diturunkan dengan pengetahuan dari Allah dan bahwasanya tiada Tuhan selain
Dia, maka Apakah kalian menerimanya?" [QS.Hud: 14]dan "Katakanlah
kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami" [ QS.
al-Baqarah: 136]. Maka dengan ayat-ayat itu menjadi wajib untuk mengenal dan
mengetahui Allah Ta'ala. Dengan ayat-ayat ini wajiblah mengenal Allah dan
bersaksi terhadap apa yang ia ketahui tentang Allah. Demikian juga hadis nabi
menunjukkan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an tadi.” (al-Baihaqi, al-I’tiqâd
wa al-Hidâyah Ila Sabîl ar-Rasyâd, 35)
Jawaban ini adalah jawaban yang paling banyak
dipakai di kalangan ulama Asy'ariyah dari masa ke masa sehingga Syekh Ibnu
Ruslan, dalam Nadham Zubad-nya yang biasa dijadikan kurikulum standar di
berbagai pesantren Indonesia, menjelaskan sebagaimana berikut:
اول
وَاجِب على الْإِنْسَان # معرفَة الْإِلَه باستيقان
"Hal yang pertama diwajibkan atas
manusia adalah mengetahui tentang Tuhan dengan meyakininya" (Ibnu Ruslam,
az-Zubad, 5)
Adapun para Imam Asy'ariyah yang lain
menjawabnya dengan sedikit berbeda. Ini bukti bahwa dalam mazhab Asy'ariyah,
atau lebih tepatnya manhaj Asy'ariyah, tidaklah dikenal istilah taklid atau
ikut-ikutan pada tokoh tertentu saja. Dalam hal kewajiban pertama ini, Imam Al
Baqillani mengatakan:
أول ما فرض
الله عز وجل على جميع العباد النظر في آياته
"Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah
azza wa jalla atas semua hamba adalah berpikir tentang tanda-tanda
kekuasaannya.” (al-Baqillani, al-Inshâf, 33)
Jadi, menurut beliau ada yang lebih awal
daripada pengetahuan itu sendiri, yaitu berpikir. Faktanya, memang sebelum
seseorang dianggap tahu atau mengenal Tuhan, pastilah mereka terlebih dahulu
berpikir. Barulah setelah proses berpikir ini selesai, maka ia menjadi tahu dan
yakin tentang Tuhan. Sedangkan Imam al-Juwaini melihat ada hal lain sebelum
proses berpikir itu sendiri sehingga ia berkata:
أول
ما يجب على العاقل البالغ باستكمال سن البلوغ أو الحلم شرعاً، القصد إلى النظر
الصحيح
"Awal hal yang wajib bagi seorang
berakal yang dianggap baligh dengan genapnya usia baligh atau bermimpi basah
secara syariat adalah menyegaja berpikir yang benar.” (al-Juwaini: al-Irsyâd
Ila Qawâthi' al-Adillah fi Awwâl al-I'tiqâd, 25)
Jadi, baginya kewajiban pertama manusia
adalah berniat untuk berpikir. Kita tahu bahwa sebelum proses berpikir dimulai,
orangnya pasti berniat dulu untuk berpikir baru kemudian proses berpikirnya
dimulai. Dengan kata lain, yang berusaha ditekankan di sini adalah bahwa
proses berpikir itu selalu dalam keadaan sadar dan memang disengaja.
Sebenarnya ketiga jawaban ini mengarah pada
hal yang sama tetapi diungkapkan dengan cara yang berbeda dan dari perspektif
yang berbeda pula. Ketiganya punya benang merah yang sama, yaitu: pengetahuan
tentang Tuhan. Sedang pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri pastilah mencakup
proses berpikir (nadhar) yang pastinya punya unsur kesengajaan (qashdu)
untuk melakukannya. Hal ini adalah satu paket yang tidak terpisah dalam sebuah
pengetahuan. Intinya, sebenarnya perbedaannya hanya redaksional semata, bukan
perbedaan esensial yang bisa dipertentangkan. Grand Syaikh al-Azhar di masanya,
Syekh al-Bajuri, dalam Syarahnya terhadap Jauharah al-Tauhid menjelaskan bahwa
awal kewajiban yang menjadi tujuan utama adalah mengetahui tentang Allah, awal
kewajiban yang berupa sarana terdekat untuk tahu adalah berpikir dan yang
berupa sarana yang lebih jauh adalah menyengaja berpikir (Ibrahim al-Bajuri,
Hasyiyah Jauharat at-Tauhid, 83).
Imam Ar Ramli menjelaskan bahwa pengetahuan
tentang Allah adalah pondasi dari segala kewajiban yang lain bagi seorang
muslim sebab tanpanya tidak ada kewajiban atau kesunnahan yang akan dianggap
sah. (ar-Ramli, Ghayat al-Bayan Syarh Zubad ibn Ruslan, 5). Jika ada seorang
manusia melakukan gerakan shalat, maka itu percuma bila ia tak meyakini bahwa
Allah itu ada. Demikian juga percuma seseorang beribadah bila ia masih ragu
bahwa Allah mengetahui dan mendengarnya atau tidak. Semua bentuk ibadah hanya
akan sah bila yang bersangkutan sudah tahu betul dan meyakini tentang Allah dan
sifat-sifatnya.
Dari uraian ini, terlihat jelas bahwa poin
utama dari kewajiban pertama ini adalah untuk meneguhkan makna syahadat bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Tanpa tahu dan yakin tentang keberadaan Allah,
keesaan dan kehebatan-Nya, maka tak mungkin seseorang akan bersyahadat menjadi
seorang Muslim. Dari sini tampak kesalahan segelintir orang yang menganggap
sesat jawaban ulama Asy’ariyah tentang kewajiban pertama di atas dengan alasan
bahwa kewajiban pertama seorang manusia adalah bersyahadat, bukan tahu atau
berpikir. Justru tahu dan berpikir itulah yang menjadi kunci adanya syahadat
dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar