Rabu, 04 Maret 2020

Dinamika NU dalam Pemilihan Umum


Dinamika NU dalam Pemilihan Umum

Para ulama pesantren mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926. Namun demikian, jauh sebelum mendeklarasikan pendirian organisasi, peran keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan telah dilakukan oleh para kiai. Dari mensyiarkan agama Islam melalui pondok pesantren, serta melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang.

Pasca berdirinya organisasi, tugas NU tidak semakin mudah karena harus terlibat menyusun dasar negara, mempertahankan kemerdekaan, dan melawan pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, DI/TII, PRRI/Permesta, dan lain-lain. NU harus terus memastikan bahwa praktik berbangsa dan bernegara tidak boleh jauh dari prinsip konsensus kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Upaya tersebut dilakukan oleh NU dengan melibatkan diri dalam perpolitikan nasional. Meskipun terlibat politik praktis, NU menjalankan politik untuk kepentingan bangsa dan negara secara luas. Apalagi PKI terus terlibat dalam sistem sehingga NU harus memastikan seluruh kebijakan Presiden Soekarno tidak terpengaruhi oleh ideologi komunis.

Tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik.

Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)

Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri.

Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955.

Berikut perolehan suara partai-partai dalam pemilu 1955 tersebut: PNI (57 suara), Masyumi (57 suara), NU (45 suara), PKI (39 suara), PSII (8 suara), Parkindo (8 suara), Partai Katolik (6 suara), PSI (5 suara), Perti (4 suara), IPKI (4 suara), Murba (2 suara), Partai Buruh (2 suara), dan Gerakan Pembela Pancasila (2 suara). (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)

Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya.

Pemilu pertama dalam sejarah Indonesia pada 1955 disebut-sebut berjalan demokratis. Namun demikian, PKI memunculkan kegaduhan dengan menyalahi ketetapatan Menteri Dalam Negeri Mr. R. Sunaryo perihal lambang partai. Semua partai menyepakati ketetapan Mendagri, kecuali PKI.

Tanda gambar PKI berupa palu arit dibubuhi tulisan “PKI dan orang-orang tak berpartai” diprotes oleh NU namun PKI tetap bertahan. Terjadi silang pendapat di antara NU dan PKI yang berujung pada Mr. R. Sunaryo untuk memanggil perwakilan dari kedua partai.

Dilakukanlah musyawarah yang menghadirkan wakil-wakil NU dan PKI disaksikan Mendagri dan Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) S. Hadikusumo. Partai NU mengutus Idham Chalid dan Munir Abisudjak, sedangkan PKI mengirim DN. Aidit dan Sudisman. Terjadilah perdebatan sengit di antara mereka.

Singkat kisah, DN. Aidit dan Sudisman tidak mempunyai argumen-argumen lain untuk membantah Idham Chalid. Pada kesempatan tersebut, akhirnya Mendagri Mr. R. Sunaryo dan Ketua PPI S. Hadikusumo memutuskan bahwa PKI dilarang menyematkan kalimat ‘orang-orang tak berpartai’, kecuali tanda gambar palu arit saja.

Keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya, keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke Khittah NU 1926.

Seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.

Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.

Misi kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Tulisan ini dirembuk secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta.

Naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.

Hingga saat ini, NU sebagai bagian dari elemen pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak begitu saja melepaskan diri dari perpolitikan nasional. Namun, politik yang dijalankan oleh NU ialah politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) seperti yang dikonsep oleh KH MA Sahal Mahfudh. Politik tingkat tinggi yang dijalankan NU ialah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar