Dinamika NU dalam
Pemilihan Umum
Para ulama pesantren mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H bertepatan 31 Januari 1926. Namun demikian, jauh sebelum mendeklarasikan pendirian organisasi, peran keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan telah dilakukan oleh para kiai. Dari mensyiarkan agama Islam melalui pondok pesantren, serta melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang.
Pasca berdirinya
organisasi, tugas NU tidak semakin mudah karena harus terlibat menyusun dasar
negara, mempertahankan kemerdekaan, dan melawan pemberontakan yang dilakukan
oleh PKI, DI/TII, PRRI/Permesta, dan lain-lain. NU harus terus memastikan bahwa
praktik berbangsa dan bernegara tidak boleh jauh dari prinsip konsensus
kebangsaan yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Upaya tersebut
dilakukan oleh NU dengan melibatkan diri dalam perpolitikan nasional. Meskipun
terlibat politik praktis, NU menjalankan politik untuk kepentingan bangsa dan
negara secara luas. Apalagi PKI terus terlibat dalam sistem sehingga NU harus
memastikan seluruh kebijakan Presiden Soekarno tidak terpengaruhi oleh ideologi
komunis.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU
dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU
memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis
Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik.
Namun, eksistensi
MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri
dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya,
Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia
merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU
sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan
Perkembangan NU, 2010)
Pada tahun 1940-1950,
Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi
merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan
politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar
membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU
dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan
NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri.
Setelah menjadi
partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan
suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu
1955.
Berikut perolehan
suara partai-partai dalam pemilu 1955 tersebut: PNI (57 suara), Masyumi (57
suara), NU (45 suara), PKI (39 suara), PSII (8 suara), Parkindo (8 suara),
Partai Katolik (6 suara), PSI (5 suara), Perti (4 suara), IPKI (4 suara), Murba
(2 suara), Partai Buruh (2 suara), dan Gerakan Pembela Pancasila (2 suara). (KH
Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)
Perolehan suara NU
tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu
1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini
dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri,
serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya.
Pemilu pertama dalam
sejarah Indonesia pada 1955 disebut-sebut berjalan demokratis. Namun demikian,
PKI memunculkan kegaduhan dengan menyalahi ketetapatan Menteri Dalam Negeri Mr.
R. Sunaryo perihal lambang partai. Semua partai menyepakati ketetapan Mendagri,
kecuali PKI.
Tanda gambar PKI
berupa palu arit dibubuhi tulisan “PKI dan orang-orang tak berpartai” diprotes
oleh NU namun PKI tetap bertahan. Terjadi silang pendapat di antara NU dan PKI
yang berujung pada Mr. R. Sunaryo untuk memanggil perwakilan dari kedua partai.
Dilakukanlah musyawarah
yang menghadirkan wakil-wakil NU dan PKI disaksikan Mendagri dan Ketua Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI) S. Hadikusumo. Partai NU mengutus Idham Chalid dan
Munir Abisudjak, sedangkan PKI mengirim DN. Aidit dan Sudisman. Terjadilah
perdebatan sengit di antara mereka.
Singkat kisah, DN.
Aidit dan Sudisman tidak mempunyai argumen-argumen lain untuk membantah Idham
Chalid. Pada kesempatan tersebut, akhirnya Mendagri Mr. R. Sunaryo dan Ketua
PPI S. Hadikusumo memutuskan bahwa PKI dilarang menyematkan kalimat
‘orang-orang tak berpartai’, kecuali tanda gambar palu arit saja.
Keputusan NU menjadi
partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur
organsasi karena fokus lebih ke arah politik praktis. Dalam prosesnya,
keputusan menjadi partai juga memicu silang pendapat karena setelah menjadi
partai pada 1952 juga banyak dari kalangan kiai yang mengusulkan kembali ke
Khittah NU 1926.
Seruan kembali ke
Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH
Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara
historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais Aam KH
Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat
perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.
Setelah seruan
kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada
tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah.
Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah
ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya
memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada
praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga
menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.
Misi kembali ke
khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU.
Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan
komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah
NU 1926. Tulisan ini dirembuk secara terbatas dengan para ulama sepuh di
kediaman KH Masykur di Jakarta.
Naskah yang ditulis
oleh KH Achmad Siddiq itu mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena
menjadi konsep dasar kembali ke khittah saat diselenggarakannya Munas NU tahun
1983 di Situbondo, Jawa Timur. Setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di
tempat yang sama, Pesantren Salafiyah Sayafi’iyah Situbondo. Kemudian naskah
ini menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar merumuskan Khittah Nahdliyah.
Hingga saat ini, NU
sebagai bagian dari elemen pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
begitu saja melepaskan diri dari perpolitikan nasional. Namun, politik yang
dijalankan oleh NU ialah politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah)
seperti yang dikonsep oleh KH MA Sahal Mahfudh. Politik tingkat tinggi yang
dijalankan NU ialah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik.
[]
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar